10. Berjinjit

78 11 0
                                    

"Sialan kau."

      Cengiran tanpa dosa menghiasi wajahnya, membuatku ingin melemparinya batu. Kami saling bertatapan, sesaat terlihat seperti Putri dan Pangerannya. Iyuh, tapi Tidak!

Aku mendekat keujung balkon. Menggengam erat keramik balkon tersebut. "Kau..Dasar Penguntit!"

Pupilnya mengecil, dia mengelengkan kepalanya cepat. "Ishh, kau menuduh yang tidak-tidak.."

Dia kembali mengacak rambutnya lalu menatapku. "Aku datang dengan Uncle tercintamu."

Pupilku membulat, sempat menganga tak percaya. Masih dalam kebingungan, tubuh tegap Uncle Jean menyumbul dari balik pagar rumah. Memasukkan tangannya ke saku celanannya, dan berjalan mendekati Die.

"Apa kabar keponakan tersayang ku?" Bisiknya.

Tanpa menjawab, aku kembali kedalam kamar. Memakai cardiganku dan beranjak menuruni tangga, Hingga sampai di halaman depan rumah.

Keduanya menatap lekat diriku, lalu sama-sama tersenyum. Aku melihat sekeliling, was-was. "Lebih baik di luar saja."

Tanpa aba-aba uncle Je menarik kerah Die dan membawanya keluar dengan cepat. Aku mengekori sambil sesekali melirik sekitar.

------------

"Kenapa Uncle tidak dapat dihubungi?" Tanyaku, penuh dengan nada ke-kesalan.

Tawa renyah terdengar khas dari Uncle Je. "Worry, huh? Ponsel Uncle Low-battery."

"Huh..selalu seperti ini!" Aku kembali memanyunkan bibirku. Tanpa sadar selama ini Die terus memerhatikannya, tersenyum dan tertawa kecil. Aku menunduk, malu.

"Dan..ke-kenapa Dia dengan Uncle ?"

Uncle meanatap arah jariku, tepat menghadap Die yang dengan polosnya masih tersenyum. Membuatku semakin malu.

"Dia teman-Mu kan? Kenapa tidak."

"Aku tanya kenapa! Tolong jawab yang benar."

Uncle tersenyum kikuk. "Ya itu, Dia yang minta."

Aku melirik Die, masih sibuk merapikan rambut pirangnya yang pucat tersebut, dia tersenyum manis padaku. Aku menghela napas pelan, membuang muka.

"Kurasa aku hanya ingin berkeliling kawasan ini..." Die membuka suara.

"...Mau Temani aku ?"

"Tentu saja Ana Mau!" Uncle Je menyaut histeris. Kikuk melirik jam-nya, sudah pasti ada acara kantor jika begini. Dia dengan cepat mengecup dahi ku, dan pamit masuk ke mobil-nya. Melaju cepat, hingga hilang dari pandangan.

Sialan kan.

"Ayo!"

Aku menatap datar. "Aku tidak bilang 'Mau' kan."

Dia tertawa receh, masih mengibas rambut pirangnya. "Uncle-Mu bilang iya."

"Yang memutuskan kan Aku." Ketus ku.

"Kau..hanya temani aku Berjalan." Jelasnya.

"Aku tidak mau berjalan denganmu." Aku membalikkan badanku, berniat kembali kerumah.

"Kau maunya apa?" Tanyanya, masih sangat lembut. "Tidak suntup ya, menjadi bagian dari rumah terus."

Aku mendecak sebal, mengepalkan tanganku menahan emosi. Mendengus keras. "Hyaa, Kau Menyebalkan."

Aku berbalik, melewatinya dengan cepat. Berjalan, seolah ini emang keinginanku, bukan Dia. Die mengikutiku, tepat disampingku.

"Kita akan kemana?"

"Ikuti saja jalannya."

Aku menambah langkah kecepatan ku, meninggalkan Die dibelakang dengan senyum yang masih tersirat polos diwajahnya. Kh, wajah saja yang Polos, sikap Menyebalkan.

"Disana ada Taman kan?" Die menunjuk tepat ke kanan jalan, aku melirik taman yang kebetulan sepi dan hanya diisi oleh beberapa anak kecil. Menatapnya yang antusias untuk mengajakku kesana.

Aku hanya meng-iya-kan kemana dia akan pergi, lagipula dia yang mengajak.

"Tidakkah kau sering kesini ?" Die menjatuhkan pantat-nya dikursi ayunan, mengayunkan-nya dengan cepat.

"Untuk apa? Aku bukan anak kecil." Masih dengan ketus aku menatap Die yang kekanakan mengayunkan ayunan-nya setinggi pinggangku.

"Siapapun boleh bersenang-senang," Jawabnya. "Siapa pun bisa Bahagia."

Wajahku datar, membuat yang ditatap memainkan alisnya bertanya-tanya. Dengusan rendah, sangat rendah hingga terlihat sangat putus asa, membuat Die menghentikan gerakannya.

"Kau...baik-baik saja ?"

Kalimat yang jawabanya selalu aku copy dan sangat singkat itu, mampu membuatku merubah ekspresiku. Kurasa, karena pada akhirnya ada yang benar-benar menyadari keadaanku. Bahkan saat kita saja baru bertemu 2 kali.

"Iya."

"Sudah pasti-kan." Aku duduk disampingnya, menggengam rantai berkarat yang sama kotornya dengan Hatiku. Mengayunkan-nya pelan, menatap lurus tanpa rasa.

"Orang akan tahu dengan sekali tatapan kau Berbohong.."

"Terutama seorang yang akan menjadi salah satu yang Spesial bagi-Mu." Jelasnya.

Aku tertawa kecut, "Sayangnya tidak ada yang aku anggap spesial." ucapku menatap-nya.

"Berbohong lagi." Die balas menatap, "Banyak orang spesial bagimu, tapi bagi mereka kau bukan apa-apa."

Sesak. Paru-paruku mengempis, seakan sangat sulit menerima kenyataan itu, tubuhku sendiri tak sanggup menerimanya. Aku kembali tersenyum. Sangat palsu.

"...Mungkin Kau benar."

"Itu kenapa aku tidak percaya siapa-pun." Aku bangkit, menatap singkat wajah Die yang dihantui pertanyaan dan rasa bersalah. Membalikkan badan.

"Maafkan Aku." Napas Die tepat dibelakangku, sangat halus. "Aku tidak bermaksud itu, kupikir.."

"Sialan, kau tidak salah. Jangan membuatku merasa bersalah." Aku membalikkan badanku. Tersenyum singkat pada-nya. Kali ini tulus. Terlihat pupilnya membudar, senyum balas terukir dibibir-nya.

"Aku harus Pualng." Aku kembali berjalan, Die masih terus mengekori. Kali ini aku membiarkannya.

Hingga sampai didepan rumah. Tepat di pintu gerbang. Aku menoleh menatap Die dengan rambut pirangnya yang tidak pernah bosan dia mainkan.

"Aku harus Masuk."

Senyum masih terukir diwajahnya.
"Pergilah." Matanya redup dengan indah dalam warna Abu-abu gelap, yang membuat siapa pun akan kagum dengan ciptaan Tuhan saat melihatnya.

"Terima kasih telah Berjalan singkat denganku." Ucap-nya.

Aku menutup gerbang. Menatapnya dalam jarak yang dipisahkan oleh gerbang didepan kami. Tersenyum miring. "Aku tidak berjalan denganmu. Dari tadi aku 'Berjinjit'. Dan waktuku terbuang hanya untuk bergoyang di ayunan."

Dia menaikan alisnya. "Berjinjit ? Serius ?"

"Tentu saja." Aku mengunci gerbang. Melambaikan tanganku singkat dan berbalik badan meninggalkan-nya, yang masih terkekeh penuh tanya.

Remang-remang terdengar suara halus, "Kau harus lebih banyak Bahagia." Sontak membuat bibirku tak sanggup menahan senyum, tersirat mudah senyum antara senang  dan menyedihkan. Semudah itukah ?

"Jika saja memang Mudah. Aku tidak akan lelah, untuk tertawa bahkan seumur hidup."

•••

PAINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang