Aku mengerang mengangkat koper-koper ditanganku. Dari lantai 2 turun ke Halaman sudah bagaikan lari marathon, karena sungguh hari ini aku tidak se-semangat itu. Kita memang habiskan waktu dirumah bibi Andin. Namun, sang Jalang ikut juga.
Menyebalkan.
Aku menaruh kasar koperku di bagasi, membuat beberapa diantara mereka mendecik kaget.
"Untuk apa bawa Koper? Kita cuman 3 hari disana." Ucap sang Jalang kasar, tatapan kami bertemu. Aku menggertakan gigi ku sebal."Oh."
Aku membuang muka, dan berjalan menjauh dari-nya. Masuk ke Mobil, dan meletak-kan tubuhku santai di kursi tengah. Mengatur napasku beberapa kali, mengoptimalkan mood ku yang tidak dapat ku-kendalikan begitu saja.
Ckleek
Aku mendengar pintu ditutup dan dikunci. Sepontan, aku menoleh dan melihat kearah suara. James disana, duduk disampingku. Memasang sabuk pengaman, lalu mengambil buku dari ranselnya. Aku mengintip, tertera diujung buku itu 'Kalkulus'. Ya, sungguh tidak heran. James anak yang Pintar, jadi dia juga pasti anak yang rajin. Dan pecinta kalkulus (nampaknya).
Kami terdiam, saling membungkam. Suara gesekan kertas yang dibuka tiap menitnya mengisi keheningan kami di mobil yang pengap dan membosankan ini. Satu lagi, suasana mencengkam menyelimuti kami mendadak, saat sang Jalang masuk dan duduk dikursi depan dengan Dad. Dad memberi senyum hangat pada kami, James membalasnya. Aku membuang muka. Tidak menunggu waktu lama, mobil melaju. Melesat kearah barat, menuju suatu kota, atau yang mereka biasa sebut Kota kecil seindah Desa.
***
Angin berhembus menyelinap melewati sela-sela kaca mobil kami. Udara yang menyejugkan membuat kami menarik napas bersama-sama. Mobil berbelok, menuju jalan sempit, kembali menuju segala masa lalu ku. Masa kecil ku.
Kota ini tidak terlalu berubah, masih tetap kecil manis. Bangunan vintage, bunga berwarna-warni, trotoar abu-abu kusam, lampu jalan berderet, beberapa anak kecil bermain sodor dan orang tua membaca koran dan saling bertegur sapa. Aku menyapa tiap pejalan kaki yang kami lewati, mereka membalas dengan hangat. Sebelum sang jalang kembali marah dan menyuruhku menutup kaca mobil. Katanya yang kulakukan memalukan dan kekanak-kanakkan.
Beberapa menit aku menunggu dengan bosan, akhirnya kami sampai. Sampai dikediaman orang yang jauh lebih baik dari sang jalang. Bibi Andin. Aku turun mengambil seluruh koperku, lalu berlari mengetuk pintu dengan nyaring. Sebanyak 5 kali.
Menunggu.
Masih menunggu.
Pintu dibuka. Seorang wanita dengan gelungan rambut yang dipaku dengan sumpit itu, menatap ku dari ujung kaki hingga kepala. Terdiam seakan mannequin lalu dengan cepat mendekap tubuhku yang lebih tinggi beberapa senti darinya. Mengusap lembut kepalaku. "Kau datang. Bibi pikir kau akan habiskan waktumu diluar kota lagi, dengan kekayaan menyedihkan itu."
Aku terkekeh. Kekayaan menyedihkan yang dimaksud itu adalah Ayahku. Ayah terlalu berharga untuk dilelang, tapi juga sangat menyedihkan jika dibiarkan usang.
"Aku dengar itu." Dad menarik koper, dan menyilangkan tangan-nya dengan wajah datar nan kesal. Tatapan bibi dan Dad bertemu.
"Koper ? Tumben, biasanya kau kan hanya mengantar," seru bibi Andin "Sekarang berniat untuk tinggal ya." Bibi terkekeh melihat Dad yang salah tingkah dan semakin bergejolak penuh emosi. Membuat ku ingin tertawa, hingga aku benar-benar sadar sang Jalang menyilangkan tanganya kejam.
"Ayuk masuk yuk." Aku menerobos bibi dan segera masuk, tidak ingin terus berlama-lama dengan Iblis dunia.
Aku melihat sekitar, ruangan bercat cream, dengan perabot secoklat rambut James. Oh iya James. James mengikutiku, namun segera naik ke lantai 2 saat sadar keberadaanku yang baginya menggangu.
"Aku ambil kamar paling Kanan." James menoleh, menatap sekejap. Terbatuk, menunggu jawaban dari perkataan-nya tadi. Aku segera mengangguk. Dan setelah itu pun James telah hilang dibalik putaran tanggal menuju kamar paling kanan-nya.
Aku pun kembali menyusuri ruangan. Setidaknya beberapa menit sebelum aku mengambil kamar dan benar-benar istirahat.
***
Aku menggerakan tanganku, rasanya kaku sekali. Sadar posisi badanku yang menindihi tangan kananku, aku segera bangun dan menegakan tubuhku. Berkedip beberapa kali dan sadar aku tertidur hingga fajar.
Aku berjalan menjauh dari ranjang menuju kamar mandi. Ada dua kamar mandi di lantai 2, yang satu disamping kamar James dan yang satu lagi di kamar yang kupakai sekarang.
Aku masuk, menatap cermin sebahu yang menampilkan wajah berantakan ku. Semuanya terlihat pucat, tapi aku tidak merasa begitu. Aku merasakan suatu hal yang sulit tuk dijelaskan. Seperti ada bunga yang terus tumbuh di paru-paru ku, dan kupu-kupu menari gembira disana, dan rangka tubuhku seakan menggambarkan sangkar yang merusak keindahan bunga itu.
Kau tahu, saat kalanya seorang seharusnya tersenyum namun dirusak oleh satu hal yang membuatnya terobsesi, tapi Gila menyakitkan-nya.
Silet.
Aku melihat dua benda tajam itu diwastafel. Untuk apa ditinggalkan bergeletak begitu saja ? Memang tidak tau jika keponakan-nya mengalami ke-terobsesian melukai Diri Sendiri ?
Ya, mereka tidak tahu. Dan tidak boleh tahu.Aku mengambil satu. Menatap benda itu dengan lekat. Jantungku berdebar cepat, aku menunduk. Dengan langkah pasti dan cepat, aku berjalan menuju closet. Melempar silet itu kedalam-nya. Mem-pull up dan sekejap pun silet itu hilang ditelan dan dibawa pergi air. Aku berbalik, kembali menatap diriku dicermin. Perasaan itu, bunga-bunga itu, tidak mau hilang.
Sialan. Menyebalkan.
Aku mengambil sisa silet diwastafel, Menggoreskan nya dilengan kiriku. Hanya satu, satu goresan. Cairan merah pun mengalir, tidak banyak, Tapi cukup untuk membuat ramai satu rumah. Dengan cepat aku melemparnya ke dalam wastafel, membuka kran dan membiarkan air mengalir memenuhi-nya. Aku terduduk, menjatuhkan kepalaku ke dinding wastafel.
"Oh God. When this thing stop?"
Aku mengusap wajahku pelan. Lalu bangkit, membuka seluruh helaian kain yang menutupi tubuhku. Menyalakan kran air di bathup, dan menyelaminya hingga air itu membanjiri seluruh lantai dengan warna yang sedikit keruh akan warna merah. Aku memejamkan mataku dan terhanyut akan tenangnya gerakan air diruangan itu.
Sangat tenang. Hingga aku tak bisa merasakan apa pun.
•••
Haee!
I Just wanna say, Happy Weekend.
Don't be sad, be Happy.
-xoxo, TedLii
KAMU SEDANG MEMBACA
PAIN
Teen Fictionpain /pān/ noun: Physical suffering or discomfort caused by illness or injury. Also an annoying or tedious person or thing. "she's in great pain and (of a part of the body) hurt." • • • • The original edit belong...