03. Keputusan

81 19 4
                                    

     Aku dan James meninggalkan pemakaman, setelah beberapa menit melepas rindu dan mengirim doa. Kali ini aku memimpin, mendahului James yang tidak berjiwa tiba-tiba sambil mendekap keranjang bekas bunga. Kami saling menutup mulut dan membungkam, hingga sampai digerbang keluar pemakaman. Rasa rindu kami terbayar, dan kami lelah, Ingin secepatnya kembali ke rumah.

Hari pun semakin gelap. Sedangkan jarak Pemakaman ke Perumahan Amelthana 04 cukup Jauh, tidak dapat ditempuh secepat itu dengan hanya berjalan, terutama pada malam hari.

"James, kau minta jemput jam berapa pada Dad?" Tanyaku menatap James.

James balik menatap, lalu menatap Arlojinya. "Apanya! Kita kan tidak Izin. Kita kesini juga tadi naik taksi." Pupilku mengecil. Sadar bahwa aku memaksa James pergi ke pemakamana, tanpa peduli bagaimana kita pulang nanti.

Taksi tidak lewat pada jam segini, dimalam Jum'at. Dan lagi, tanpa adanya Ponsel bagaimana aku bisa memesan Taksi Online (aku meninggalkan-nya di ranjangku tadi siang). Aku mulai Panik, keringat dingin turun deras dari pelipis menuju seluruh tubuhku. Langit pun, dengan tenangnya menyambut Bulan.

"Hyaaa!"

"Tenanglah. Kita masih bisa pulang," James merogoh saku celananya. "Aku menyelinap ke kamar kotor-Mu dan mengambil ini." James memberikan Ponsel-ku. Aku menganga tak percaya, adik ku ini benar-benar Pintar. Tidak. Jenius.

"Oh God. Thank goodness. aku akan telphone Dad sekarang." Tapi, saat ku mencoba menyalakan-nya, tidak bisa. Aku menekan-nekannya namun alhasil tidak terjadi apa-apa. Aku menatap James, berharap dia tau apa yang terjadi.

"..aku tidak bilang kalau Baterai nya ada. Pasti habis kan."

Tidak jadi Jenius.

Aku menepuk wajahku keras, mengumpat beribu kali untuk yang sekian kalinya dalam 1 hari. Ingin berteriak.

"Sudahlah. Kita jalan saja,"seru James, berjalan meninggalkan ku. Aku mengikutinya, menatapnya sesaat. Lalu mengandeng-nya perlahan.

"Sudahlah. Aku tidak suka." James menepis tanganku, menjaga jarak dan mempercepat langkahnya. Aku tau betapa bencinya dia padaku saat ini, namun aku yakin itu tidak akan selamanya.

Semua Baik pada saatnya.

Aku berlari mengikuti James, berjalan disampingnya dengan sebuket keranjang menuju Rumah.

***

     Jam panah menunjuk pada angka diantar 7 dan 6, artinya kami baru sampai rumah pukul setengah 7. Harusnya itu tidak jadi masalah, namun akan masalah besar jika Dad dan sang Jalang  tahu.

Aku masuk, mendahului James. Kulihat Dad keluar dari ruang makan dengan sang Jalang, bersiap melesatkan tanparan di seluruh wajahku. Aku yakin aku tidak dapat melawan, rasanya akan semakin buruk jika aku melakukan-nya. Aku menutup mataku, dan...

"Dad Khawatir jika terus menyiksa mu akan membuatmu membenci Dad." Dad mengelus lembut pipiku, membuat ku melongo (ke-sekian kalinya). Dad menunduk-kan tubuhnya agar bisa menatapku langsung dan menyamakan tubuhnya denganku. Mengusap berulang-ulang wajahku.

"Luciana, kita perlu bicara oke?" Aku menatap Dad dan mengangguk. James mendekat, mengerti apa yang terjadi dan memeluk Dad.

Ada apa?

Aku tidak mengerti. Dari seluruh tatapan mereka, bahkan tatapan sang Jalang, mereka mengartikan situasi saat ini dengan Sama. Sedangkan aku tidak mengerti apa-apa.

James naik, berbelok dan menghilang menuju suatu ruang (ruang-nya atau ruang Dad). Meninggalkan ku disini dengan Dad dan Sang Jalang. Jalang menatap datar padaku, tangan kirinya mengepal erat dan tangan kanan-nya memegang penggaris rotan. Aku menunduk-an kepalaku (takut). Dad meraihku, mengandeng ku menuju lantai 2. Lalu berbisik padaku.

"Everything will be okay, bahkan jika kau tidak ingin ceritakan segalanya pada Dad."

"Soal apa ?" Dad tidak menjawab. Ia mengeratkan gandengan-nya dan membawaku masuk ke ruangan-nya.

***

     Disinilah aku sekarang, di ruangan lebar nan rapi yang dipenuhi dengan banyak berkas-berkas, buku-buku Sejarah sampai dengan Kalkulus. Aku duduk di sofa, menatap hamparan tiap buku yang tertata rapi disetiap rak coklat hazel, semanis buah ek didepan rumah kami. Yang di-impikan oleh Mom. Dad duduk disampingku, bersandar. Aku menarik jaketku dan menarik resleting ke atas, menutup seluruh gaun ku.

"Jujur, berapa lama kita tidak pergi bersama kerumah bibi Andin ?" Dad membuka bicara, membuatku menoleh cepat. Menatapnya penuh tanya.

"Tidak tau."

"Mungkin melebihi banyak-nya pohon ek yang mulai ditebang di rumah ini." Dad menegakan tubuhnya menatap datar padaku, sesekali menggaruk tenguknya. seakan merasa bersalah namun gengsi untuk mengakuinya. "Ada maksud tertentu kenapa Dad menebangnya."

Aku memutar bola mataku, malas. Tidak ingin lebih basa-basi dari ini dengan Dad, rasanya sekarang begitu membosankan bicara dengan-nya. "Intinya saja tolong."

"Dad akan ikut kerumah bibi Andin. Denganmu dan James." Ucap-nya.

Aku membulatkan mataku, melongo. Mencari kebohongan dalam Mimik wajah datar nan dingin milik Dad, tapi yang kutemukan adalah senyum manis yang selalu dia berikan pada ku saat umurku tidak lebih dari kata kosong dan Galau. (Artinya, sebelum pernikahan menggelikan dengan Jalang terjadi).

"Ayolah, umurku 16 tahun," aku terkekeh, "Dad tidak bisa menipuku dengan hal yang benar-benar aku inginkan, yang juga benar-benar mustahil untuk di wujudkan."

Maksudku, ayolah, akan di kemanakan Jalang jika Dad memutuskan hal gila ini ? Bagaimana tanggapanya ? Aku harap aku tidak jadi singgahan kemarahan sang Gorila menjijikan itu.

"Dad sungguhan."

Aku mengangguk. "Ya tentu, lalu aku akan memeluk Dad dan berkat 'aku menyayangi mu', begitu ?" aku bangkit, menarik gaun-ku dan berjalan dengan santai didepan Dad, melewati lorong menuju pintu keluar.

Aku mendengar langkah kaki Dad mengikutiku, tapi tetap, itu tidak membuatku ingin berhenti dan benar-benar akan 'Memeluknya'.

"Jangan lupakan senyum manis esok disetiap tawa weekend kita." Aku mendengarnya, dan reflek memperlambat langkah-ku. Mendengar Dad menghela napas dan melangkah kearah berlawanan.

Aku keluar. Kembali menuju kamarku.

•••

PAINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang