01. Cambukan

135 17 0
                                    

"AKHHH! SAKITTT!"

Teriakan. Terlalu rendah untuk ukuran orang dewasa, jeritan mengerikan itu menadai seorang bocah. Kerasnya Cambukan mengema menelusuri segala arah ruangan dan lorong. Tidak heran, berbagai Cermin retak satu akar demi akar. Sungguh, aku ingin keluar, keluar menuju arah teriakan itu. Kaparat sialan, menjebak dan mengunciku di kamar. Bukan hal yang baik mendapati dirimu terkunci dikamar, lalu membiarkan adik mu diluar sana. Dari sekian banyak peristiwa selalu James yang menjadi Korban.

Dobrak. Sekarangg!

Kata hati tidak pernah salah. Aku mendobrak keras pintu. Hancur, rusak aku tidak peduli, tujuanku hanya keluar. Menyelamatkan satu-satu nya manusia yang masih ber-hati, setelah aku. Berlari sebisa mungkin menuruni tangga, tidak peduli berbagai serpihan tajam yang masuk menembus telapak kakiku. Beberapa langkah lagi, aku siap memberontak.

Namun, ada kala saat kau sadar Nasi telah menjadi Bubur.

Aku Terlambat.

James telah terkapar, luka basah cambukan bergelindir mengeluarkan nanah. Tubuhku lemas, air mata jatuh, rasanya kakiku ingin patah. Aku berteriak, menjerit, menangis.

"James..."

Sedetik saat aku ingin menghampirinya, sang Jalang menjambak kasar rambutku. Menariku mendekati James. "Aku melihatnya membakar habis lukisan ku dan Tommy, dan dengan beraninya berucap Jalang Gila dihadapanku.Masih dalam Jambakan, aku memukul keras genggaman-nya. Membalas apa yang telah dia lakukan, sebisaku.

"Tidak heran. Dia belajar darimu." Dia menarik keras rambutku, menambah nya 2 kali lipat. Membuat ubun-ubun ku serasa berdenyut hebat dan tanpa hati, melemparku ke lantai begitu saja.

"Kau harusnya mati. Negara membenci orang sekejam narapidana sepertimu!" Aku melepas jaketku, membalutkannya ke punggung James. Darahnya menggeliat hebat, seluruh tubuhnya bagai daging asap. Goresan dan nanah dimana-mana.

"Kau pikir kau bisa apa Luciana Sayang, memenjarakan-ku 2 kali ? Just think what you do to yourself.."

"We never do something like this, if you 'Two' don't Agaits Us." Jalang pergi begitu saja, masih dengan genggaman tali cambuk ditangan-nya. Aku mengerang, ingin rasanya melindas hancur wajah pahatan Tuhan itu. Demi apa, seorang Tommy Willson mengikat janji suci dengan wanita bedebah Jalang seperti dia.

"Ana rindu Mom..."

Aku menggendong tubuh mungil James, menahan-nya berusaha agar tidak menyenggol luka Cambukan-nya. Kakiku sakit, tapi Luka James lebih Sakit. Aku menaiki tangga dengan terpincang-pincang, serpihan kaca nampak-nya telah menembus hebat setiap telapak kaki-ku. Sakit ya tuhan.

***

     Mentari mulai berpamit, mewarnai langit dengan jinga-nya hembusan sore. Berderu angin hangat dari seluruh ruangan. Kurasakan tubuhku yang mulai menghangat, dan tubuh James yang mulai bernada stabil. Suhu-nya turun. ku balut tubuhnya hingga 3 lapis kain dan 1,5 meter balutan perban berlapis yang menutupi seluruh punggung kecil James.

Aku berjalan ke samping ranjang, menutup cendela dan menguncinya. Sebelum suhu kembali mendingin, karena kulihat diriku yang gandruh akan firasat buruk.

"Ahmm, haruskah aku menemani dia ?" aku menempelkan punggung tanganku ke dahi James. Hangat, namun dingin secara bersamaan. Rasanya kejam meninggalkan-nya sendiri dengan keadaan tubuh seperti ini.

Aku berjalan---membuka lemari jati di kiri ranjang, tempat biasa James menaruh baju penghangat tubuhnya. Barangkali ada Jaket yang bisa aku gunakan, karena jujur saja aku takut untuk keluar dari kamar ini. Dan lagi kamarku tepat di samping kamar Dad. Entah kenapa seharian ini aku relakan tidak berjumpa dengan Dad, aku harus istirahat kan telingaku----Darah bisa mengucur-mendengar tiap amukan dari-nya.

PAINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang