05. Bibi Andin

67 15 0
                                    

"Ana umur berapa?"

"Tahun ini, 16 tahun."

Aku mengusap mataku, mendesah perih melihat bawang merah yang terus menusuk mataku. Karena melihatku terus-terusan mengusap mata, Bibi Andin menggambil alih potongan dan menyuruhku untuk duduk. Aku pun duduk dan menata piring di meja tersebut.

"An, siapkan 3 piring saja."

Aku berhenti, menatap bingung bibi Andin. "Maksudnya ?"

"Tom dan, Wanita-nya keluar lebih dulu. Jadi kita tidak perlu menyiapkan untuk mereka," jelas Bibi menekan kan kata Wanita. aku ber-oh ria dan mengangguk mengerti.

Ya, hal seperti ini sudah biasa. Kami, aku dan James memang lebih sering tidak turun dan makan bersama di meja keluarga. Kami makan juga biasanya karena terpaksa.

Aku menopang kepalaku, menghirup aroma segar nan wangi dari sup yang bibi buat. Khas sekali dari keluarga Berto. Menggiurkan.

Langkah kaki kecil mengema di lorong samping dapur. Tatapan-nya redup nan dingin, namun tetap terlihat manis. James membuat bibi Andin sekali pun tersenyum, walau dia terus-terusan Cemberut.

"James, feel good today?"

"Yup. Cause no Bitchy in here."

Bibi menjatuhkan sendoknya dan tersedak, kaget dengan kata Bitchy yang keluar dari mulut James. Aku hanya terbatuk dan tertawa ringan.

Aku menepuk kursi, menyuruh James untuk duduk. Dia menoleh, lalu benar-benar duduk tepat disamping-ku. Wajahku menghangat seketika, rasanya menyenangkan tidak di tolak setelah ber-bulan-bulan diCampakkan.

"James"

"Anu.."

Aku terhenti. Membungkam, tanpa sadar kami saling menyapa di saat bersamaan, bahkan di detik yang sama. James terbatuk, menggaruk rambutnya.

"Ah, tidak jadi."

Kami mengalihkan pandangan kami, benar-benar Canggung. Aku bahkan dapat mendengar Bibi terkikik dari kejauhan. Sambil tersenyum, Bibi membawa dua mangkuk sajian yang sangat menusuk hidung.

Bau Bawang Merah, daging dan hidangan indah dengan crouton dan keju. Soupe a l'oignon. Sup favoritku sepanjang masa. Ya, setidaknya inilah masakan Bibi Andin yang paling membuatku menggeleng kepala menahan liur.

"Selamat Makan." Bibi menarik kursinya, meletakkan sepiring salad nan daging didepan-nya. Siap untuk melahap-nya.

"Sedang Diet ya?" ucapku terkekeh, aku meghirup bau sup itu sekali lagi dan bersiap menyantapnya.

"Tidak mungkin bibi bisa makan makanan enak seperti kita." James menyahut. "Dia hanya makan tanaman." Aku tertawa, menatap Bibi yang telah terhina hingga ke Dna oleh Ponakan 10 tahun-nya. Sungguh itu memalukan. Bahkan, James dengan lugunya berusaha menahan tawanya dengan batuk-batuk tipu daya-nya.

"Ya Tuhan. Kalian kejam sekali."

James mendecikan bahu, tersenyum miring. "Kau tidak bisa memungkiri Fakta."

Bibi menopang kepalanya, terkekeh akan rasa sakit dan kemaluan. Namun, secara betsamaan ia bahagia, Mendengus menatap James dan aku. "Kalian terlihat seperti Mom kalian.."

"Dari sisi manapun, tidak dapat dipungkiri ke-Akraban kalian. Is Cute."

Senyap.

Aku terdiam, terutama saat wajah datar James kembali menghiasi wajahnya. Matanya melukis ke-dinginan disetiap sisinya. Rasa sakitnya kembali muncul. Aku mengambil sendok, menghirup sup lagi untuk menghilangkan hawa mengerikan ini. Berusaha mendinginkan suasana(tapi tidak dengan sup-nya) dan bertingkah normal.

"Ahn, ayo makan. Makanan-nya nanti ding-"

"Bodoh!"

James bangkit, membawa semangkuk sup-nya dan berjalan pergi. Bibi berusaha mencegahnya, namun nihil dengan sikapnya yang seperti itu. Sekarang hanya langkah kaki cepat menaiki tangga yang terdengar, dari sosok anak itu. Dan semua kembali sunyi.

"Ana, maafkan aku, ak--aku tidak tahu James akan begini. Maaf."

Bibi mendekatiku, menatapku yang mulai mendingin dan pucat. Ia mendekapku, mengusap ubun kepala hingga punggung ku. Bibi terus meminta maaf, dan aku terus berkata tidak apa. Lagipula, dalam hal ini Bibi tidak salah apa-apa. Malahan, bibi Andin lah yang selalu ada untukku setelah Mom Wafat. Aku bahkan tidak tahu harus membalasnya seperti apa, atas segala hal yang ia lakukan selama ini. Dan untuk Uncle Jean.

"19 Oktober."

"Huh? Apa?"

"Bibi memintaku melupakan-nya. Tapi aku tidak bisa."

"Aku..Minta Maaf." Aku menggeratkan pelukan bibi, dan mulai bernyanyi, bernyanyi lagu yang selalu membuatku ber-Nostalgic hingga berjuta kenangan.

"No need to say...goodbye..." Aku terus benyanyi, membiarkan butiran air turun melewatk pipiku, membiarkan bibi menggeratkan pelukannya sambil menahan tangis.

Dan andai aku tahu. Saat itu James dikamarnya, terduduk, mendekap satu buku. Tersendu, menangis, sendiri tanpa seorang akan mendekapnya dan mengelusnya. Membiarkan semuanya tergeletak, selain buku Album dipelukan-nya. Dia mendengar semuanya bahkan Nyanyian itu. Membutirkan tangisnya untuk terus turun tanpa henti. "No.."

"...Need to say goodbye."

•••

PAINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang