"Aku tidak tahu apa-apa An!" Tere menghentikan kegiatannya. "Aku bersumpah!" Ia menumpuk buku terakhir, memantulkan suara yang cukup bergetar dengan tatapan serius.
"Aku tidak menyalahkan-mu."
"Tapi kau mengabaikanku sejak kejadian di atap tadi." Tere kembali berucap, ia meremas bukunya sembari irisnya menatapku berbinar.
Mataku memutar lesu, jariku mengoreki leher dibalik rambut kusamku."It's nothing." Aku membalas seadanya.
Tere memiringkan kepalanya sembari menatapku lekat. "I will help anything that I can."
Aku mengangkat kepalaku, menatap datar Tere lalu menyengir sesaat setelahnya. "Jangan. Biarkan saja Pangeran sekolah yang bertanggungjawab." Sindirku. "Dia yang memulai, dia juga yang harus mengakhiri."
Tere tidak berucap apapun, sekatapun. Bibirnya terbuka "Kau pikir semudah itu ya?"
Aku menaikan alisku, menautkannya bersamaan. Menatap dalam-dalam sorot mata Tere. "He? Maksudmu ?"
"Tahun lalu, Taruhan Athan berkorban 75% dari seluruh siswa di sekolah," Tere berucap. "Itu Gila! Akh, Dia gila!"
"Yang lebih Gila, kenapa dia tidak di Drag-Out ?" Aku menyipitkan mataku, mendecih penuh tanya akan ketidakpekaan pengawasan disekolah. Sekolah ini memang bergengsi, jadi tidak heran banyak anak-anak Bejat masuk membeli Bangku di SMA-APLUS secara Ilegal.
"Aku akan membantumu," Tere kembali antusias. "Mereka tidak bisa dikalahkan sendiri."
Kepalaku mengganguk tanpa menggambarkan ekspresi apapun di wajahku. Untuk apa repot-repot mengukir wajahmu untuk hal yang tidak kau pedulikan, toh bagaimana pun, mau tidak mau perkelahian tetap akan terjadi. Dan jika anak Osis ikut campur, maka kepalan tangan preman sekolah yang akan main.
Jika perkelahian terjadi (lagi), tidak terbayangkan siapa yang akan masuk BK. Semuanya bisa terlibat. Ini bahkan akan semakin paeah dan berbelit-belit.
Merepotkan saja.
***
2 hari telah kulewati, tubuhku tidak berhenti bergetar, napasku terus memompa dan suhuku terus naik. Berbaring terlentang diranjang, hanya itu yang bisa kulakukan.
Dad masih diluar kota, dia akan pulang jika tahu keadaanku seperti ini (setidaknya itu dulu).Aku meraih obat dimeja samping ranjang, mengeluarkannya satu dan menelannya secara cepat. Aku benar-benar kehilangan tenaga.
"Hikmahnya, aku tidak lagi perlu berurusan dengan Taruhan Bodoh itu.""2 lagi mungkin cukup." Aku kembali meneguk 2 pil obat, efek pertama yang diberikan membuat kepalaku sedikit terhuyung. Satu botol, aku bisa saja meneguknya dan mati sekarang juga. Tapi tunggu, aku masih ingin menyelesaikan masalahku. Aku bukanlah pengecut yang lari dari masalah.
Ponsel ku tidak memberikan sapaan sama sekali, bell tidak bergetar tanda tidak ada satupun yang mencariku, atau setidaknya bertanya Ada apa denganmu ? Kau dimana?. Tentu saja aku Baik saja, dan aku dalam perjalanan menuju stasiun kesedihan-ku. Kh, sungguh Emo.
Pintu kamar dibuka, James memunculkan dirinya dalam balutan ham hijau maroon dan celana pendek sedengkul berwarna cokelat pasir. Kaki kecilnya berbalut kaos kaki putih abu-abu, berjalan menghampiriku. Sesosok lain pun menyembul dari balik pintu. Rambutnya yang sangat lurus dan kacamatanya, memberikan ciri khas tersendiri dibalik mata sipitnya.
"Hei, kau Baik saja?" Tere menghampiriku. "Sudah 2 hari, tidak baik menelantarkan teman sendiri bukan." Ia membuka sekantung roti dan nuttela yang ia genggam sedaritadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
PAIN
Teen Fictionpain /pān/ noun: Physical suffering or discomfort caused by illness or injury. Also an annoying or tedious person or thing. "she's in great pain and (of a part of the body) hurt." • • • • The original edit belong...