• 𝐒𝐢𝐱𝐭𝐡 𝐦𝐞𝐞𝐭 •

246 27 0
                                    

Jangan salahkan waktu yang cepat berlalu, tapi salahkan dirimu yang terlambat melakukan sesuatu.

-🌺




_________________________

"Lo lagi main basket?"

Pertanyaan itu meluncur dengan lancarnya dari bibir Langit tanpa melihat situasi. Aira tersenyum menanggapinya.

"Dari muka lo keliatan banget nggak ada bakat olahraganya. Tipikal cewek jenius yang mainanya rumus sama kamus." Langit mengamati Aira dengan seksama. "Gue rasa muka lo familiar," lanjutnya dengan ekspresi berpikir keras.

"Sering merhatiin pidato kepsek?"

"Ooohhh... lo yang sering ikut OSN ya?!"

Aira mengangguk sambil tersenyum manis. "Dan foto gue pernah dipajang di mading beberapa kali."

"Jadi lo cewek yang sering diomongin anak kelas ya?"

"Errr-- segitunya banget gue sampe diomongin dibelakang." Aira menggaruk rambutnya, nggak kutuan loh.

"Mereka ngomongin yang baik - baik kok."

"Gue rasa gue pernah liat lo," Aira memiringkan kepalanya, menatap Langit dengan seksama.

"Gue ganteng ya?"

Aira memasang wajah jijik. "Dih, pede banget Mas!"

Langit tertawa. "Ternyata gini rasanya ngobrol sama anak jenius." Langit menatap Aira sembari tersenyum. "Gue pikir anak sejenis lo ngebosenin, nggak bisa diajak bercanda, sombong, kaku."

"Makanya dont judge a book by the cover, dont judge someone from seems pretty. beautiful not necessarily good, the genius is not necessarily boring. know he first new comment. Muka - muka kayak lo itu penampilan adalah perumpamaan watak!"

"Ngomong apalagi lo? Plis, jangan bahas bahasa Inggris dideket gue. Nilai gue kemarin tiga lima."

Aira mendelik. "HAH?! TIGA LIMA?!"

"Anak jenius macam lo mana ada nilai segitu." Cibir Langit.

"M-maksud gue emang lo nggak belajar?"

"Otak gue nggak dibikin buat nampung pelajaran. Gue emang nggak sejenius lo, toh, manusia memiliki kelebihannya sendiri."

Aira terkekeh. "Lo bisa bijak juga."

"Ganteng gini mah serba bisa."

"Tapi kok nilainya tujuh bagi dua?"

Langit berdecak. "Ck. Gue 'kan dah bilang, kapasitas otak manusia beda - beda."

Mereka mengobrol sampai nggak ingat waktu, bel aja mereka nggak denger. Sampai Pak Ari harus nyamperin mereka buat masuk kelas.

"Ayriana! Sudah bel masu---eh, ada Langit. Hayooo kalian pacaran ya?"

Muka Aira langsung absurd banget dibilang pacaran sama Langit. "E-eh enggak Pak!"

"Kalo iya kenapa Pak?"

Aira mendelik mendengar ucapan Langit lalu menyenggol siku cowok itu. "Apasih lo? Baru aja kenal!"

"Heheh.."

"Nggak pa - pa pacaran. Kan bisa saling melengkapi, Aira yang jenius dan Langit yang atlet. Aira dingin, Langit hot. Ntar anak kalian dispenser."

"Yaelah Pak Guru. Nggak elite banget dispenser."

"Hahahah bercanda.. udah pacaranya dipending dulu. Dah masuk noh, kelas kalian 'kan beda."

"Iya, Pak." Mereka berdua mengangguk lantas bersalaman pada Pak Ari sebagai tanda sopan santun.

"Eh tunggu!" Aira dan Langit berhenti saat baru lima langkah melangkah. "Berhubung kalian saling melengkapi. Kenapa nggak saling mengajari saja? Aira 'kan jenius, Langit calon atlet. Nilai kalian jelek di dua bidang itu, jadi saling menggurui saja. Toh, kalian juga untung."

Mereka saling tatap.

Kemudian berpikir sebentar.

"Iya, Pak."

:::

Aira beruntung saat masuk kelas belum ada guru yang nangkring dikursi kebesaran. Cewek itu lantas menduduki kursi disamping Sheila.

"Lho, Melody mana?"

Sheila mengendikkan bahu, berpikir sebentar. "Gak tau. Keknya dipanggil Osis."

"Lo darimana?" Lanjut Sheila sambil menatap penasaran Aira.

"Ketemu doinya Melody."

"Lo mau nikung ya?!" Aira mendelik, masa iya mau nikung sahabat sendiri.

Buru - buru dia menjawab. "Enggak! enggak mungkinlah!" Aira menggeleng sambil menyilangkan kedua tangan didepan dada.

"Bercanda. Nggak usah serius amat." Sheila membentuk tanda peace sambil nyengir.

"Dasar."









:::




Leave support sign! (re: tap star and comment below)

Stay True, Stay DifferentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang