15. Beranjak pergi

871 59 41
                                    

"Teruntuk sepi, pergilah. Aku bosan berkawan denganmu."

................

Pagi ini dengan setangkai bunga Lili putih, Azril datang menemui perempuan yang sudah lama pergi dari kehidupannya.

Ada setitik rasa sesak yang masih belum sirna. Dan kenangan itu kembali menguap, hadir tanpa permisi.

"Pagi, Na." Suara Azril serak. Ia mengulas senyum tipis, lalu meletakkan bunga Lili yang dipegangnya ke atas gundukan tanah di hadapannya. "Hari ini, aku kangen kamu. Pengen banget cerita, cuma mungkin kamu akan bosan dengernya."

Angin sejuk kembali membungkam mulut Azril. Jeda sesaat sebelum akhirnya cowok itu menunduk lesu.

"Azril harus gimana lagi, Na? Azril udah jadi orang jahat, Azril udah nyakitin hati perempuan yang Azril sayang." Cowok itu menunduk dalam, menggerakan jari-jari tangannya di depan nisan kayu yang sudah sedikit pudar warnanya. Helaan napas kini keluar seiring tiupan angin membawa anak rambut Azril berayun.

"Kayaknya hidup Azril memang ditakdirkan seperti ini ya? Di saat Ayah memutuskan buat menikahi perempuan lain, kamu hadir sebagai pengobat kerapuhan Azril. Lalu, Tuhan dengan kejamnya mengambil kamu lagi. Seolah Azril ini emang diciptakan hanya untuk mendapatkan luka aja, nggak pantas buat bahagia."

Kini terlihat jelas siapa yang sebetulnya sangat rapuh di sini. Cowok yang mempunyai warna mata hitam legam itu sebetulnya bisa saja menangis karena meratapi hidupnya yang begitu menyedihkan. Hanya saja, Azril sangat enggan menunjukannya. Ia tidak pernah mau orang-orang di sekitarnya melihat dirinya lemah.

Maka, ia menahan semuanya. Membiarkan rasa sakit terus menggerogoti dirinya sedikit demi sedikit.

"Dan, saat Tuhan kembali menghadirkan kebahagiaan baru. Lagi-lagi, semuanya nggak berjalan seperti yang Azril harapkan. Azril sudah membuat kesalahan fatal." hanya hening yang setia menemai suara parau milik Azril. Cowok itu mengusap wajahnya perlahan, "Namanya, Laurel Lilac Alensha. Wanita pertama yang membuat perasaan Azril kembali menghangat setelah kamu pergi-"

"Kalau sayang itu, ya, perjuangin dong." sela suara yang tiba-tiba terdengar dari arah belakang. Cowok itu berdeham pelan, "Jangan kayak banci, deh. Lari dari masalah."

Azril hanya terdiam mendengar suara sahabatnya itu. Bahkan suaranya seolah lenyap saat dirinya ingin menjelaskan semua kejadian yang sebenarnya.

Masalah yang membuat Azril terjebak dalam keadaan sekarang.

Rifki membuang rokoknya, menginjaknya di atas rumput hijau. Lalu kembali berjalan menuju sosok yang sejak lima menit lalu sudah ia perhatikan.

"Gue juga kangen banget sama dia," ucap Rifki, ikut berjongkok di sebelah Azril. "Gue yakin, Ana sangat amat kecewa sama sikap lo ini, Zril."

Azril menghela napas, melirik Rifki sesaat, kemudian mentap lurus. "Emang harusnya kayak gini," ujarnya pelan. "Gue yang tahu dan jalani. Dan lagi, semuanya udah terjadi gak mungkin balik lagi seperti semula."

"Lo itu tolol apa bego sih?"

Azril menoleh dengan tampang datar. "Gue udah memutuskan buat pergi dari kehidupan Lila. Gue gak mau menyakiti Lila lagi."

"Yaudah, terserah lo. Tapi jangan nyesel ya karena udah ngelepasin orang yang seharusnya lo pertahanin."

Rifki beranjak. Kemudian menarik lengan Azril agar ikut berdiri sejajar dengannya. "Indomie goreng pake kornet enak nih, yuk-yuk otw."

"Gue harus masuk kelas. Takut Ibu kecewa pas tahu gue bolos jam pelajaran pertama dan kedua."

"Iye. Tapi makan dulu pokoknya."

Game Over (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang