"Semua orang selalu punya luka. Hanya saja cara mereka berbeda dalam menyembunyikannya."
**************
Suara ketukan pintu yang khas, membuat petikan gitar yang sedang Azril mainkan berhenti. Cowok dengan iris mata hitam itu meletakan gitarnya, ia kini beranjak dari tempatnya duduk. Kemudian berjalan menuju pintu kamarnya.
"Kenapa?" tanya Azril ketus. Pintu kamarnya sudah terbuka setengah, ternyata yang mengetuk pintu adalah Ibu tirinya-Jeni.
"Makan dulu. Ditunggu Ayah di bawah," ucap Jeni dengan datar. Perempuan itu tidak terlalu ambil pusing dengan sikap anak tirinya yang dari awal memang tidak pernah menyukainya. "Mami-"
"Tunggu," sergah Azril cepat. Cowok itu menatap Jeni tidak suka. "Ibu saya cuma satu dan itu juga bukan anda."
Jeni menarik napas dan membuangnya dengan kasar. Ternyata menyebalkan sekali meladeni anak tirinya ini. Jika bukan suruhan Riyan-suaminya, dia juga tidak mau repot-repot pergi menemui Azril. Sok perhatian, apalagi berbasa-basi seperti sekarang.
"Dengar," Jeni bersidekap. Menarik alisnya ke atas, lalu mengucapkan kata-kata yang sukses membuat amarah Azril memuncak. "Ayah kamu saja memilih saya, berarti Ibumu memang tidak becus mengurusi suaminya sendiri. Lagian, jika bukan karena kamu anak tunggal, mungkin sejak dulu Ayahmu sudah mengusir kalian dari sini."
Cengkeraman pada gagang pintu yang Azril pegang mengerat seiring ucapan Jeni meluncur dari bibir tipis perempuan itu. Azril diam, berusaha mengontrol emosinya yang sekarang sudah ingin meledak.
Sebelum Jeni pergi dari hadapan Azril, cowok itu dengan sinis berkata, "Kenapa Ayah saya bisa luluh dengan iblis seperti anda ini, ya?"
Jeni menatap Azril tersinggung, namun tidak menghentikan langkahnya untuk pergi dari hadapan cowok itu.
Sesaat Azril menutup matanya, mencoba menghilangkan amarahnya. Cowok itu perlahan menutup pintunya, menjatuhkan dirinya di atas lantai yang dingin. Kedua bola matanya menerawang ke atas, memikirkan kesalahan apa yang sudah dia perbuat sehingga menyebabkan kekacauan besar dalam keluarganya ini.
Azril menarik napas, berusaha meredam semua amarahnya. Sebelah lengan Azril berusaha menjangkau piala yang berdiri tegak di atas meja kecil dekat pintu. Tertera juara pertama gitar solo. Azril tersenyum kecut. Piala ini sudah tidak ada artinya lagi sekarang, bahkan Ayahnya yang dulu selalu menyeruakan namanya ketika ia tampil memukau di atas panggung, sekarang sudah tidak pernah mempedulikannya lagi, sedikitpun.
Maka dari itu, tanpa berpikir lagi, Azril langsung melempar piala itu pada dinding sampai menimbulkan bunyi nyaring yang cukup keras.
Piala itu hancur, persis seperti dirinya sekarang. Semua impian dan harapan Azril pada keluarganya sudah lenyap tak tersisa. Dan ketika Azril menginginkan keluarganya seperti dulu, maka hatinya akan berdenyut kencang, karena ia tahu semua itu tidak akan pernah terjadi.
-Game Over-
Kedua mata Alan terus melirik perempuan di depannya dengan penasaran. Pasalnya, ia tidak pernah melihat Lila menjadi pendiam seperti ini. Walaupun mungkin perempuan di depannya ini tengah fokus membaca laporan miliknya, namun tetap saja Alan merasa ada yang tidak beres dengan cewek di depannya ini.
"La," panggil Alan, ragu, "Lo ... sama Azril gimana sekarang?"
Tiba-tiba Alan merasa kikuk, saat Lila dengan mata tajamnya mulai melirik dirinya dengan perlahan.
Lila terdiam sesaat, kemudian menurunkan kedua lengannya yang masih asik memainkan keyboard laptop dengan perlahan. Cewek itu kemudian mengerutkan alisnya, merasa bingung.

KAMU SEDANG MEMBACA
Game Over (Completed)
Fiksi Remaja"Semua orang selalu punya luka. Hanya saja cara mereka berbeda dalam menyembunyikannya." •••• Azril Laksha Arkan adalah cowok dengan kelakuan minus yang membuat Lila selalu kesal jika berada di dekatnya. Cowok yang selalu melanggar aturan itu punya...