14. Kita sama-sama terluka

894 59 18
                                    

"Aku menjadikan kamu segalanya. Namun, segalanya bagimu bukan aku."

..........

Senja yang muncul dari ufuk barat, perlahan mulai tenggelam. Menampilkan siluet hitam yang kian terlihat jelas.

Bola mata Azril terus terarah lurus, lengannya tak lepas dari stir mobil yang sedang ia lajukan menuju rumah Lila.

Kini, lampu merah menyala. Dan dengan patuh, Azril menghentikan laju mobilnya. Dari sudut matanya, ia dapat melihat bahwa cewek di sampingnya tengah tertidur pulas.

Azril menghela napas berat. "Maafin gue," ujarnya, sangat pelan.

Entah untuk kesekian kalinya, Azril berusaha menahan semua keinginannya agar ia tidak menyentuh cewek itu. Ia harus sedikit bersabar, karena Azril yakin suatu saat nanti ia pasti akan kembali menggenggam lengan Lila tanpa ada hambatan apapun.

Kini, mobil Azril kembali melaju dengan pelan saat lampu merah berganti dengan lampu hijau.

Sepanjang jalan, hanya keheningan yang menemani Azril. Tidak ada musik atau suara tawa seseorang yang biasanya selalu ia dengar.

Azril sengaja tidak menyalakan musik untuk sekedar mengisi hening yang tercipta di sini. Ia harus bisa membiasakan dirinya mulai saat ini, karena hari-hari selanjutnya akan penuh dengan sepi yang sudah ia ciptakan sendiri.

Sampai akhirnya ia tiba di depan gerbang rumah Lila. Keheningan itu masih saja terasa.

Azril keluar dari mobil, kemudian segera membuka pintu penumpang. Cowok itu menundukan tubuhnya, lalu membawa tubuh kecil Lila menuju dekapannya.

Sejujurnya, Azril ingin sekali membawa Lila ke rumah sakit. Namun, Lila terus menolak untuk pergi ke sana. Alhasil, hanya anggukan setuju yang dapat Azril lakukan jika Lila sudah seperti itu.

Pagar rumah terbuka lebar dan dengan langkah santai Azril masuk ke dalamnya. Seulas senyum kecil Azril berikan pada satpam yang membukakan pagar untuknya.

Di depan pintu sudah ada Asisten Rumah Tangga yang selalu Azril temui jika ia sedang berkunjung ke rumah Lila. Namanya, Bi Asih. Wanita paruh baya itu menatap Azril dengan tampang cemas.

"Non Lila kenapa, Den?" tanya Bi Asih dengan khawatir.

"Sakit Bi," jawab Azril tenang. Cowok itu berhenti sejenak, "boleh saya antarkan Lila ke kamarnya?"

Bi Asih mengangguk. "Kamarnya ada di lantai atas. Pintu kedua, catnya warna putih." setelah itu, Bi Asih langsung membukakan pintu masuk untuk Azril. Wanita itu hanya tersenyum tipis lalu kembali ke dapur.

Langkah kaki Azril terus melangkah menaiki satu demi satu anak tangga. Sesekali ia menoleh ke bawah, memastikan jika Lila masih terjaga.

Cewek itu tertidur dengan tenang. Wajahnya sangat polos, yang membuat Azril sangat betah menatap Lila dan keinginan egoisnya terus muncul untuk tidak ingin jauh dari gadis ini.

Langkah Azril terhenti saat ia sudah berada tepat di depan pintu bercat putih. Ia membuka pintu dan perlahan masuk.

Bola mata Azril langsung bergerak, menelusuri setiap sudut ruangan yang seakan menghipnotisnya.

Aroma sejuk langsung terasa saat ia sudah menidurkan Lila di tempat tidur. Sejenak, Azril terdiam. Ia berjongkok. Perlahan kedua lengannya bergerak, menggenggam erat sebelah tangan Lila.

Lalu, Azril mengecupnya. Cukup lama. Cowok itu terus menatap Lila sampai akhirnya ia menghela napas. Azril merasakan matanya memanas pada detik ini juga, cowok sepertinya sudah tidak bisa berbuat banyak untuk Lila. Hanya ini yang bisa ia lakukan untuk melindungi gadisnya. Iya, benar. Dengan mengorbankan perasaannya sendiri.

Game Over (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang