Faked True

86 9 4
                                    

Mata lawanku itu menatap dingin mengkilap tajam. Pedangnya sudah dalam mode kekuatan khusus dengan rantai dibelakangnya. Jubah hitam yang berwarna kontras dengan rambut dan pedangnya menyatu hendak membunuh tanpa hati.

Ini bahkan sepuluh kali lebih buruk daripada melawan monster Sky Tower!

"Oke..." ucapku ragu mengganti pedang pemula dengan pedang bersarung warna merah. "Kau hanyalah lawan tak nyata kan," tukasku pelan membuang semua keraguan.

"Break."

†      †      †

2005, Indonesia

Sejak dulu...aku selalu bertanya-tanya.
Kenapa dunia ini dibuat dengan struktur yang sangat mudah?
Kenapa teori bisa difilsufkan dalam sekali pandang?
Kenapa penjabaran dunia yang dibuat oleh Tuhan ini saling berkaitan?

Aku tidak tahu. Apakah aku yang aneh karena sangat mudah memahaminya ataukah orang lain yang terlalu bodoh untuk mengerti satu dua hal saja yang dunia berikan.

Dalam wujud yang bersembunyi dibalik anak 6 tahun ini aku selalu bertanya.
Kenapa aku tak sama dengan mereka yang seusiaku?

Kenapa mereka selalu memandang dengan tatapan seolah aku bukan berasal dari dunia yang sama seperti mereka?

Mereka menatapku dengan penuh harapan. Harapan akan masa depan yang cerah, harapan akan kejeniusan pada masa mudaku.
Tapi kenapa? Kenapa mereka tidak mau berusaha dan justru melemparkan semua beban itu padaku? Apakah orang dewasa selalu seegois itu!?

Buku kuno berbahasa sansekerta itu kututup. Mataku memandang tumpukan buku lainnya yang berada di perpustakaan kecil panti asuhan, mengambil asal satu dari sekian buku yang disumbangkan dari pemerintah. Kali ini Perancis...aku tidak habis pikir bagamana cara pikir orang dewasa memberikan kami buku yang tak cocok untuk anak-anak.

"Semuanya berkumpul, hari ini kita akan mendapatkan teman baru!"

Seorang wanita yang merupakan salah satu pengurus panti memanggil kami—mungkin kata 'kami' kurang tepat, karena hanya aku sendiri yang lebih suka menghabiskan waktu untuk perpustakaan dibandingkan bermain dengan yang lainnya. Aku tidak mengerti dengan hal rumit seperti pertemanan, apalagi kerja sama...mereka adalah kepuasan diri yang bernama kebohongan.

Setengah malas beranjak, kakiku melangkah sendiri menuju ke luar. Sekarang tahun ketiga aku berada di tempat ini. Tapi sampai kinipun, aku tidak tahu orangtua mana yang menelantarkan anaknya di sebuah kota terpencil. Dan jika diselamatkan adalah sebuah keberuntungan, maka aku sangat beruntung bertemu pemilik panti yang kupijaki ini. Saat itu ketika aku terbangun di sebuah kota asing, kupikir mati bukanlah masalah yang harus dikhawatirkan lagi. Tapi setelah dipikir-pikir, mungkin itu adalah pernyataan konyol yang pernah dibuat olehku dahulu.

Penghuni dengan umur diantara 5 sampai 10 tahun itu berdiri memutari si pendatang baru. Anak perempuan itu turun dari mobil mewah dengan dua orangtua yang kelihatannya merupakan ibu dan ayahnya. Anak perempuan itu hampir menangis, tapi tidak banyak protes dan menahan tangisannya. Barulah setelah beberapa waktu yang panjang usai mobil itu pergi meninggalkannya. Anak perempuan itu menangis.

"Jangan menangis." ucap seorang anak perempuan lainnya menepuk pundak anak perempuan itu. "Hai, aku Flora! Sama sepertimu, orangtuaku juga menitipkanku. Salam kenal."

Altarnia Kingdom [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang