Planning

136 16 2
                                    

Cerita ini hanya fiksi belaka, dan murni buatan saya. Jangan disama-samakan dengan cerita/game lain.

† † †

Rahsya menginjakkan kaki di atas taman yang basah. Tak jarang ia berteriak karena sesuatu terasa menyentuh kakinya, yang ternyata hanyalah rumput basah. Tanpa alasan yang jelas, dapur di rumah Pierre tersegel oleh sihir pengaman seperti gembok yang mustahil bagi Rahsya mengetahui letak kuncinya. Dengan pikiran menemukan kunci itu jatuh, tangannya mulai bermain-main dengan pot-pot bunga yang pernah dibawanya langsung dari guild.

Beberapa waktu yang lalu Rahsya mengirim pesan singkat pada Pierre, tapi entah mengapa sampai saat ini email itu tidak dibalas meski hanya sepatah kata. Di saat itu juga Rahsya memutuskan untuk tidak lagi mengirimi atau menerima email apapun atas nama Pierre.

"Ada yang bisa kubantu?" suara elegan yang muncul dari balik pintu menampilkan sesosok gadis cantik dengan bola mata violet-nya.

"Tidak perlu," sergahnya cepat. "aku hanya mencari udara segar."

"...baiklah," suara gadis violet itu melemah lalu duduk di kursi teras seraya mencengkeram erat bagian ujung gaunnya.

Saat ini otaknya sedang berkilas balik tentang kejadian sesaat yang lalu. Peristiwa yang setidaknya bukan hanya menghancurkan hatinya tapi juga akal sehatnya.

Beberapa saat yang lalu sosok teman baiknya selama setahun itu berubah menjadi sosok yang tidak lagi dikenalnya. Gadis sopan yang benar-benar menjaga orang lain itu justru tanpa ampun melukai orang lain. Estella sedang berpikir, apakah dampak kematian Milly benar-benar seburuk itu untuk Noriko?

"Ah, mereka pergi ke tanah terlarang," ucap Rahsya agak keras supaya bisa didengar Estella. "Mereka ingin menemui Tryvia dan sepertinya bantuanku diperlukan. Kau mau ikut?"

Pertanyaan Rahsya tidak mendapat tanggapan apapun dari Estella, gadis itu hanya termenung duduk di kursi seraya menundukkan kepalanya ke bawah.

Keadaannya yang seperti itu entah mengapa membuat Rahsya mengingat sesuatu yang lebih penting daripada bertanya apakah gadis itu mau ikut atau tidak.

"Hei, Estella. Apakah itu benar?"

Estella menoleh sejenak memikirkan maksud pertanyaan Rashya. "Tentang?"

"Kau tahu," helanya pelan. "tentang Pierre yang kau ceritakan saat kita keluar dari gua dungeon."

"Aku tidak punya alasan untuk berbohong padamu, kenyataanya dia yang kau kenal bukanlah dirinya yang sebenarnya."

"Begitu, ya." Rahsya menutup email yang diterimanya dari Peina dan mulai mengalihkan pembicaraan. "Sepertinya aku harus segera menyusul mereka."

"Kalau begitu aku juga," ujar Estella bangkit dari posisinya. "kau takut akan kegelapan bukan? Aku mengenal seseorang yang seperti dirimu."

"A-aku tidak takut, hanya saja ... GYAAH!"

"Maaf, yang barusan itu kakiku."

Dasar iblis! batin Rahsya dalam hatinya.

Walau terdengarnya benar-benar tidak sengaja, Rahsya yakin kalau Estella sengaja menendangkan kakinya ke meja balkon sehingga membuat suara bising menyeramkan. Sebuah cara yang sempurna mengingat Rahsya memiliki harga diri tinggi yang tidak mudah digoyahkan.

"Baiklah baiklah, kau ikut." pasrahnya. Estella hanya membalas dengan senyuman tipis.

"Bukankah kita harus menunggu temanmu yang satu lagi?"

Altarnia Kingdom [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang