Chapter 6 - When Spring Like Autumn

209 21 4
                                    


Pagi ini aku bangun dengan semangat, lalu tiba-tiba aku ingin membuat salad, jadilah sekarang dengan pakaian rumah, aku berada di supermarket dekat apartemen untuk membeli beberapa bahan. Aku mengenakan celana panjang dengan motif pattern yang aku padukan dengan T-Shirt selengan berwarna magenta polos, dan rambut yang kuikat membentuk buns ke atas, lengkap dengan kacamata yang masih bertengger di ujung hidungku, karena tadi pagi aku mengerjakan tugas essay individuku terlebih dahulu usai bangun pagi.

Aku memasuki supermarket dan mengambil troli, lalu memilih selada segar, kubis ungu, paprika kuning, tuna kaleng, minyak zaitun, white paper, cherry tomato, apel, serta tak ketinggalan kimchi kaleng. Lalu aku juga membeli beberapa roti gandum, selai kacang, telur, sosis, beberapa buah, moeslee serta susu segar. Ya, sebenarnya sarapan pagiku hanya makanan yang mudah di buat tapi sedikit sehat, karena aku tidak mau pipiku mengembang akibat terlalu pagi makan ramyoen, itu sungguh tidak sehat. Lalu aku berjalan ke arah kasir, tapi disana sosok yang sangat aku kenal sedang berbelanja. Baekhyun-Saem.

Ketika aku mendekat, wajah Baekhyun-Saem tampak panik. "Maaf aku akan segera kembali. Tapi kumohon jaga barang belanjaanku. Apartemenku dekat sini." Katanya meminta kepada petugas kasir.

Ternyata pria sepertinya bisa juga ketinggalan dompet, pikirku. "Pakai ini saja, tolong hitung barang belanjaannya dan belanjaanku, tetapi tolong pisah di kantong yang berbeda tuan." Kataku sambil menyodorkan kartu kreditku.

Petugas kasir menghitung semuanya dan memisahkan barang belanjaan kami sesuai permintaanku. Lalu Baekhyun-saem menoleh ke arahku, "Terima kasih telah membantu, aku akan menggantinya di apartemen."

Aku hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala. "Gwenchana, kita adalah tetangga. Meskipun saem professorku. Anggap saja itu adalah makanan pembuka antar tetangga. Call?" kataku seakan membuat kesepakatan.

Kemudian dia menggangguk, tak lupa mengucapkan terima kasih lalu menerima barang belanjaan yang sudah di rapikan oleh petugas kasir dan membawanya. Kami berjalan beriringan, karena memang kami akan menuju gedung yang sama. Aku mengamatinya pelan pelan. Benar, dia memang tampan, meski dengan wajah bareface seperti ini. Tetapi kenapa dia selalu bersikap dingin. Padahal ketika dia tersenyum itu adalah pesonanya.

"Apa tidak pernah melihat wajahku?" kata-katanya membuyarkan pandanganku dan menyadarkanku bahwa aku ketahuan mengamatinya. Aku menggelengkan kepala, "Entah mengapa aku merasa pernah bertemu dengan professor sebelumnya, tapi aku tidak tahu kapan dan dimana." ujarku dan kembali menghadap jalan, kurasa pipiku kini bersemu merah karena malu. "Apa kau tinggal sendiri disini ?" tanyanya lagi.

"Eoh, keluargaku berada di Seoul dan aku hanya menjadi mahasiswa Study Exchange. Bagaimana denganmu saem ? Apakah kau tinggal disini selamanya?"

Dia menggangguk-anggukan kepala lalu menjawab, "tidak, aku hanya akan tinggal sementara disini. Ayahku memberiku sebuah tugas, jadi ya disinilah aku, menjadi seorang dosen."

"Apakah ayah Saem juga seorang profesor ? Aku tidak menyangka bahwa di umur sekian, saem sudah menjadi professor. " ujarku jujur. Karena memang di umurnya yang terbilang cukup muda, seharusnya dia masih menjadi asiasten dosen mungkin, meski telah lulus program master degree.

"Tidak, ayahku seorang mantan hakim, dan kini menjadi seorang pengusaha. Perlu kuingatkan, umurku sudah hampir 30 tahun jika kau lupa. Tapi apa aku terlihat semuda itukah ?" jawabnya dengan menolehkan kepala menghadapku.

Apakah dia sedang pamer tentang wajahnya atau ini benar-benar sebuah pertanyaan bodoh.

"mwolah, menurut Pat seperti itu." Jawabku asal sambil meneguk susu plain kemasan kecil yang aku beli tadi.

R E G R E TTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang