Awal pertengkaran

290 26 0
                                    

Bogor.
Juli, 2016


Awalnya aku yang tidak terlalu peduli dengan teman satu kelas mendadak jadi berubah, aku jadi begitu peduli. Tadinya hanya beberapa teman dekatku saja yang memanggilku dengan sebutan Kancut kini begitu beberapa orang tahu dengan sebutan itu mereka awalnya tertawa tapi ikutan memanggilku dengan sebutan itu juga. Lama-kelamaan kalau mereka menyebut nama asliku pasti rasanya aneh, mereka juga suka keceplosan manggil nama panggilanku di depan guru.

Sebenarnya itu panggilanku sejak SD, awalnya kesal banget, secara panggilan itu aneh banget  dan rasanya nggak pantes aja, tapi seiring waktu aku sudah malas berantem dengan mereka hingga akhirnya aku mulai terbiasa di panggil Kancut sampai sekarang.

Oh iya, sekarang aku mulai hafal dengan nama-nama teman sekelasku. Belum semuanya akrab sih, cuman baru teman satu barisku saja yang sudah akrab denganku. Untuk anak lelakinya sih masih saja meledekku yang mata empat lah, sipit lah, masa bodoh, kesal juga kalau di ingat-ingat, rata-rata kebanyakan dari mereka itu semuanya anak nakal, ada Udin, Putra, Maulana, Epul, Dino, dan Erlangga.

Jika aku sudah di ledek, palingan aku hanya tertawa. Sudah biasa di ledek seperti itu mah.

🍃

Agustus, 2016.

Satu bulan kemudian aku semakin dekat dengan teman satu kelasku. Diam-diam aku berpikir jika kelas ini ternyata anak-anaknya sangat supel, asyik deh, semakin membuat aku berpikir sepertinya kelas ini akan memandang solidaritas di bandingkan sosialita.

Cukup satu bulan saja kita semua sudah dekat. Semakin berjalan hari, aku yang seharusnya sudah berhenti mengikuti kegiatan apapun dan memilih memfokuskan diri untuk persiapan UNBK dari sekarang, tapi, aku justru sebaliknya dan aku semakin di sibukkan dengan lomba PMR, di tambah aku sedang menunggu tentang siswa dan siswi yang lolos tantangan literasi untuk mengikuti jambore yang tidak aku ketahui di mana tempatnya akan di laksanakan.

Saat ini aku sudah pulang sekolah dan aku tidak langsung pulang ke rumah, karena aku harus latihan mengingat beberapa minggu lagi aku akan lomba PMR. Ketika aku pindah ke lapangan bersama yang lain ternyata sudah ada anak futsal. Malas juga sih di lihat anak futsal ketika aku dan yang lain sedang latihan yel-yel untuk lomba.

Saat sibuk berlatih, aku justru malas-malasan dan menatap anak futsal. Mataku terarah pada Maulana dan Erlangga, keduanya sedang melihat kami. Ya, aku tidak ingin bilang bahwa mereka sedang menatapku, itu terlalu geer.

Aku jadi merasa tidak enak karena sepertinya mereka ke ganggu dengan kehadiran kami. Aku hanya bisa berharap semoga saja besok mereka tidak mencaci maki atau pun meledek PMR. Aku harap begitu, mengingat mereka menghinaku dengan mata empat saja sudah bikin aku kesal, apalagi di tambah menghina PMR.

"Istirahat bentar yuk," ajak Rasya mendapat anggukan setuju dari yang lain. Kami duduk melingkar di koridor. Karena bingung ingin melakukan apa, akhirnya kami bermain truth or dare. Sesungguhnya aku sangat merutuki permainan itu, tapi aku di paksa untuk ikut bermain, mau tidak mau aku mengangguk.

Ketika arah tutup pulpen mengarah ke Rasya, Ani selaku yang memutar pulpennya bertanya ke Rasya ingin memilih apa.

"Dare." Berani juga nih, Rasya. Tadinya aku tidak tertarik untuk melihat, sebelum aku menyadari bahwa Ani meminta Rasya untuk bilang ke Erlangga jika Rasya mencintai lelaki itu. That so crazy dude! Aku adalah orang pertama yang tertawa sekencang mungkin, padahal Rasya belum melaksanakan aksinya.

One Year Full Of MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang