Pang

71 11 2
                                    

Bogor.
Januari, 2017.


OH MY GOD! HARI INI AKU LOMBAAAAA.

Lomba sastra.

Ya Allah.

Jam setengah tujuh saja aku sudah berada di kelas, Marwan juga sudah datang. Aku duduk di meja guru cuman ngeliatin meja sama kursi, ini sih gabutnya keterlaluan.

"Assalamualaikum."

Aku menoleh. Dan. Wow.

"Waalaikumsalam."

Ternyata Erlangga kalau dateng jam segini, pagi juga, ya. Padahal rumahnya kan deket, kayaknya sih. Aku juga nggak tahu rumahnya, di pikir-pikir juga aku bahkan belom tahu ulang tahunnya, hanya tahu tanggalnya, nggak tahu bulannya.

"Tumben pagi."

Oh, oke. Sekarang dia berdiri di depan meja guru, yang artinya dia berdiri di depanku.

"Di suruh jam segini."

"Oh."

Melihat Erlangga pergi aku langsung membuang nafasku. Lega. Di depan dia sih aku normal, sok jutek, sok judes padahal tuh aku lagi mati-matian biar nggak senyum, biar deg-degannya bisa hilang.

Hari ini aku hanya berharap lombaku berjalan dengan lancar, lumayan juga bisa ketemu Kak Pidi Baiq sama cogan-cogan. Hehehe. Katanya sih di sekolah itu ada ekskul gitar yang isinya cogan kabeh, nanti di tampilin gitu. Jadi pengen lihat, sekalian ngebayangin kalau Erlangga yang main gitarnya. Hahaha, mulai ngelantur deh.

🍃

Benar-benar buruk.

Esoknya aku sangat malas hanya untuk membahas lomba kemarin. Tak satu pun dari kami yang membawa piala, kami pulang dengan tangan kosong. Aku sudah terbiasa dengan yang namanya kekalahan, tapi, tapi kalau pulang dengan tangan kosong... itu memalukan, bahkan sangat menyesakkan rasanya.

Aku juga tidak terlalu banyak bercanda dengan Erlangga. Aku hanya melihat dia, dia melihat aku, lalu aku yang membuang muka. Diam-diam aku yang memperhatikannya sedang menghapal surah Al-Insyirah. Aku yang sedang menatapnya tiba-tiba dia menengok. Mampus kepergok.

Aku membuang muka, tapi aku menengok lagi. HUAAA MAAPIN KANZA YANG GAK BISA NAHAN KEPALA BIAR GAK NENEGOK.

Tuh kan. Saat aku menengok lagi, Erlangga menopang dagunya, aku masih memerhatikannya bahkan sekarang dia sedang smirk. Ya Allah, astaga, aduh gila gue.

Fix, aku langsung memainkan handphoneku daripada aku harus melihatnya, bisa-bisa kena serangan jantung.

Setelah pelajaran PAI tidak lama guru TIK kami sudah datang. Baru masuk juga langsung memanggil nama murid satu per satu untuk mengambil nama organ tubuh buat tugas praktik gitu. Kelas tadinya heboh banget, katanya kalau Albi itu cocoknya dapet bibir, karena bibirnya yang paling beda dari yang lain, lalu Devi cocoknya hati, karena Devi ya nggak tau deh cocoknya hati aja gitu, tiba-tiba namaku di sebut, katanya aku cocoknya mata, karena apa? Karena sipit. Yak. Terserah.

Meja guru sudah di kerubungi anak-anak, akhirnya aku maju, kebetulan namaku di sebut saat itu juga. Aku membuka kertas itu dengan hati-hati, supaya nggak ada yang melihat.

"Nggak ada Kancut, Cut."

Tanganku sudah siap ingin memukul pundak Erlangga, tapi cowok iu sudah menghindar dan tertawa. Akhirnya aku berbalik badan, lalu girang sendiri. Akhirnya bercanda sama dia, hehehe.

Sekarang anak-anak sudah duduk menunggu giliran menuliskan e-mail dan nama organ tubuh yang mereka dapatkan dan di tulis di kertas yang di sediain guru.

"Cut, ini, Cut." Aku mengambil kertas tersebut ketika pundakku di colek Derma. Hal pertama yang aku lakukan bukan menulis e-mail aku, melainkan mencari namanya di absen 16.

Dada❤

So stupid, Angga.

Aku tertawa melihat tulisannya Rupanya dia mendapatkan dada. Tapi, apa harus ya di kasih tanda love gitu? Dasar, Angga.

🍃

Hari ini aku tidak banyak bercanda dengan Erlangga. Terakhir ya cuman waktu mau ngambil judul ujian praktik aja. Sisanya? Eye contact.

Aku tidak pulang sekolah dulu karena di suruh bantuin buat persiapan foto buku tahunan kelas. Dua hari lagi sih, kami akan foto di Kebun Raya Bogor dengan tema vintage.

Aku melihat propertinya yang lagi di buat, aku mencari namaku. "Apa-apaan pang sipitna? Siapa yang ngusulin?"

Wati tertawa. "Kan sia emang sipit."

"Elo ya yang nyarinin?"

"Kaga, anjir. Kan lomba sama lo."

"Oh, iya."

"Si Angga." Aku menoleh ke Nabila, aku menunggu ia berbicara lagi.

"Tadinya Angga nyaranin apa teh?"

"Pang cinana," jawab Dita di sebelahnya.

Dita menyerahkan papan nama yang baru ia tulis ke Nabila. "Tah eta, orang tadinya pas di tanya si Khancut enaknya apa, terus tiba-tiba si Angga nyeletuk, dia yang nyaranin pertama buat di tulis pang cinana, tapi biar lebih enak jadinya pang sipitna."

"Oh."

Mau tahu? Nggak gak apa.

AKU SENANG HEHEHEHE. Senang ternyata Erlangga orang pertama yang ngusulin. Aku melihat-lihat kembali papan nama tersebut, sekalian lihat-lihat dan mencari nama Erlangga.

"Najis."

"Si Angga sendiri itu yang ngusulin terus semua setuju, geli anjir," ucap Alfira di yang ikut duduk di sebelahku.

Aku memang geli sendiri sih, pede sekali tuh anak. Pang Jagona.

Jago darimana? Tadi aja waktu ada kecoak jalan di punggungnya dia heboh sendiri, tapi nggak lama sok kalem gitu, mungkin jaga image. Yang jelas aku tahu dia pasti panik, mukanya aja syok gitu. Ngelihatnya bikin ngakak aja si.

Kalau kalian tanya aku ilfeel atau tidak, jawabannya tentu tidak.

Semuanya punya kekurangan masing-masing kan. Aku nggak peduli lagian kalau ada yang bilang cowok kok takut kecoak. Kan setiap orang berbeda.

🍃

Author note :

Oke ini nggak feel parah sih. Maklum sensi abisnya mereka, temen-temen aku pada ngungkit lagi, iya ngungkit dia sama aku.

Tabi lah tabi.

Jadi niat unpub:) ya niat aku buat cerita ini kan udah di bilang dari awal, sebagai pelepas rindu doang yang bukan berarti aku masih ada perasaan sama tuh anak kan? Cuman mau di abadikan aja dalam tulisanku.

Toh cerita ini nggak terlalu baku, bahkan terlihat santai.

Yaudah lah. Curhat jadinya.

One Year Full Of MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang