Es batu

131 21 2
                                    

Sumedang.
November, 2016.

Malam di Sumedang saat ini sangat dingin. Banget. Hari ini aku terlalu sibuk, rasanya istirahat sepuluh menit saja itu kurang banget. Di tambah aku harus naik turun bukit jika mau kemana-mana, terlebih tenda yang aku tempati itu sangat jauh dari jalanan utama. Apalagi di sini tidak ada sinyal sama sekali, jadinya rada bosan juga kalau udah nggak ada kegiatan apa-apa.

Jadi teringat kelas. Bagaimana ya di kelas tadi? Hari ini kan ada ulangan TIK, apa semuanya menyontek seperti biasanya? Ah, tidak mungkin mereka menyontek sih, gurunya kan galak banget.

Atau ada masalah baru, ya siapa tau sih, kan Udin dan teman-temannya suka banget membuat emosi guru memuncak. Duh, mendadak aku jadi rindu kelas. Dan, aku mendadak teringat dengan seseorang yang seringkali heboh mencari orang yang bisa meminjamkannya topi untuk upacara. Aku pernah menjadi salah satu orang yang pernah meminjamkannya topi yang bahkan hampir tidak di kembalikan lagi jika aku tidak menegurnya.

Minggu lalu dia pernah mengambil topiku tanpa meminta ijin dahulu padaku. Aku yang tadinya marah tidak jadi, aku memilih untuk diam karena aku belum terlalu kenal dengan Erlangga saat itu. Ya, dia.

Lupakan, lah.

Sudah waktunya aku untuk tidur.

Besok hari terakhirku di Sumedang dan pasti akan lebih sibuk dari hari ini. Aku harus segera memulihkan tenagaku untuk besok, di tambah besok pasti akan sangat panas, di saat seperti ini aku butuh sekali payung, topi saja rasanya tidak mampu mengusir rasa panas di wajahku.

🍃

Aku sudah berada di bus, aku bahkan tidak tahu saat ini jam berapa. Terlalu capek dan ingin tidur, tapi karena ramai dan berisik oleh sekolah lain, jadinya susah tidur. Begitu bus jalan aku baru mendapatkan sinyal, akhirnya aku menyalakan data. Handphoneku mendadak di banjiri notif dari group chat kelas yang sepertinya rusuh dengan PR.

Astaga.

Untung saja besok tidak ada PR. Tapi aku harus tetap datang ke sekolah.

"Wat, jadi beli oleh-oleh?"

Oleh-oleh ini bukan untuk keluarga, melainkan untuk teman sekelas yang sudah sangat rusuh meminta tahu Sumedang.

"Moci weh. Teu aya tahu."

Aku hanya mengangguk. Perlahan aku memejamkan mata, aku ingin cepat sampai rumah lalu tidur.
Walau aku tahu, aku bukan orang yang mudah gampang tidur saat malam hari tiba.

🍃

Bogor.
November, 2016.


Paginya aku sangat malas untuk ke sekolah. Bukan hari ini saja sih, sepertinya setiap hari aku memang malas berangkat sekolah, apalagi di tambah rumahku yang dekat banget dengan sekolah, jadi tambah males ke sekolah. Ketika aku bangun, semua badanku langsung terasa nyeri, apalagi pundak dan betisku, huaaaa aku mau tidur lagi. Tapi ini sudah jam setengah tujuh, aku harus mandi!

Setelah mandi tubuhku terasa lebih segar, jalanku jadi rada lambat karena masih mengantuk, apalagi semalam aku baru bisa tidur jam dua pagi.

Begitu aku sampai di depan kelasku, anak laki-laki yang memang selalu duduk di teras kelas menyapaku, bukan menyapa sih, lebih terlihat seperti menagih oleh-oleh. Aku hanya tersenyum singkat lalu langsung ke dalam kelas.

Namanya juga teman. Baru juga datang langsung ditagih oleh-oleh.

"Ada di Wati."

Ketika aku ingin ke mejaku, aku berpapasan dengan Erlangga. Ehm, aneh, kenapa dia tersenyum.

"Cie pulang, oleh-olehnya mana?"

Ampun deh.

"Nggak ada buat lo," jawabku sembari tertawa kecil.

"Dih gitu."

"Misi napa Angga."

Erlangga bergeming sebentar. "Capek?"

"Iya lah." Aneh ni anak, ya pasti capek lah, ngapain nanya coba. Melihat Erlangga kembali berjalan tanpa berbicara lagi, aku pun kembali berjalan ke mejaku.

"Kok lo sekolah?" Tanya Fisya.

"Nggak tau." Aku terlalu lelah akhirnya menutup mata hingga tidak sadar aku pun tertidur.

Rupanya hari ini Wati juga kebanyakan tidur di kelas padahal dia tipikal anak yang tidak bisa diam. Sumpah hari ini tuh tentram banget karena semuanya nggak ada yang ganggu aku. Satu pun. Termasuk anak laki-laki, dan termasuk Erlangga salah satunya.

🍃

Sayangnya ketentraman itu tidak berlangsung lama. Buktinya, besoknya, aku tidak salah apa-apa tiba-tiba di lempari es batu yang berasal dari mulut si Erlangga. Ewh.

Segala ngumpet lah tuh anak, di kolong meja. Di kira aku nggak tahu apa.

"ANGGA IH JOROK!"

Erlangga berdiri dari tempatnya sambil memegang sedotan. "Kok gua? Si Cemong."

Aku menatap Maulana, tetapi anak itu menyalahkan Erlangga balik. "Boong Cut, bukan gua, si bernard noh."

Aku tahu siapa yang dimaksud Maulana itu. Bernard adalah nama panggilan dari anak laki-laki ke Erlangga, kata mereka sih wajah Erlangga mirip beruang. Erlangga kerap kali marah tiap di ejek seperti itu, tapi kemarahannya hanya ya biasa saja. Serem sih, kalau ada anak perempuan memanggilnya itu, pasti dia akan memukul gadis itu, aku tahu pukulannya tidak keras tapi banyak yang suka mengeluh. Untungnya aku tidak pernah mendapat pukulannya.

Ketika aku kembali membaca buku, dan tiba-tiba... basah. Kacamataku, wajahku, dan buku yang aku baca, semua basah.

"ANGGA IH SUMPAH YA LO ANJ-- astaghfirullah."

"Maaf cut, salah sasaran."

Aku mengambil buku lalu menimpuknya. Tapi tidak terkena sasaranku karena Erlangga sudah duluan menghindar.

"Yah, nggak kena Cut."

"Bodoamat sia."

Erlangga tertawa, sangat keras. Lalu dia menghabiskan minumannya karena sudah ada guru sejarah masuk. Satu hal yang membuat guru itu marah, di meja guru sudah banyak es batu, guru itu mencak-mencak ke anak laki-laki. Mataku refleks melihat Erlangga, gila ya... tuh anak bukannya bantuin Marwan bersihin malah ketawa sama teman-temannya, padahal itu kan ulah dia.

Emang dasarnya Erlangga itu udah gila.

🍃

One Year Full Of MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang