Perpustakaan

87 12 7
                                    

Bogor.
Januari, 2017.


Aku sudah di perpustakaan untuk pelajaran Sejarah tetapi pikiranku sudah melayang-layang jauh, aku memikirkan perkataan guruku tadi pagi saat aku di panggil ke depan.

Aku akan di turunkan untuk ikut lomba menulis cerita pendek.

Tau nggak sih jantungku udah kayak gimana bunyinya. Sempat aku meragukan kesempatan itu, aku bukan orang optimis uang selalu berpikiran positif, aku justru kebalikannya, seakan aku memang takut dengan segala hal yang terjadi dan lebih memilih untuk di zona yang membuatku nyaman. Namun ketika mendapat dorongan dan arahan akhirnya aku mau mengikuti lomba tersebut.

Aku nggak yakin menang, beneran deh. Pasti yang ikut itu yang jago-jago banget di sekolahnya. Aku paling mentok juga nulis cerita di blog aku sendiri sama buletin sekolah.

Tapi, senang juga sih bisa ikut lomba seperti itu. Apalagi lomba tersebut di adakan di sekolah terfavorit di kotaku, dan bintang tamu penulisnya itu yang bikin aku semangat ke sana, ada kak Lala Bohang! Makanya semangat deh, hehehe.

"Kancut ih jangan bengong."

"Hah? Iya, iya maap."

Aku dan Wati sedang mengerjakan tugas sejarah. Aku dan Wati memisahkan diri dari yang lain, bukan karena memilih-milih teman tapi di dalem itu udah sumpek banget apalagi ACnya lagi nggak di nyalain, panas kan jadinya. Jadinya aku sama Wati duduk di depan dekat pintu.

"Bentar ya gua mau ke Fazi dulu," ucap Wati lalu keluar dari perpustakaan. Sepertinya dia masuk ke kelas sebelah perpustakaan.

Aku duduk sendirian masih sibuk nyalin jawaban di buku paket.

"Ke mana aja maneh?"

Mendengar suara Bu Hena yang sedikit membentak itu, aku pun menoleh ke sumber suara lalu melihat ke arah pandangan Bu Hena. Ah, ternyata gangster. Aku kira mereka sudah tidak ingin belajar pelajaran ini lagi.

Aku tertawa pelan karena mereka sedang di omeli Bu Hena karena sering membolos pelajaran Sejarah. Aku tidak bisa mengintip mereka karena terhalang rak buku, palingan juga cuman kelihatan di celah kecil.

Aku kembali menulis lagi. Hm, Wati lama banget perasaan. Aku terlalu fokus hingga tidak sadar seseorang sudah duduk di sebelahku.

"Wat, lo lama-- Eh, kirain Wati."

Aku menjilati bibirku yang terasa kering. Aku mulai gugup lagi. Aku berhenti menulis dan memilih untuk memperhatikan Erlangga, kerap kali dia membuang nafasnya dengan kasar. Tidak mau kepergok sedang memperhatikannya, maka aku kembali menulis. Walau sebenarnya jantungku sudah tidak terkendali lagi.

"Kerjain apaan sih?"

"Itu... ini." Aku menunjuk halaman di buku paket. Lalu dia mendecak dan langsung meletakkan buku di kursi sebelahku.

"Nyontek ya."

"Iya."

Kenapa jadi canggung gini deh. Iya kayaknya aku doang sih yang ngerasa canggung.

Erlangga berusaha untuk melihat tulisanku yang malah membuat jarak kita semakin dekat. Ugh, sial, sial, sial! Aku nggak boleh deg-degan gini!

"Ah, pusing gua."

"Lagian bolos mulu," celetukku. Aku juga bingung kenapa aku tiba-tiba berbicara seperti itu.

Erlangga tertawa sebentar kemudian menyisir rambutnya ke belakang. "Males gua. Udah ah pengen ke kantin."

Aku menggeleng tak percaya dengan kelakuannya. Bisaan banget jalannya sambil nunduk biar nggak ketahuan.

Dasar, Angga.

🍃

Di kelas, aku hanya memperhatikan Erlangga yang sibuk menjahili anak perempuan. Tengil banget emang ya dia. Tapi kali ini aku hanya sebagai penonton bukan jadi pemerannya. Maksudku, kali ini aku bukan termasuk orang yang di jahili Erlangga.

Aku yakin banget kalau kita berdua jadi canggung, mungkin hanya aku yang berpikiran seperti itu. Mengingat tadi saat di koperasi yang ramai sekali, saat aku sudah selesai membeli makanan aku berbalik badan dan terjebak di antara manusia kelaparan. Aku menyingkir ke pinggir, namun ketika aku mendongak orang di depanku ini menunduk, aku segera membuang muka.

Dekat-dekat dengan Erlangga entah mengapa aku jadi salah tingkah sendiri.

Aku berjalan ke luar kelas untuk membuang sampah, bertepatan dengan Erlangga juga membuang sampah. Aku hampir saja tertabrak dirinya, salahkan dia yang memiliki badan yang tinggi. Aku bergerak ke kiri, namun Erlangga ikut ke kiri. Aku menatapnya sekilas lalu bergerak ke kanan, tapi dia ikut ke kanan.

ASTAGA.

Aku menatapnya tapi dia tidak menyengir, kalau dia menyengir berarti dia sengaja. Akhirnya aku langsung bergerak ke kiri, untungnya dia diam di tempatnya.

Sumpah, ini tuh pertama kalinya aku scanggung itu sama anak laki-laki, apalagi anak laki-lakinya adalah temanku sendiri.

Wake up, Kanza! Wake up! He is Erlangga, he is annoying boy, and you hate him. That's impossible if you like him!

🍃

Hari ini hujan, tapi aku melihat anak futsal datang ke sekolah untuk latihan. Ini hujan deras lho, dan... iya... hujan.

Aku tidak melihat adanya Erlangga. Aku dan yang lain pindah ke ruang kelas lain untuk lebih puas latihannya.

Kalau begini sih tiba-tiba aku merasa deja vu. Aku memang belum menceritakannya pada kalian, ini terlalu gila karena waktu itu aku selalu menceritakan Erlangga pada adik kelasku Ozzari, lucu ya namanya? Kayak Jepang gitu, tapi mukanya sama sekali nggak Jepang.

Jadi aku lupa kapan tepatnya, waktu itu Ozzari sangat memaksaku untuk menunjukkan Erlangga itu yang mana. Akhirnya aku mengajaknya ke toilet, di depan toilet aku dan Ozzari mengintip anak futsal sedang bermain.

Duh, aku jadi geli sendiri mengingatnya. Intinya aku menunjuk orang itu dan Ozzari pun akhirnya tahu yang mana Erlangga. Ini memang tidak penting, hanya saja kalau mengingatnya itu bikin ketawa aja, konyol banget ngintipin orang dari toilet.

Back to the topic.

Di kota yang sedang hujan ini, aku bisa memperhatikan anak futsal tertawa lebar sembari bermain bola. Aku dapat melihat Erlangga dari sini, dia sempat melihatku, itu pun hanya sekilas.

Entah mengapa aku tersenyum melihatnya saat sedang bermain sepak bola di tambah bermain hujan.

🍃


Author note :

Barusan dia chat masa. Lucu banget si buaya:)

Saling spj, allhamdulilah wkwk.

One Year Full Of MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang