Salam perpisahan

67 11 5
                                    

Bandung.
Mei, 2017.

Dari semalam sampai esok paginya saat sarapan aku tidak bertemu dengannya, bahkan saat ke tempat wisata di Bandung pun aku tidak berpapasan dengannya. Tapi, aku merasa senang sih, karena kalau ketemu dia pasti mendadak aku berubah jadi seorang gadis kaku yang pendiam. Jujur, aku sangat benci ketika aku menjadi seperti itu.

Tapi, ya mau gimana juga ada saatnya aku dapat bertemu dengannya. Tempat ini sempit, mau gimana juga pasti aku dapat melihatnya. Dia sedang di jembatan bersama yang lain.

"Ke atas yuk, ke lock love," ajak Dhisty. Aku mengangguk sekilas. Kakiku tidak ingin beranjak pergi dari tempatku. Aku terdiam, aku menjadi bingung apa yang harus aku lakukan ketika Erlangga tiba-tiba saja menoleh, aku bukan orang bodoh, aku tahu saat tatapan kami bertemu, ekspresi dia berubah, yang tadinya senyum menjadi diam, Erlangga jadi terlihat dingin.

Aku sudah di tinggal yang lain, kalau aku ke atas aku akan melewatinya, tapi kalau aku diam di sini, aku bingung harus ngapain karena sendirian. Ayo lah, berpikir!

"KANCUT SINI!" Aku menatap ke atas saat teman-temanku menyuruhku untuk ke atas. Aku pun akhirnya berjalan dengan pelan, saat aku menatap sepatunya entah refleks atau bagaimana aku langsung mendongak, sayang sekali... Erlangga justru menatap sungai di bawah jembatan ini. Aku tersenyum kecut, aku pun berjalan dengan cepat.

Bahkan sampai di atas, satu hal yang membuat dadaku sesak adalah, ketika Erlangga tetap diam di tempatnya sendirian, daripada ikut naik ke atas mengikuti teman-temannya yang lain. Lihat, teman-temannya, gangster, menghampiriku dan mengajakku ngobrol, dan aku yakin melihat Erlangga sempat menoleh ke atas, tapi lagi-lagi begitu tatapn kita bertemu dia langsung mengalihkan pemandangannya.

Erlangga begitu jelas menghindariku, dia begitu membenciku.

"Eh, Cut, lo nggak mau nulis nama kita di sini?" Dino menunjuk gembok berwarna merah. Lucu sekali ketika melihat berbagai gembok itu sudah ada beberapa nama pasangan. Aku tertawa. "Najis lo, Bobi."

Tak apa.

Masih ada yang menghiburku.

🍃

Aku sudah duduk di dalam bus dalam suasana hati yang buruk. Ku akui, aku ingin menangis saat ini, di tambah mengingat hari ini telah usai.

Aku sempat terkejut saat Erlangga mengambil tasnya lalu meletakkannya di atas tempat dudukku. Dia beneran pindah tempat duduk, dan sekarang dia di belakangku.

"Lo mau ke mana ih?" Tanganku menahan Fisya yang ingin berdiri.

"Ya Allah, Cut, mau ke kursi Dhisty doang."

Aku melepas genggamanku. Bukan karena aku tidak ingin Fisya pergi, tapi aku jadi tidak ingin sendirian saat mengetahui Erlangga duduk di belakangku.

"Heh, gua pindah bentar ya?"

Aku mengangguk sekaligus bernafas lega saat Marwan duduk di sebelahku. Sekali lagi aku ingatkan ya, aku nyaman sama Marwan karena dia sahabat sekaligus abangku, begitu juga sebaliknya, bukan karena kami memendam rasa.

Ponselku berbunyi, satu notifikasi pesan masuk dari Dhisty. Aku mengerutkan dahiku. Karena aku duduk di dekat jendela jadi susah untuk melihat ke Dhisty, bisa saja sih berdiri, tapi nanti jadi lihat orang yang duduk di belakangku, and I dont wanna it.

Dhisty

Angga ngeliatin mulu pas Marwan pindah ke kursi lo.

One Year Full Of MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang