Aib

82 12 6
                                    

Bogor.
Januari, 2017.

Hari ini aku tidak berminat membaca buku, bahkan aku malah membaca wattpad daripada membaca buku novel yang aku bawa. Emang nggak tenang sih bacanya, takut ketahuan terus HP di sita, wah jangan sampai deh.

Tapi nggak lama untungnya readhaton hari ini cepat selesainya. Yang lamain sih pas bagian ngerevisi cerita salah satu murid. Beberapa kali Wati memanggilku dan tertawa, aku mengerutkan dahi lalu mulai mengacuhkan panggilannya lagi dan memilih menyenderkan kepalaku di punggung Fildzah.

"Kanza."

Tumben. Tumben Erlangga memanggilku di saat seperti ini. Setelah menarik napas aku pun menengok tanpa berbicara apa pun, yang aku lihat Wati, Dita, Albi, Devi, Pitri, dan Erlangga serta Marwan di sebelahnya menahan tawa.

"Tau modol nggak?"

"MARWAN!"

Ah, ya Allah, ugh aku malu banget. Mendengar mereka tertawa dengan keras sampai jadi pusat perhatian, aku pun segara berbalik badan dan menutup wajahku. "Fildzah..."

Fildzah sepertinya menengok. "Kenapa?"

"Huaaaaa, gue maluuu."

Sial, pasti si Marwan nih yang ngasih tau. Ah, kenapa juga sih harus di sebarin lagi? Itu kan aib pertamaku saat jadi murid baru. Jadi tuh dulu aku masih jadi murid yang pendiam, yah namanya juga anak baru.

Aku ingat kok, sata pelajaran seni dan guru itu, Pak Ison sedang ngelawak dan semuanya ketawa, satu kelas ketawa, kecuali aku. Aku nggak tahu lucunya dimana, lagi pula aku nggak ngerti mereka bahas apa karena mereka ngomongnya pakai bahasa Sunda. Terus Pak Ison nyamperin aku dia nanya kenapa aku nggak ketawa, ya aku diam, dalem hati sih aku jawab nggak lucu pak!

Terus tiba-tiba dka nanya ke aku lagi. "Maneh nyaho modol teu?"

Ya aku nggak tahu jadinya aku gelengin kepala sambil datar gitu mukanya. Anehnya lagi yang lain ketawanya makin keras, terus Pak Ison ketawa, aku masih ingat jelas apa yang dia bilang. "Modol teh sesuatu yang indah." Dan kelas saat itu ketawa nggak karuan. Aku masih diam, sampai Mitha nyolek aku dan ngasih tahu arti dari kata modol. Dalam satu detik wajahku terasa panas dan aku ingin lenyap dari bumi. Modol artinya kotoran manusia, duh gitu deh.

Kan ingetnya aja aku udah kesel. Saat kembali ke kelas aku harap tidak ada Erlangga di sana. Sayangnya...

"Eh Kancut, modol apa, Cut?"

"Diem lo." Aku berlari ke mejaku. Tak lama guru PKN datang dan menyuruh kami untuk duduk perkelompok. Aku menyuruh mereka untuk duduk di pojokan. Aku menatap Marwan. "MARWAN LO TAI BANGET SIH, NGAPAIN DI SEBAR HAH?"

"Maap Cut hehehe."

"Lo juga ketawa." Aku memicingkan mataku ke Wati. Aku mulai diam saat Erlangga, Maulana dan Putra menghampiri meja kami. Pasti. Pasti Erlangga yang menyebarkannya.

"Eh aing hayang modol sia," ucap Putra.

BODOAMAT LAGIAN KALAU LO MAU MODOL JUGA.

Maulana tertawa. "Sia nyaho modol?"

"Nyaho lah, Mong. Apa sih ya? Coba, coba sebutin."

Buk!

"PERGI LO, MODOL SANA." Aku melempar buku tulisku dan mengenai Erlangga. Mereka akhirnya pergi, tadinya, tapi tiba-tiba mereka muncul di jendela. Ah, anjir, aku menutup wajahku dan mendekat ke Wati agar bisa menjauh dari jendela laknat itu.

"Cut, nengok dong."

"Nggak mau ih, sana ih Angga."

"Modol, modol."

One Year Full Of MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang