Malam di Bandung

69 13 7
                                    

Bandung.
Mei, 2017.

Mood-ku naik drastis ketika kami sudah sampai di Bandung, walau pun macet justru aku merasa senang. Emang, telat banget kan ya senangnya?

Kami menghabiskan waktu dengan bernyanyi bersama, terus kita juga berfoto bersama, parahnya lagi aku di ambil candid waktu Erlangga duduk di belakangku! Kayak mau senang tapi kesal juga. Kata Albi sih, itu buat kenang-kenangan terakhir kalau seandainya nanti tidak bisa foto berdua sama dia.

Beberapa kali juga Erlangga duduk di belakangku, bahkan tangannya saja sampai terlihat di sebelah kursiku, aku yang lagi nyender ke jendela jadi berdiri tegak takut menyentuh tangannya. Sesekali aku juga mendengar dia berbicara, "enak sia duduk di sini." Terus anehnya aku jadi senyum.

Tapi, baru gitu juga nggak lama aku di buat diam seribu bahasa. Ketika lagi ramai-ramainya berebutan makanan, aku terdiam memperhatikan jalanan kota Bandung. Sekaligus, aku mendengar percakapan Erlangga dengan Aldo.

"Gue mau kasih coklat, tapi nggak punya cewek," ucap Erlangga. Astaga, rasanya aku jadi perempuan paling bego yang saat itu jadi ngayal ngidul kalau Erlangga akan ngasih coklatnya ke aku.

"Tuh cewek banyak, depan lu cewek, itu cewek." Oke, aku jadi semakin deg-degan saat Aldo bilang begitu. Tapi nyatanya Erlangga menjawab, "I don't like it. Gua makan aja lah."

Ya kalau niatnya nggak mau ngasih ke siapa-siapa mah mending nggak usah ngasih tau.

Terus apa coba? I don't like it. Oh, sukanya sama kelas lain ya? Oke, oke, diem aja.

Iya, niatnya mau tidur malah di gangguin sama Putra, entah dia gabut atau gimana kursi aku sama Fisya di pukul-pukulin, apalagi si Fikri, mau tidur, acnya malah di nyalain, padahal udah bener di matiin.

"MPUT BISA DIEM GAK SIH?!"

"Bukan gua bego," balas Putra ikut teriak saat Fisya mengomelinya. Satu kali, aku diam. Dua kali, aku istigfar. Tiga kali, aku akhirnya berdiri dan berbalik badan menatap sinis ke Putra.

"Lo teh diem atuh, sakit tau!" Aku menjambak rambut Putra sampai dia kesakitan, yang lain tertawa puas.

"Lepas atuh anjing! Bukan gua, si Angga!"

Aku berhenti menjambak rambut Putra, sekilas aku menatap Erlangga yang berkata tidak, aku pun kembali duduk lagi. Yang lagi-lagi di pukul, aku dan Fisya masih diam.

Sampai nggak tahu mereka mau ngapain, karena saat aku dan Fisya liat ke atas, ada sebuah tangan. Kali ini Fisya lagi yang berdiri, "Angga gue tau ya itu tangan lo. Jail banget sih anjir." Diam-diam aku tersenyum saat mendengar Erlangga tertawa. Tak lama lagi kursiku di guncang, aku dan Fisya pun sama-sama berdiri. Tatapanku langsung bertemu dengan Erlangga.

"Angga ih diem napa," ucapku sembari mencubitnya.

"Aww! Eh, iya, iya, maap," balas Erlangga sembari tersenyum. Tak lama setelah itu dia kembali ke kursinya karena di usir Aldo. Rasanya senang, pasti. Sudah lama aku tidak bercanda dengannya, aku jadi excited, yang awalnya suram berubah jadi ada pelangi gitu.

Aduh, alaynya kumat deh.

🍃

Akhirnya setelah perjalanan yang cukup memakan waktu pun selesai juga, kami tiba di tempat penginapan kami pukul empat sore. Kami di persilahkan mengambil barang bawaan kami, dan menurutku aku satu-satunya dari anak perempuan yang paling simple. Ketika yang lain bawa dua tas ransel, aku hanya satu ransel itu pun tidak terlalu penuh.

One Year Full Of MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang