Ngambek

72 13 2
                                    

Bogor.
Januari, 2017

Kelas jadi engap di tambah penyakit maagku lagi kambuh. Lagian ngapain sih pewangi ruangan yang di semprot itu di mainin pake korek gas, meledak jadinya. Mending wangi, lah ini bau, bikin enek. Asep jadi dimana-mana, seluruh anak di kelasku keluar.

Mereka mencak-mencak ke Udin karena bermain pewangi ruangan itu. Aku duduk di meja guru karena sesak nafas, mau keluar juga sesak nafas. Kepalaku jadi pusing, mataku jadi berkunang gitu.

"Keluar dulu aja, Cut. Yuk." Aku memegang tangan Fildzah lalu bersender pada tembok.

Tiba-tiba Erlangga datang dengan memegang jaketnya dan tissue milikku. "Nih gue lindungin, keburu di abisin sama mereka." Aku tersenyum. Tadi memang lagi ribut di mejaku, ya biasa masalah modol itu belum tuntas.

"Taro, ih."

"Nanti abis, Cut." Aku mengambil tissue itu dari tangan Erlangga lalu kembali ke dalam kelas hanya untuk meletakkannya, kemudian keluar lagi. Aku berdiri di sebelah Erlangga. Aku lagi ngobrol sama Fildzah, ya membahas seputar lomba PMR nanti, entah aku geer atau gimana aku ngerasa aja Erlangga lagi ngeliatin kita. Tapi, kayaknya iya sih.

"Cut, modol."

"Angga diem dong, nanti gak gue promote nih."

Angga mengacungkan jari telunjuk dan tengahnya, peace. "Maap, maap."

Aku melirik ke sebelahku, ternyata Erlangga sudah tidak ada. Dia sedang bersama Dilla, kayaknya lagi ngeledekin Dilla yang hidungnya pesek. Padahal hidungku juga pesek, eh, banyak kok di kelasku yang pesek.

"Kancut, ih itu si Angga."

Aku menengok ke belakang, si Dilla sudah di belakangku. Ini sih kayak waktu aku sama Fisya waktu itu. Aku menatap Erlangga yang sedang menyampirkan jaketnya di pundaknya kemudian menghampiri kami.

"Cut, awas gak."

"Ih, Kancut tolongin." Sumpah aku heran sendiri. Kenapa kalian pas di gangguin Erlangga minta tolongnya ke aku?

"Kancut mah putih, bodas, beda parah sama Dilla." Ketika Erlangga mengucapkan kalimat seperti itu, ada perasaan bangga gitu. Hehehe.

Aku jadi bingung harus ngapain, tubuhku jadi di kendalikan gini sama Dilla. Yaudah, aku cubit saja lengan Erlangga. Mendengar teriakannya aku jadi meringis, kemudian aku kabur waktu dia mau mencubitku. Lalu, Erlangga masuk ke dalam kelas, aku mengikutinya, namun pintu kelas sudah di tutup duluan sama dia. Aku mundur beberapa langkah, dan pintu itu terbuka sedikit.

"Nggak usah masuk lo."

Aku tertawa, ah tingkahnya kenapa lucu sih? Aku pun memilih untuk bergabung dengan Wati dan temannya. Tapi, tak lama aku merasakan cubitan di lenganku, cubitannya kecil tapi rasanya itu perih, sakit.

"ISH, ANGGA!"

Aku mengejarnya tapi dia larinya cepat banget, aku yang malas dan tiba-tiba lambungku perih lagi, jadinya aku berhenti dan menghampiri Fildzah yang sedang berlatih.

KRING! KRING!

Anak-anak di kelasku langsung berhamburan ke dalam kelas untuk mengambil buku tulis dan paket serta yang lainnya, kami semua pergi ke ruang laboratorium. Aku masih harus menunggu Fildzah dan Viany yang suka lama.

"Yuk, udah."

Aku berjalan di belakang mereka, satu hal juga yang perlu kalian ketahui, mereka berdua itu jalannya cepet banget, kalau lambungku nggak sakit juga aku bisa jalannya cepet. Di belakangku sudah ada suara yang rusuh, palingan juga anak laki-laki.

One Year Full Of MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang