Membuang Muka

78 16 2
                                    

Jakarta.
Januari, 2017.


Aku menatap langit yang sudah di hiasi kembang api yang berwarna-warni. Apalagi bunyi terompet mengisi heningnya malam yang pekat. Aku melihat jam di pergelangan tanganku, dengan senyuman yang ada aku membisikkan sebuah kalimat gila yang hanya aku dan Tuhan yang tahu.

Tadinya.

Tapi akan ku beritahu apa yang kuucapkan saat ini.

Selamat tahun baru, bernard.

🍃

Bogor.
Januari, 2017.

Akhirnya aku masuk sekolah! HUAAAAA tiba-tiba jadi kangen gini sama sekolahan, padahal waktu di sekolah malah pengen cepet-cepet pulang, hehehe.

Sebenarnya aku mulai menyadari ada yang aneh dengan diriku, selama liburan aku terus mengingat orang itu, rasanya mau cepat-cepat sekolah lagi untuk ketemu dia doang. Aku sudah cerita ke sahabatku yang tinggal di Bekasi, kata dia...

Aku sudah suka dengan orang itu.

Tidak mungkin. Aku masih punya otak kok, tenang saja, logikaku masih berguna. Aku yakin seratus persen kalau aku nggak suka sama orang itu, palingan cuman perasaan sesama teman aja, ya gimana sih, ya gitu.

Ketika sudah mendekati kelas mendadak jantungku berdebar tak karuan. Teman-teman pun mulai menyapaku yang aku balas dengan cengiran lebar, ternyata kelas ini sudah mampu membuatku sangat rindu.

Aku tidak perlu melepas rindu sama Fisya, toh kami sudah sering bertemu sewaktu liburan kemarin, bertemu di PMR.

Mataku memandangi pintu kelas, tak lama Maulana masuk bersama Dino, lalu di belakangnya ada Erlangga. Ada yang berubah dari laki-laki itu, penampilannya, rambutnya sangat gondrong bahkan rambut belakangnya sudah melewati kerah seragamnya, sudah melanggar peraturan sekali.

Loh.

Kenapa aku jadi ngasih tau kalian ya?

Ah nggak papa lah ya, kan dia temanku juga jadi tak apa kalau aku menceritakan penampilannya ke kalian.

Awal-awal masuk sekolah tidak terlalu menyenangkan, soalnya baru masuk saja langsung di kasih tau tentang Simulasi, Try Out, UNBK, US-- Arghh nggak mau nginget ih, pusing banget  ya Allah, mana di tambah tugas praktek, nikmat mana lagi yang belum kau berikan Tuhan?

Tidak banyak yang mengganggku hari ini, termasuk Erlangga, laki-laki itu bahkan seperti tidak kenal denganku, mengobrol saja enggan apalagi bersitatap denganku. Anehnya aku merasa sedih, kali ini aku jujur, aku ngerasa sedih aja tiba-tiba dia kayak begitu.

Dan, penampilannya... mirip preman. Baju di keluarin, rambut gondrong, ke sekolah juga sepatunya malah di lepas, dia pasti nyeker mulu kalau udah keluar kelas.

Hm...

Mungkin besok lebih bagus dari hari ini.

🍃

Kenapa hari ini dan kemarin adalah hari yang buruk sih. Huaaaa, perutku sakit banget, udah berasa di iris-iris. Astaga merinding sendiri jadinya. Pengen nangis, pengen marah-marah, pengen makannnn.

Aku lebih banyak menenggelamkan kepalaku di atas meja sembari tangan satunya memeras perutku sendiri.

"Cut, Cut, pinjem bentar."

Aku kembali ke posisi duduk tegap, lalu mulai memperhatikan Udin yang mengambil kacamataku, dia memakainya lalu sedetik itu juga dia heboh sendiri dan melepas kacamataku. Lalu kacamataku sudah berpindah tangan ke Maulana, reaksinya sama seperti Udin, tawaku akhirnya pecah juga walau ujung-ujungnya jadi ngeringis karena nggak bisa ketawa lama-lama.

Hingga kacamataku di ambil Erlangga, dan di pakainya kacamataku.

Bibirku tersenyum melihatnya.

"Parah kacamatanya, berasa gempa aing."

Astaga, apaan sih nih anak. Aku tertawa pelan, "Lebay," cibirku yang mendapat senyuman darinya. Lalu dia mengembalikan kacamataku. Hal selanjutnya yang ia lakukan adalah... duduk, duduk... di sebelahku.

Oh My God.

No, No, Aku nggak deg-degan. Bener deh.

Aku menurunkan lenganku saat Erlangga menaikkan lengannya ke atas mejaku, tidak, ini tidak boleh canggung. Duh, apa yang ada di pikiranmu sih Kanzaaaaa?

"Cut, lo kemarin kenapa bawa motor?"

Aku menengok dan menaikkan sebelah alisku. Kenapa dia tiba-tiba nanya begitu?

"Tau lu, kemarin bawa motor kan, mangkal di warkop," timbrung Dino.

Masih aja ya mereka ngefitnah. Aku memukul lengan Dino yang pasti nggak akan sakit, karena aku sudah lemas banget. Mataku melirik Erlangga yang tertawa, ia tersenyum begitu lebar, melihat pemandangan seperti ini membuatku ikut tersenyum, aku bisa merasakan ada yang berdesir hangat di dalam tubuhku.

Haha, alay banget ya.

Begitu bel berbunyi, Erlangga dan teman-temannya kembali ke kursinya. Seharusnya hari ini aku bisa lebih banyak bercanda dengannya, hanya saja aku yang sedang datang bulan jadi terlalu malas dan lebih banyak diam menanggapi candaan mereka. Hanya tertawa singkat, karena hari ini sakitnya bukan main.

Aku nggak tahu harus bilang ini hari yang indah atau bahkan buruk, karena hari ini aku menangis. Malu banget pas udah selesai nangis, kenapa juga aku mendadak nangis hanya karena nggak kuat nahan sakitnya. Biasanya juga kuat aja.

Istirahatku di temani sama Udin, dia meminjam handphoneku. Jujur saja padahal sejak kemarin aku berharap Erlangga yang meminjam handphoneku tapi dia justru meminjam handphone milik Marwan, aku sempat kecewa dan akhirnya aku tidak ingin pura-pura meninggalkan handohoneku lagi di atas meja.

Aku duduk di depan teras kelasku berdua sama Udin. Oh, masih ada anak perempuan di kelasku yang juga di luar kelas. Kenapa aku harus duduk di sebelah Udin? Aku hanya ingin memastikan anak itu tidak membuka yang aneh-aneh. Iya aku memang aneh karena Erlangga saja aku bisa mudah percaya, tapi ke temannya tidak. Iya, aku akui kok.

Aku sempat berdebat kecil dengan Udin lalu tertawa ringan, hingga tawaku berhenti ketika melihat Erlangga di depan pintu kelas, matanya itu... matanya lagi-lagi sama seperti waktu dia di depan warnet, tajam. Aku tahu ini geer, tapi aku merasa Erlangga memang melihat ke arahku, karena di depannya hanya ada aku dan Udin, aku memang duduk depan pintu persis.

Ketika mata kita bertemu, untuk pertama kalinya Erlangga langsung membuang muka dan pergi dari pandanganku.

Biasanya kan dia tersenyum.

Atau menyengir.

Terakhir mungkin dia hanya tertawa.

Tapi... saat ini dia tidak melakukan hal itu.

Lantas mengapa hatiku terasa sakit saat di abaikannya?

🍃

One Year Full Of MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang