Terpesona

60 11 3
                                    

Bogor.
Mei, 2017.

Memasuki bulan Mei, kelasku semakin bersemangat. Yang biasanya ngobrolin official account, kami ganti menjadi topik perpisahan. Membayangkan betapa serunya nanti saat di kamar, atau saat hebohnya berdandan. Walau kami yang tadinya mau menampilkan drama pun tidak jadi karena tidak di perbolehkan, takut memakan waktu, jadinya kami ganti dengan membaca puisi.

Kami jadi sering berkumpul di depan kelas, untuk tidur ramai-ramai atau sekedar memakan makanan bersama-sama, atau pergi ke basecamp. Kami juga bahkan menyanyi bersama, lalu membuat video yang katanya vlog abal-abal. Lalu, nanti kami akan saling curhat tentang mantan, atau gebetan, atau siapa pun yang akan kami sebut mereka dengan nama hewan, buaya.

Seberapa mau aku menjauh dari Erlangga, rasanya ada saja kejadian yang kebetulan mempertemukan aku dengannya. Seperti kemarin, aku lagi ngobrol dengan temanku yang ada di lantai dua. Dan, ketika aku berbalik badan, aku bertabrakan dengan Erlangga. Baik aku mau pun dia, sama-sama terkejut. Karena tidak ingin bertatapan lama-lama layaknya sinetron, aku pun segera menjauh darinya. Berpura-pura biasa saja, padahal jantung sudah ketar-ketir tidak jelas.

Hari ini kelasku sibuk mengisi lembaran kemana kita selanjutnya. Tentu pilihanku sangatlah susah di capai, bergengsi gitu. Ya, siapa tahu gitu harapanku menjadi kenyataan. Selagi selesai menulis, mereka mengumpulkan kertas tersebut di meja depan.

"Buru, Cut, kumpulin. Habis ini kan ada renungan." Aku menoleh pada Fisya. Kalau tidak ada Erlangga di meja itu juga pasti sudah aku kumpulkan dari tadi. Aku pun ke meja Fildzah yang berjarak dua meja saja dari meja yang di tempati Erlangga.

Ketika aku ingin mendekat, detik itu juga Erlangga berdiri. Aku berhenti, menunggu dia pergi. Ah, aku berbalik badan saja siapa tahu pas nengok lagi dia udah hilang entah kemana. Aku menajamkan pendengaranku, yang ku dengar justru bunyi meja di pukul-pukul. Mungkin itu bukan Erlangga, oke, aku pun menengok ke belakang.

Ah, sial.

"Itu orang kenapa nggak pergi-pergi, sih?" tanyaku pada diri sendiri. Mau tidak mau aku pun ke meja itu, sepertinya Erlangga menyadari kehadiranku, buktinya dia langsung berhenti memukul mejanya. Bodoamat, pokoknya jangan natap matanya. Aku langsung mengumpulkan kertas tersebut dan berbalik badan ke luar kelas.

Kami bahkan tidak berkontak mata, tapi kenapa jantungku masih saja berdebar?

🍃

Hal yang paling tersedih adalah saat akan di adakannya renungan, dan kami semakin menyadari bahwa perpisahan sudah ada di depan mata. Seakan rasanya baru kemarin kita berkenalan.

Suasana kelas saat itu penuh dengan haru, kami berpelukan satu sama lain, pelukan itu terasa erat seakan tidak ingin berpisah dengan kalian. Kami seakan bernostalgia, menceritakan hari kita bertemu yang masih sangat kaku, atau saat kita mulai menunjukkan sifat asli kita sendiri.

Sehabis renungan itu, seluruh angkatanku berkumpul di lapangan menunggu giliran kelas kami di sebut untuk berfoto bersama. Ketika kelasku di panggil, kami langsung membentuk barisan. Berhubung aku tinggi, jadinya aku berdiri di paling belakang. Begitu selesai, kami semua pulang ke rumah masing-masing, mempersiapkan barang bawaan untuk besok.

Entah lah, ketika yang lain senang aku justru sebaliknya.

🍃

MAMPUS!

Aku kesiangan.

Semalam aku tidur jam tiga subuh, bukan karena tidak sabar untuk menanti hari esok, melainkan ada masalah lain sehingga aku terjaga dalam tidurku.

Maksudku, masalah keluarga, ku pikir kalian sudah cukup mengerti tanpa aku jelaskan, hanya sebuah pertengkaran.

Tidak butuh waktu lama untuk mandi, aku langsung memasukkan barang bawaan, lalu memakai kaos merah maroon di balut dengan kemeja flannel merah, oke itu kemeja ayahku yang aku ambil selagi aku sendirian di rumah Cibinong. Oke, tidak perlu dandan atau apa pun, toh mau di apakan juga pasti wajahku tetap pucat dan tentunya beler.

Aku memakai masker dan menyumpal telingaku dengan earphone. Aku berjalan dengan santai, padahal aku sudah hampir telat. Ah, masih hampir juga. Pagi ini, ku kira akan bersemangat, nyatanya lihatlah aku sama sekali tidak bergairah. Bahkan saat keluar rumah pun rasanya ingin menangis. Seharusnya pergi ke Bandung hari ini adalah hari yang terbaik, karena aku tidak perlu berdiam diri di rumah.

Jalanan sudah sepi, hanya ada beberapa orang tua dengan motor atau mobilnya, bahkan ada pula yang berjalan kaki sepertiku, bedanya dia di payungi Ibunya karena sedang gerimis, sedangkan aku membiarkan baju ini basah.

Tatapanku berhenti pada seorang lelaki yang berdiri di depan bus kelasku, dan orang yang berbalut sweater berwarna hitam, putih, dan abu itu pun menoleh ke arahku. Untuk beberapa detik, melihatnya saja mood-ku sedikit membaik.

Saat aku masuk ke dalam bus, awalnya mereka tidak mengenaliku hanya karena memakai masker saja. Ampun deh, ini efek bangun pagi kali ya, nyawa mereka belum terkumpul semua. Saat aku duduk di kursi ke empat dari belakang, ponselku berbunyi.

Rani :
Cut, udah liat Angga? Gantenggggg

Ada satu pesan lagi masuk.

Septi :
Angga tumben amat cakep, biasanya mah kayak preman tau, Cut.

And so?

"Cut, liat depan coba," bisik Fisya. Aku pun refleks melihat ke depan. "Ganteng sia Angga," lanjutnya.

Aku mengalihkan wajahku ke ponselku lagi sembari bergumam, "biasa saja." Tidak tahu deh, Fisya mendengarnya atau tidak.

Padahal, batinku bilang kalau hari ini dia CAKEP BANGET ASTAGFIRULLAH.

🍃

One Year Full Of MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang