BUNGA 06 - BONEKA BERUANG

468 24 0
                                    

Ruang perpustakaan.

Satu-satunya ruangan di sekolahku yang jarang sekali kudatangi. Terakhir kali aku menjejekkan kakiku di Perpustakan mungkin ketika aku duduk di kelas 1 SMA. Dimana waktu itu seluruh murid baru disuruh pinjam 1 buku untuk dibaca. Tapi toh buku yang kupinjam itu sekarang tidak jelas dimana keberadaannya. Untung-untung mama tidak menjualnya di tukang rombeng barang bekas yang sering datang ke rumah. Jika sampai buku itu hilang, alamat ijazahku bisa ditahan oleh pihak sekolah.

Sekarang kalau bukan karena tugas Bahasa Indonesia dari Pak Hartono membuat puisi, aku pasti tidak akan datang ke tempat butut ini. Bayangkan saja, berapa gram debu yang sudah kuhirup sejak 5 menit yang lalu aku berada di sini. Buku-buku di tempat ini sudah usang dan tak terawat. Bahkan ada sarang laba-laba hinggap di rak bukunya. Aku tak habis pikir mengapa Kepala Sekolah tidak mengganti semua buku-buku kuno ini dengan komputer yang jelas lebih bermanfaat.

Dengan hati-hati aku mengambil sebuah buku yang ada di rak atas. Setelah meniup debu yang menutupi sampulnya, kubaca judul buku tersebut. Kumpulan Puisi Karya WS Rendra.

Aku pun tersenyum simpul.

"Mona, Sally! Aku mememukannya!" Aku berbisik kepada kedua sahabatku yang masih mencari buku di sampingku.

Mona menoleh ke arahku.

"Mana?"

Aku menunjukkan buku yang kutemukan pada Mona.

"Bagus. Kita salin saja semuanya." kata Mona.

"Itu kan menjiplak. Kita kan disuruh mencari inspirasi." aku menolak usul Mona.

"Tak apa. Memang itu yang dilakukan semua murid. Lagipula kita bukan pujangga." kata Mona sambil menyiapkan buku dan penanya.

"Kalau ketahuan Pak Hartono bagaimana?" tanyaku.

"Ia nggak akan tahu." ujar Mona sambil menyalin puisi dari salah satu halaman buku yang kutemukan ke buku catatannya.

"Mona, you're dead wrong. Mr Hartono hafal benar soal puisi. Mulai dari puisi WS Rendra sampai Marah Rusli dia tahu semua." kata Sally.

"Sally, Marah Rusli bukan pencipta puisi, tapi penulis novel." kata Mona.

Sally melirik ke arahku. Aku hanya mengangkat kedua bahu tanda tak tahu.

"Sudahlah, kalian salin saja. Tugasnya dikumpulkan 10 menit lagi dan kalian masih berdiam diri di sana." kata Mona.

Aku dan Sally kembali saling lirik. Akhirnya karena tak ada ide lain, kami pun mengikuti cara Mona menyalin puisi lain yang ada dalam buku itu.

Baru tiga baris aku menyalin puisi yang ada di dalam buku tersebut, sayup-sayup kudengar suara 3 orang lelaki mendekat. Tanpa sengaja aku menoleh ke arah sumber suara. Di depan pintu, kulihat Rama beserta Gio dan Andre masuk ke dalam ruang perpustakaan sambil mengobrol kencang satu sama lain. Melihat itu, aku langsung membuang wajahku agar mereka tak mengenaliku.

"Aku rasa ini saatnya kau membuktikan dirimu." kata Gio.

"Benar. Tapi kalau menang nanti, kau harus traktir aku dan Gio." sambung Andre.

"Hahaha... Belum saja aku mendaftar." kata Rama sembari tertawa.

Aku melirik mereka bertiga masuk dalam ruang komputer yang ada di seberang ruang buku.

"Mereka nampak bahagia." kata Mona tiba-tiba. Ia membenarkan letak kacamatanya agar dapat melihat Rama dan kawan-kawannya lebih jelas.

"What are they doing here?" tanya Sally menimpali.

KEMBALI KE AWAL [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang