BUNGA 17 - KARTU UNDANGAN

463 24 0
                                    

Dua buah cincin perak tercetak di sampul depan undangan pernikahanku yang berwarna krem. Di bagian atasnya, terdapat nama Adam dan Bunga di sana yang tercetak menggunakan tinta berwarna emas. Tak lupa sebuah pita merah tertempel di bagian paling atas kartu undangan tersebut.

"Waaah!!! Cantiknya!" Mona bergumam.

Ia nampak senang melihat kartu undangan pernikahan milikku.

"Duh, kenapa buru-buru sekali? Baru saja 2 tahun pacaran tapi sudah mau menikah?"

Aku tersipu malu. "Memangnya harus pacaran berapa lama dulu baru boleh menikah? 10 tahun? 15 tahun? Itu mau nikah atau mau cicil rumah?"

Mona tertawa terbahak-bahak.

Kupandangi wajah Mona. Sudah 3 tahun lebih aku tidak pernah kontak dengannya sebelum akhirnya ia kuhubungi kembali untuk membantuku mempersiapkan acara pernikahanku dengan Adam.

Kini Mona terlihat lebih berisi terutama di bagian pipinya. Rambutnya dipotong pendek sebahu dengan poni menggelembung di depan dahinya. Gayanya pun sudah berubah. Mona yang sekarang terlihat lebih ceria namun itu sama sekali tidak mengurangi kedewasaannya. Ia tak lagi mengenakan kacamata bututnya sewaktu SMA, namun sudah menggatinya dengan soft lens berwarna ungu. Aku bahkan hampir tak mngenali Mona sewaktu kita bertemu ulang. Ia benar-benar telah berubah.

"Setidaknya kau harus tunggu aku lulus kuliah dulu." kata Mona.

"Untuk apa? Bisa-bisa aku jadi nenek-nenek tua baru bisa menikah kalau menunggu kau lulus." candaku.

"Enak saja. Sekarang aku tinggal koas. Sebentar lagi aku lulus kok." kilah Mona.

"Yang benar?"

Aku hanya tertawa kecil saat mendengar celotehan Mona. Sesuai yang ia idam-idamkan. Mona mengambil kuliah jurusan kedokteran. Aku tak tahu bagaimana ia menjalani perkuliahannya. Namun menurut ceritanya, ia tak memiliki hambatan yang berarti. Mungkin hanya ada di beberapa mata kuliah saja yang ia lemah, terutama mata kuliah yang berhubungan dengan praktik bedah-membedah.

"Tentu." kata Mona lalu duduk di atas sofa di kantor Yayasanku.

"Oke kita lihat saja."

"Ngomong-ngomong, kau belum cerita banyak tentang Adam ini. Kau sekarang jadi pelit cerita tentang kehiupan pribadimu padaku." kata Mona.

"Kau mau aku cerita darimana?" tanyaku.

"Dari bagaimana kau bertemu, kapan kalian jadian, bagaimana cara dia melamarmu? Dan yang terpenting bagaimana dirimu bisa punya Yayasan menakjubkan seperti ini?"

Aku tersenyum lalu duduk di kursi meja kerjaku. "Yakin kau mau mendengarkan? Ceritanya akan sangat panjang."

"Aku punya waktu seharian untuk itu. Menonton serial Running Man yang beratus-ratus episode saja aku bisa, apalagi mendengarkan ceritamu.." kata Mona.

Mendengar candaan Mona, aku hanya bisa tertawa. Akhirnya aku pun menceritakan semua hal tentang Adam. Dari awal pertama kita bertemu sampai akhirnya kita memutuskan untuk menikah. Tak lupa kuceritakan juga jatuh bangunnya aku mendirikan Yayasan sosial ini. Mona mendengarkan dengan sangat antusias. Tak jarang ia merespon balik apa yang kuceritakan padanya.

"Wah ternyata kau beruntung bisa memiliki lelaki seperti Adam. Dia tipe yang luarnya saja dingin, tapi dalam hatinya ia adalah orang yang tulus. Percaya deh denganku." kata Mona.

"Aku pun berpikiran sama."

"Ngomong-ngomong setelah menikah nanti kemana kalian akan berbulan madu?"

KEMBALI KE AWAL [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang