12. Telat Mendatangkan Rahmat!

84 11 0
                                    


Vaneshha, Vanessha, Vanessha. Rasanya hanya nama itu yang kini memenuhi kepala berotak udang ini.

Sampai-sampai otak gue lelah memikirkan Vanessha, hingga membuat Mata enggan memejam. Selain tidur kemaleman menimbulkan mata panda, dampak lainnya adalah kesiangan. Ya, gue kesiangan. Cuma gara-gara memikirkan bidadari itu.

Bangun tidur, tau-tau udah jam 07.10 aja. Terpaksa gue gak mandi, tapi gosok gigi, tak lupa menyemprotkan parfum sebanyak-banyaknya ke seragam gue agar tak tercium bau busuk dari badan jahanam yang belum mandi ini. Belum lagi gue harus menerima ocehan dulu sama ibu negara tercinta.

Angkot seperti menghianati gue. Supirnya nge-tem lama banget! Sampai gue harus berdebat lama dengan sang supir. Setelah berdebat lama, pada akhirnya gue yang kalah, gue pun gondok sendiri, terpaksa abang grab yang nganter ke sekolah dengan ongkos yang lebih mahal dari naik angkot.

Sesampainya di sekolah bahu gue ter-turun lemas ketika melihat bu Sri berdiri bak seorang ajudan yang menjaga mansion pejabat dengan tampang yang gak bisa dibilang mirip malaikat. Mirip iblis, iya.

Tapi, gue gak mau berlama-lama ngatain guru itu, karna mata beliau yang bagaikan sebongkah es telah menindik diri ini sejak tadi. Membuat gue harus menelan ludah berkali-kali. Bingung harus bersikap apa, gue Cuma bisa cengar-cengir polos sambil garuk-garuk kepala yang gak ada kutunya ini.

“Telat lagi?!” Bentaknya.

“Jangan marah dulu, bu! Saya punya alasan!”

“Apa lagi alasanya? Nenek kamu lahiran lagi?!”

“Bu..bukan bu! A...aanu.. semalem saya abis kerja.”

“Hah?! Kerja? Kerja apa?”

“Kerja lembur bagai qudaaaaa!”

“ASTAGFIRUALLAHALAZDIM! DONI!”

Tiba-tiba seorang gadis bersurai hitam berlari menghampiri, dengan nafas yang ter-engah-engah. Wajah putih mulusnya itu terbanjir oleh air keringat. Membuat tangan ini gemas ingin menghapusnya. Dengan nafas yang belum stabil bibir merah jambunya berucap,

“hhh..hhh.. selamat pagi...bu!”

“Selamat pagi juga Nessha!” Jawab gue sambil memamerkan senyum andalan. Ia menoleh ke arah gue, tidak membalas senyum gue, dia malah melotot tajam ke arah gue.

Eh kok jutek? Perasaan semalem sweet, deh.

Ekspresi bu Sri kian jengah. Entah apa yang dipikirkannya saat ini. Mungkin ia heran kenapa bisa-bisanya seorang siswi terpelajar seperti Vanessha bisa telat di hari rabu yang cerah ini.

“Kamu lagi, kenapa kamu telat Vanessha?” Nadanya sedikit lebih lembut dari sebelumnya. Bidadari itu tampak kebingungan menjawabnya, matanya bergerak kesana kemari seperti mencari alasan yang masuk akal untuk menjawab pertanyaan mainstream, yang biasa ditunjukan pada anak yang telat datang.

“Semalem saya abi-“

“Abis mikirin saya bu, sampe gak bisa tidur, terus kesiangan, deh!” Potong gue. Lalu langsung dihadiahi injak-an manis dari sepatu Vanessha. Tapi tak terasa manis seperti orangnya kaki gue malah jadi nyeri sendiri. “Awwhh!” Ringis gue sambil mengusap-usap kaki yang diinjak oleh Nessha.

Bu Sri hanya berkacak pinggang sambil menggeleng-geleng melihat tingkah kami berdua. Untung tidak ada musik saat itu, kalau iya, mungkin Bu Sri kini sedang menari kecak dengan lincah. Sebelum menerima hukuman seperti biasa kami akan diceramahi dahulu.

Bukan masalah ceramahnya yang gue khawatirkan. Tapi, air hujan dari Bu Sri membuat gue harus mengambil payung tukang somay agar terhindar dari air negatif itu. Setelah selesai ber-khotbah, guru janda anak tiga itu menghukum gue dan Vanessha untuk mengepel lantai di gedung keperawatan sampai istirahat.

Gue is Bad BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang