17. Pembela Bidadari

82 12 1
                                    

Surat panggilan orang tua bikin kepala gue pusing tujuh keliling, maklum ini adalah kali pertama buat gue. Gak mungkin banget gue ngomongin ini sama bonyok, bisa dipastikan bokap langsung sakit jantung karna putra bungsunya yang ia kenal sebagai anak baik-baik sekarang bertransformasi menjadi bad boy.

Untuk itu otak cerdik gue berputar dengan cekatan. Sehabis nongkrong sama Obet gue menghampiri kios cilok di daerah karadenan itu adalah salah satu cabang cilok bapak gue. Pergi kesana, gue menghampiri Mang Usep salah satu karyawan bokap. Meminta padanya untuk berpura-pura menjadi bokap gue dan datang keesokan harinya ke sekolah menemui bu Sri. Dengan memberikan uang sebesar seratus ribu sebagai imbalannya. Dan alhamdullilah mang Usep mau.

Kaki ini melangkah dengan semangat menelusuri tiap-tiap gedung TKR, TSM, dan TKJ. Sesekali gue menyapa seseorang yang berpapasan dengan gue. Koridor nampak sepi anak murid lain sedang belajar di kelasnya masing-masing. Wajar saja, ini memang masih jam pelajaran.

Setelah habis pelajaran pertama gue, Mario, dan Furqon izin keluar sebentar dengan alasan ingin buang hajat. Tetapi, bukan buang hajat yang ingin gue lakukan. Yang ingin gue lakukan adalah masuk ke kelasnya Vanessha.

Lho? Mau ngapain gue ke kelas Vanessha disaat jam pelajaran gini?

Melihat wajah Vanessha yang tiap hari makin murung tentu sangat menyiksa bagi gue. Pada dasarnya semua lelaki tidak akan tinggal diam melihat gadisnya disakiti dengan lembut seperti ini—meskipun Vanessha belum jadi gadis gue.

Tentunya sebagai lelaki sejati kita wajib membelanya. Bukan hanya menonton dan mengucapkan kalimat ‘sabar' tiap harinya.

“Assalamualikum.”

Guru yang sedang menulis di papan tulis adalah hal pertama yang gue lihat. lalu, diliputi oleh beberapa siswa-siswi dari 11 broadcasting 1 mereka semua menghentikan kegiatannya. Hening sejenak. Fokusnya teralih kepada gue.

“Walaikumsalam.” Pria dewasa berwajah tampan yang menjawab salam gue. “Ada keperluan apa kemari?”

Memang, selain terkenal dengan siswa-siswinya yang keren-keren guru-guru dari jurusan broadcasting pun tak kalah keren. Banyak diantara mereka yang masih berusia 20-an. Maka dari itu jangan heran kalau ada guru yang lebih mirip anak boy band daripada seorang pengajar.

Beda banget emang sama jurusan teknik yang rata-rata diisi oleh cowo-cowo buluk, jarang banget ada ceweknya, sekalinya ada abnormal jenisnya. Gak ada guru kece di teknik, malah kebanyakan gurunya udah tua, kalo gak janda, paling bagus juga perawan tua.

Oke, udahan dulu narasinya balik lagi ke adegan karna kaki gue udah pegel dari tadi berdiri di deket pintu.

“Saya mau ngasih pengumuman penting pak!” Gue lirikan mata ke arah Vanessha yang memasang ekspresi bertanya-tanya.

“Dari OSIS?”

“Bukan pak!”

“Terus?”

“Saya membawa pesan dari mandat langit!”

Guru ganteng itu nampak heran. Sedangkan seluruh siswa tertawa, termasuk Vanessha yang menyembunyikan tawa dibalik telapak tanganya.

“Mandat langit?”

“Iya pak. Jadi saya boleh masuk gak, nih? Pegel nih kaki saya!”

Tawa kembali terdengar di kelas ini.
Guru itu terkekeh, “baiklah silakan masuk!”
Gue memberikan kode kepada Mario dan Furqon agar mengikuti langkah gue.

“Perhatian semuanya!” Gue berdiri di depan kelas bersama Mario dan Furqon di kanan dan kiri gue. Mereka berdua memegang poster yang masih digulung di tangan mereka masing-masing. Kini kami bertiga menjadi pusat perhatian di kelas ini. Sayup-sayup gue masih denger sisa-sisa tawa mereka.

Gue is Bad BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang