16. This is Hell

688 83 10
                                    

Tubuh lisa menegang, ekspresi nya menunjukan kepanikan.

"Kenapa? Sudah ingat?" Ucap Nika dengan bibir miring.

Flashback On.

"Ck, dasar anak sok pintar!" Ucap seorang perempuan sambil mendorong tubuh seorang perempuan yang sudah pasti adalah Nika.

Area belakang sekolah memang sepi, bahkan jarang yang melewati. Tempat yang sangat bagus untuk membully seorang gadis lemah.

"Gara gara kau tidak membagikan jawaban, nilai ulanganku rendah! Dasar pelit! Mati saja sana!" Bentak perempuan itu lagi, tangannya bergerak menarik rambut Nika.

Nika meringis, tangannya berusaha melepaskan jambakan itu. Tapi tenaga perempuan itu lebih besar darinya, membuatnya tak bisa terlalu banyak melawan.

"Tolong....," Lirihnya sambil memejamkan mata, air mata mulai membasahi kedua pipinya.

"Cih, pada siapa kau minta tolong? Kau lupa jika kita pulang lebih awal kali ini? Lagipula tidak akan ada yang melewati area belakang sekolah." Suara tawa perempuan itu mengisi kesunyian suasana disana.

Dan pada saat yang sama, Lisa melewati area belakang sekolah itu. Matanya membulat, ia terkejut.

"Lisa, tolong." Mohon Nika, matanya menatap penuh harap.

Sang perempuan berbalik dan menatap Lisa,
"Oh, Hai lisa! Ada urusan apa? Kita kan pulang lebih awal."

Tatapan mata perempuan itu melembut, begitu juga suaranya. Senyum menghiasi wajahnya. Tentu saja ia tidak berani macam macam dengan Lisa, orang tua Lisa adalah donatur terbesar sekolah.

Tapi dengan begitu, tidak membuat Lisa memiliki keberanian untuk menentang perbuatan siswa siswi lain. Lisa sama seperti siswi yang lain, tetap takut dibully, takut bermasalah dengan murid lain, takut pada kakak kelas, semuanya.

"Um Hai kak! Aku hanya kembali untuk mengambil hoodieku yang tertinggal di loker." Sapa Lisa dengan senyum.

Meskipun ia tersenyum, hatinya tidak demikian. Ia sangat takut jika ia ikut dibully dan diancam oleh sang kakak kelas.

"Oh begitu rupanya, yasudah Lisa. Hati hati!" Kakak kelas itu tersenyum sambil melambaikan tangannya.

Sementara Nika semakin berteriak dan panik karena Lisa ingin pergi. Jika Lisa pergi, tidak ada lagi kesempatannya untuk lolos dari bullyan ini.

Lisa awalnya memandangi Nika kasihan, Nika bisa merasakannya. Tapi Lisa hanya tersenyum lalu melambaikan tangannya pada sang kakak kelas dan keluar meninggalkan area sekolah.

Disitu, Nika merasa kecewa. Harusnya Lisa bisa menolongnya saat itu.

"See? Tidak ada yang mau menolong gadis sampah sepertimu."

Flashback off.

"Kenapa kau tidak menolongku saat itu? Kenapa lisa? Kenapa?!" Nada suara Nika mulai meninggi, sehingga menarik perhatian pengunjung lain.

"Nika, berhenti. Mari bicarakan diluar, kau menarik perhatian pengunjung lain." Bujuk Lisa, Lisa lalu menarik tangan Nika tetapi dihempas oleh Nika.

"Kenapa? Kau takut jika orang orang akan tahu?! Biar saja mereka tahu siapa itu Lalisa manoban!" Dengan cepat Nika menarik topi dan masker yang dipakai oleh Lisa.

Seketika, seluruh perhatian berpusat pada mereka. Banyak orang dari luar cafe yang ikut menyaksikan dan merekam kejadian itu. Mereka terus terusan merekam dan mengambil foto, tiap menit orang orang yang ada dicafe itu tambah banyak.

Sekali lagi, Lisa dilanda rasa panik. Keringatnya kembali bercucuran, kepalanya terasa pusing, dan rasa cemasnya meningkat drastis.

"Lisa, say hi!"

"Lisa, kau kenapa?"

"Lisa tolong berikan kami petunjuk, apa yang sebenarnya terjadi?"

"Hei, kau kenapa?"

"Lisa sangat cantik."

Seperti itulah ucapan ucapan orang orang yang berada di cafe tersebut.

"Ada apa lisa? Phobiamu kambuh lagi? Haha, aku harap phobia ini akan sangat menyiksamu hingga hampir mati." Sinis Nika, suara tawanya benar benar mengganggu sekaligus menyakitkan bagi Lisa.

"Nika, tolong bawa aku keluar." Mohon Lisa, matanya sedikit menyipit akibat rasa pusing.

"Cih, sekarang kau minta tolong padaku. Kau pikir aku akan menolongmu? Ck, mimpi saja sana." Nika lalu mendorong tubuh Lisa ke arah kumpulan orang.

Ia terjatuh, kepalanya makin pusing. Rasanya ia sudah tidak sanggup lagi untuk berdiri, nafasnya terasa sesak. Orang orang kembali mengerubungi dirinya. Mengambil foto beberapa kali.

Lisa sampai heran, bukannya dirinya saat ini sedang memerlukan bantuan? Tapi kenapa orang orang malah sibuk merekam dan mengambil foto? Harusnya mereka menolong Lisa. Setidaknya itu yang Lisa harapkan.

"Nika, aku mohon bawa aku keluar." Lirih Lisa, ia sangat berharap Nika dapat membawanya pergi dan mengeluarkannya dari situasi sulit ini.

"Untuk apa aku menolongmu? Kau saja tidak menolongku. Maaf ya lisa, tapi aku ingin kau merasakan apa yang kurasakan." Mata Nika mulai berkaca kaca, nafasnya tidak teratur akibat emosi.

"Asal kau tahu, aku menderita gangguan kecemasan dan harus pergi ke psikolog secara rutin. Setiap hari aku selalu takut dan merasa cemas, rasanya sangat menyiksa." Lanjutnya.

"Jika saja kau menolongku saat itu."

"Maaf." Ucap Lisa dengan suara yang cukup pelan, bahkan tergolong sangat pelan dalam situasi seperti ini.

Matanya mulai tertutup, kesadarannya mulai menghilang. Tenaga yang ia miliki seakan habis, ia tidak kuat lagi.

Grep!

Tubuhnya terangkat, ia dapat merasakan ada tangan seseorang yang berada di punggungnya. Matanya perlahan membuka, seorang lelaki bermasker wajah berwarna hitam.

Dari mata dan rambut, lisa sudah dapat menebaknya.

"Kun?"


*******

Hai makasih udah baca, part ini masih belum ada momen kunlisanya karena lagi fokus sama konflik.

Tapi part selanjutnya bakal full sama kunlisa, so tungguin ya!

Agoraphobia Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang