Chapter 16

2.6K 333 33
                                    

Spade mengangkat bahunya santai

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Spade mengangkat bahunya santai. "Tidak bisa seperti itu. Ingat kalian ke sana hanya menginterogasi, menggerebek hanya akan menjadi rencana cadangan. Karena itu kita akan masuk dengan caraku." Dia mencondongkan badannya ke depan, mendekati Kelana dan Eleven yang duduk di depan mereka. "Aku yang akan mengajari kalian caranya bersenang-senang," tambahnya seraya mengedipkan sebelah mata.

Eleven mengira Spade akan mengajaknya melakukan tindakan yang mempertaruhkan prinsip-prinsip yang dianutnya dan dia sudah bersiap untuk mempertahankan diri sekeras yang dia bisa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Eleven mengira Spade akan mengajaknya melakukan tindakan yang mempertaruhkan prinsip-prinsip yang dianutnya dan dia sudah bersiap untuk mempertahankan diri sekeras yang dia bisa. Namun, alih-alih melakukan hal-hal yang Eleven kira, Spade malah memberinya jas baru dan meminta untuk menemaninya bertemu dengan seseorang yang dipanggil paman oleh pengusaha itu.

"Aku tidak menduga kau memiliki paman," komentar Eleven sambil memakai jas berwarna biru tua dengan garis-garis putih. Spade menolak mentah-mentah usulannya untuk memakai jas kemarin dan beralasan bahwa jas itu adalah jas untuk malam hari. Eleven tidak mengerti apa bedanya dan memutuskan untuk menghemat waktu dengan menurut.

"Adik dari ayah." Spade menjawab sambil terus membalas pesan di ponselnya.

Eleven menoleh ke arah Spade dan menunggu pria itu melanjutkan ceritanya tapi nihil. Tidak biasanya Spade tidak mengoceh membanggakan dirinya atau berkomentar tentang sesuatu.

"Hanya itu?" pancing Eleven.

Spade mengangkat kepalanya dari ponsel dan menatap Eleven heran. "Iya, hanya itu. Apa yang kau harapkan?"

Eleven menggeleng pelan. "Tidak. Tidak ada," jawabnya berusaha menekan spekulasi dalam benaknya.

Spade berjalan mendekati Eleven dan menatap bayangan pria tinggi besar itu di cermin sambil tersenyum puas. "Lihat dirimu, Tampan. Dengan pilihan baju yang pas, kau bisa menjadi seorang model. Tidak berminat untuk berganti profesi?"

"Sayangnya aku masih mencintai pekerjaan dengan gaji rendah dan kopi burukku." Eleven merapikan jasnya dan memandangi bayangan di cermin. Walau enggan, dia harus mengakui bahwa selera fashion Spade membuatnya tampak berbeda. Jas--entah berapa harganya--itu membalut tubuh tingginya dengan sempurna, memberikan siluet gagah. Potongan celananya juga pas, tidak terlalu longgar hingga menggantung atau terlalu ketat hingga sulit bergerak. Berbanding terbalik dengan setelan jas murahan yang membuatnya tampak seperti seorang raksasa berusaha membaur dengan para kurcaci.

[END] Eleven SpadeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang