Chapter 20

2.2K 301 39
                                    

Eleven membalas dengan anggukan yang sama

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Eleven membalas dengan anggukan yang sama. Kelana langsung memelesat meninggalkan tempat itu sementara darah Spade terus mengalir menggenangi lantai, membentuk kubangan berwarna gelap.

 Kelana langsung memelesat meninggalkan tempat itu sementara darah Spade terus mengalir menggenangi lantai, membentuk kubangan berwarna gelap

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Eleven melihat tubuh Spade dibaringkan di atas ranjang dorong dan diangkut menuju ambulans. Wajah pengusaha itu sepucat tembok. Selama menunggu paramedis, pria itu kehilangan banyak darah sementara Eleven tidak bisa berbuat banyak untuk mencegahnya. Untung saja, luka tersebut tidak mengenai bagian yang fatal. Rompi anti pelurunya bekerja dengan baik. Namun, keberuntungan Spade benar-benar sudah habis. Timah panas itu menembus persendian lengan kiri. Belum lagi, tulang rusuknya sepertinya patah akibat menerima hentakan dari peluru yang tertahan oleh rompi. Secara singkat, keadaan Spade tidak baik.

Eleven menarik napas sambil mengusap wajahnya kasar, merasa gagal melindungi Spade. 

"Dia akan baik-baik saja," gumam Kelana berdiri di samping Eleven, matanya mengarah kepada tubuh Spade yang masih ditangani oleh petugas kesehatan. "Bagaimana denganmu?"

Eleven menghela napas dalam. "Ya. Lagipula masih ada banyak hal yang harus kita lakukan di sini," jawab Eleven berusaha untuk tetap tenang dan fokus pada pekerjaan, walaupun isi kepalanya tidak pernah lepas dari kekhawatiran tentang keadaan Spade. "Aku tidak apa-apa."

Kelana mengamati wajah Eleven ketika pria itu tidak melepaskan pandangan dari mobil ambulans yang menjauhi lokasi, menuju rumah sakit terdekat. "Aku bisa menulis laporan yang diperlukan. Ingat, aku juga ada di sana ketika Moore menyandera Spade. Kau bisa pergi ke rumah sakit bila mau."

Eleven menoleh dan memandangi Kelana dengan heran. "Apa kau yakin? Masih ada kantor Moore yang perlu digeledah dan aku sudah berbicara dengan komisaris agar hanya kita berdua yang mengurusnya. Aku tidak ingin ada detektif lain ikut campur dalam tangkapan kita."

Pria berkacamata itu menyunggingkan senyum lebar. "Tidak masalah. Lagipula, aku merasa keadaan belum benar-benar aman." Alis Kelana berkerut dan senyumnya menghilang. "Walau Moore sudah mati, kita belum bisa menentukan apakah kasus ini sudah selesai atau tidak. Sampai akhir, kita belum mendapatkan pengakuan dari Moore dan belum ada bukti konkrit yang mengarah bahwa dialah yang menyewa pembunuh bayaran."

[END] Eleven SpadeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang