Chapter 10

3.1K 376 87
                                    

Mayor tertawa sebelum duduk di kursinya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mayor tertawa sebelum duduk di kursinya. "Keselamatanmu adalah yang utama, Spade. Aku senang kau meminta Eleven sebagai pengawalmu."

Ucapan mayor membuat mata Eleven yang terduduk di samping Spade melirik ke arah pengusaha itu. Spade meminta Eleven menjadi pengawalnya. Perkataan sederhana itu sangat menganggu Eleven. Dalam hatinya bertanya-tanya apakah Spade berbohong padanya tentang membujuk mayor untuk tidak menunjuk dirinya sebagai pengawal? Jika ya, apa rencana pengusaha itu?

 Dalam hatinya bertanya-tanya apakah Spade berbohong padanya tentang membujuk mayor untuk tidak menunjuk dirinya sebagai pengawal? Jika ya, apa rencana pengusaha itu?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sulit bagi Eleven untuk percaya sepenuhnya pada Spade. Pengusaha itu terlihat selalu menyembunyikan sesuatu di balik wajah penuh senyum dan gayanya yang santai. Eleven mengetahui itu sejak pertama kali mereka bertemu. Walaupun sudah mendengar banyak hal baik tentangnya selama seharian bekerja sama dengan Spade, rasa itu tidak hilang. Selama ini Eleven yakin dengan instingnya dalam memecahkan kasus. Sesuatu yang tidak sesuai dengan kebenaran akan mengusik kesadarannya dan akan menjadi arah untuknya melangkah. Dalam kasus ini, seluruh instingnya mengarah ke arah Spade dan walaupun banyak bukti berjalan ke arah sebaliknya, Eleven tidak bisa menghilangkan kewaspadaannya.

"Ya, aku memang memintamu untuk mengawalku," aku Spade seusai pertemuannya dengan mayor. Gerak-geriknya seperti biasa, walau definisi biasa untuk Spade berbeda dengan orang normal. Eleven menatapnya tajam, berusaha mengorek lebih dalam maksud dan tujuan orang itu.

Mereka saat ini sedang berada di dalam lift menuju ke lantai atas. Tidak banyak hal yang terjadi selama makan malam, selain Eleven menghabiskan makanan dengan porsi yang jauh lebih kecil daripada yang digambar di buku menu. Dia merasa tidak cocok di restoran fine dining yang lebih mementingkan estetika daripada kuantitas.

"Ketika aku sadar bahwa Mayor tidak bisa dibujuk untuk melepaskanku dari cengkeraman kepolisian, aku memilih orang yang setidaknya cocok denganku."

Terdengar denting bel dan pintu lift terbuka. Eleven keluar lebih dahulu untuk memastikan keadaan lalu disusul oleh Spade. Mereka berjalan melintasi lorong dengan alas karpet berwarna biru tua. 

"Aku cocok denganmu?" dengkus Eleven seraya kembali ke sisi Spade dan berjalan beriringan. 

"Aku orang yang baik dalam menilai karakter, Eleven." Spade memamerkan senyum. Rambut pirangnya yang terurai dibiarkan berayun seiring langkah. Hari ini dia lagi-lagi memakai dasi berwarna merah dengan jas hitam, semacam seragamnya bila berkunjung ke kasino. "Kau adalah polisi dengan dedikasi yang luar biasa. Fokusmu adalah memecahkan kasus. Taat pada hukum dan tidak bisa dibengkokkan dengan uang. Prinsip hidupmu jelas.  Aku menyukai orang-orang seperti itu. Terutama bila sepanjang hari aku dihadapkan dengan para penjilat sepatuku."

[END] Eleven SpadeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang