Chapter 22

1.9K 275 27
                                    

Eleven memejamkan matanya dan merasakan kesadarannya menipis

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Eleven memejamkan matanya dan merasakan kesadarannya menipis. Dia sedang berada di ambang alam mimpi ketika sebuah dentingan masuk ke dalam ponselnya. Seketika mata Eleven langsung kembali siaga dan tangannya mengambil ponsel dari saku jas, mendapati sebuah pesan singkat dari Kelana masuk.

Jantung Eleven berdetak lebih kencang, bertanya-tanya apa yang akan disampaikan Kelana. Walaupun dia sudah memilih untuk berada di rumah sakit daripada di tempat kejadian perkara, bukan berarti dia tidak peduli pada perkembangan penyelidikan. Tangannya membuka kunci layar dan membuka pesan tersebut. Sebuah pesan singkat, tapi sanggup membuat Eleven membelalakkan mata.

"Menemukan dokumen yang membuktikan Moore adalah bagian dari keluarga mafia Lucchese. Aku sedang membacanya lebih lanjut. Akan kuhubungi lagi."

Kelana tersentak bangun dan mendapati dirinya tertidur di kursi sofa dengan menggenggam berkas-berkas yang disimpan di brankas rahasia Moore

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kelana tersentak bangun dan mendapati dirinya tertidur di kursi sofa dengan menggenggam berkas-berkas yang disimpan di brankas rahasia Moore. Rasa pusing menyengat hebat membuatnya merasa seluruh ruangan berputar dengan dia sebagai porosnya. Kelana kembali menutup mata. Butuh waktu sekitar lima menit  untuk mendapatkan kembali kesadaran dan menekan rasa mual yang naik di ujung lambung. Kelana tahu, maagnya kumat akibat menegak terlalu banyak kafein.

"Sir, Anda baik-baik saja?" tanya seorang petugas forensik yang menatapnya khawatir.

"I'm okay," jawab Kelana susah payah. "Tolong ambilkan aku air."

Petugas yang kira-kira berusia sebaya dengannya itu mengangguk dan menghilang dari pandangan. Kelana menoleh dan menyadari bahwa kesibukan di sekitarnya masih sama. Dua petugas forensik, seorang pria paruh baya dan wanita berusia empat puluh tahun masih terus mengarsipkan berkas-berkas. Kamar Moore jauh lebih rapi dari sebelum dia tertidur, tanda bahwa barang-barang bukti sudah sebagian dipindahkan ke kantor. Pria itu bertanya-tanya sudah berapa lama dia ke alam mimpi.

"Ini, Sir." Petugas itu menyerahkan air mineral dalam botol kemasan. Entah bagaimana dia mendapatkannya. Kelana hanya ingin rasa mualnya berkurang.

"Terima kasih."

Detektif muda itu mengambil obat berwarna hijau dari sakunya dan menelannya bersama dengan air yang terasa begitu segar di kerongkongan. Dia menghela napas sejenak sebelum menghabiskan sisa air.

[END] Eleven SpadeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang