-o b s e s s i o n-Cuaca yang cukup cerah untuk memulai hari. Matahari sudah mulai naik, menampakkan taring nya pada bumi yang mana beberapa hari ini hanya disapa mendung dan hujan. Hembusan angin lembut membuai daun-daun pohon yang sudah kering, menerbangkan nya ke udara—hingga daun kering itu harus puas mengalah pada gravitasi dan jatuh berserakan mengotori halaman hijau rumah mewah bercat putih tersebut.
Sarapan pagi ini cukup hening, seperti biasa—ayah nya akan menyesap kopi, dengan selembar Koran keluaran hari ini di tangan nya. Ibu nya akan kerepotan menyiapkan masakan sederhana di atas meja. Tidak ada yang istimewa, tidak ada ucapan manja lagi yang keluar dari bibir Jennie sejak ia tahu bahwa ayah nya bukan sosok yang selama ini ada dalam benak nya. Tidak ada tempat baginya untuk mengadu, tidak ada tempat baginya untuk mencurahkan tangis dan lara yang perlahan-lahan menggerogoti jiwa dan raga nya.
Jennie sendirian.
"Ayah turut berduka cita."
Bukan hanya Jennie yang tampak menghentikan aktifitas nya, sang ibu yang sedang menuangkan air putih pada gelas kosong suaminya juga tampak berhenti—memandang putri dan kepala rumah tangga itu secara bergantian.
"Siapa yang meninggal?" tanya wanita paruh baya tersebut. Ia menoleh pada Jennie, tampak menunggu jawaban putri nya—namun tak ada kata yang keluar dari bibir mungil tersebut. "Ayah..siapa yang meninggal?"
Jaejeong hanya tersenyum pada istrinya, lalu menoleh pada Jennie yang masih menunduk. "Ayah tidak tahu apakah karena hal ini pribadi mu jadi berubah. Tapi nak, dalam siklus kehidupan—kematian adalah proses yang alami. Kematian membuka peluang bagi yang baru untuk berkembang, dan yang lama untuk pergi. Kematian selalu memastikan bahwa roda dunia tetap dan masih berputar."
Sendok yang ada di tangan Jennie tampak bergetar, perempuan cantik itu gemetar menahan air mata nya agar tidak turun. Jantung nya berdebar-debar tak karuan. Jennie hanya menunduk, dan tanpa ia sadari peluh turun melewati pelipisnya. Ia mati-matian mencoba memikirkan kata-kata untuk di ucapkan.
Perempuan itu memandang arloji nya, lalu memandang buku berjudul The Inferno milik Dante yang tergeletak di samping kiri nya. Jennie gemetaran, merasa marah pada diri sendiri karena tak bisa memaki ataupun marah pada ayah nya yang sedang sok bijak seperti ini. Tidak ada satu katapun yang terlontar dari mulutnya. Ia tahu ayah dan ibu nya sedang memandang dirinya dengan tatapan khawatir, namun bagaimana—tidak ada kata yang mampu menggambarkan bagaimana perasaan Jennie. Tidak ada kata yang sanggup ia keluarkan agar orang-orang mengerti betapa nelangsa nya ia karena Sehun telah pergi.
"Sayang..ayah mu sedang bicara. Tidak baik menunduk dan acuh seperti itu."
Suara ibu nya terdengar lembut menenangkan. Pelan-pelan Jennie mengangkat kepala nya, lalu membalas pandangan ayah nya dengan pandangan aku-tidak-punya-waktu-untuk-ayah-bajingan, dan ia memilih berdiri tanpa memberikan kalimat atau bahkan kata untuk semua nasehat tersebut.
"Jane.." panggil ayah nya lembut.
"Aku akan keluar dari BEM." Ia berdiri, meraih buku dan tas nya yang ada di atas kursi. "Aku sudah tidak tertarik."
Tampak disana sang ayah menutup mata lantaran gemas dan jengkel. Di bantingnya Koran yang semula berada di tangan nya, lalu bentakan melengking berhasil menghentikan langkah Jennie.
"Beruntung dia meninggal sebelum meracuni mu dengan hal-hal yang tidak baik." Jennie tampak menggenggam kedua telapak tangan nya hingga jari-jari nya memutih. Ia belum berbalik, masih menunduk dengan posisi arah yang sama. "Tuhan sedang melindungi mu dari orang-orang brengsek seperti Oh Sehun."
KAMU SEDANG MEMBACA
obsession [END]
Fanfiction[SMUT] Kita berada di ruangan yang sama, ruangan yang penuh sesak dengan orang asing. Aku berdiri dalam kegelapan, dimana mata mu tidak bisa melihatku. Ya..aku harus mengikutimu meski kau tidak menginginkanku. Aku akan berada di sekitar mu, keman...