Mobil hitam itu berlalu melewati depan rumah tanpa berniat menyinggahinya. Naruto pikir Sakura butuh waktu untuk bicara dengan laki-laki yang entah siapa. Ia tak mengenalinya.
Naruto hanya merasa bahwa dirinya harus bertanggung jawab kepada Sakura. Ia yakin laki-laki emo itu kekasih Sakura.
Emerald miliknya mengikuti arah mobil yang Naruto kendarai, hingga kemudian mereka
benar-benar menghilang ditikungan menuju ke jalan besar.
Tidak ada yang perlu Sakura khawatirkan, hanya saja ia merasa malu kepada Naruto. Tak sepantasnya Sasuke mendatangi Istri orang, apalagi sampai berani menginjakan kaki disini.
Sama saja dengan merusak rumah tangga orang.
"Kumohon pergilah dari sini." Sakura tak bisa membiarkan Sasuke berlama-lama disini. "...cukup sudah kau merusak harga diriku, sekarang biarkan aku hidup dengan tenang bersama Suamiku."
Kata-kata Sakura menyayat hati. Sasuke kembali marah. "Kau mengkhianatiku, Sakura..." Ia mencekal lengan kurus itu lagi.
"CUKUP!" Sakura menepis sentuhan terhadap lengannya, kemudian menuding dada Sasuke dengan telunjuk. "Kau cukup menunggu, saat itulah kita lihat siapa yang salah dan siapa yang benar." Ia menarik kembali tangannya tadi.
"Semuanya sudah terbukti saat ini."
"Tapi tidak bagiku!"
BLAM!
Angin dari hempasan pintu menerpa wajah Sasuke. Ia terdiam membisu mendapatkan perlakuan kasar, padahal sebelumnya Sakura tak pernah bersikap seperti ini kepadanya.
Sementara itu, Sakura yang berada di dalam tengah duduk bersandar di dinding pintu. Meringkuk disana sembari menangis dalam diam.
"Sasuke..."
Wanita itu menyembunyikan wajah dibalik lutut. Tuduhan Sasuke sudah sangat keterlaluan, tak bisa di terima lagi.
Bagi Sakura tidak masalah bila Fugaku yang menuduh seperti itu sebab memang sejak dulu beliau tak menyukai dirinya dan sering kali melakukan apa saja demi memisahkan mereka, tetapi lain kisah bila Sasuke yang menuduh.
Harusnya Sasuke percaya, namun apa. Belum dipersatukan saja dia sudah berani menyakiti Sakura melalui kata-kata. Percuma menjalin hubungan apabila tidak ada kepercayaan kepada pasangan.
"...aku membencimu. Aku sangat membencimu Sasuke!"
Tidak ada lagi cinta maupun kasih sayang, hanya kebencian yang tersisa. Bukan tekat atau keputusan, tetapi rasa benci dalam hati Sakura terhadap Sasuke bermula dari cinta yang dikhianati.
Cinta menjadi benci.
Sia-sia sudah yang selama ini mereka korbankan, terutama Sakura. Jika tahu akan seperti ini akhirnya Sakura pikir lebih baik mereka tidak pernah mengenal satu sama lain.
Terlalu menyakitkan untuk melalui semua ini dengan kesabaran. Percayalah, kesabaran Sakura benar-benar telah mencapai batas. Setelah ini ia tak kan lagi menghadapi masalah dengan kesabaran.
Cukup lama Sakura mengurung diri di dalam, dan ia rasa Sasuke sudah pergi dari rumah ini. Berkali-kali memanggilnya dari luar dan tak sedikitpun ia tanggapi, hingga kemudian panggilan datar itu disudahi dengan enyahnya Sasuke.
Sakura berdiri dengan cepat kemudian masuk ke dalam kamar, selang beberapa saat ia muncul lagi dari sana. Ia kembali ke kamar untuk mengambil mantel serta dompet.
Perempuan itu langsung membuka pintu lantas keluar.
"Jadi kalian meragukan kesucianku..."
Langkah kecil tersebut membawa empunya ke pinggiran jalan.
"Baiklah."
Sebagai yang tertuduh tentu saja Sakura ingin membebaskan diri dari kesalahan yang bahkan tak pernah ia perbuat, yaitu dengan cara memberi bukti.
Sakura akan membuat mereka bungkam lalu berhenti mengusik hidupnya lagi. Ia ingin berhenti mengenal mereka, melupakan masa lalu tentang mereka dengan memulai kehidupan baru.
x X x
Dokter muda itu menarik kursi lalu duduk dihadapan Sakura. Ia menatap wanita tersebut dengan senyum ramah. "Anda bisa datang kembali setelah sore tiba."
Awalnya tantangan itu tidak terlalu Sakura pedulikan, namun setelah melihat keraguan Sasuke ia seperti mendapat dorongan keras untuk melakukan perbuatan keji itu.
Hanya dengan cara ini hidup mereka baru bisa tenang, begitu pula dengan Sakura. Manusia egois seperti mereka perlu diberi pelajaran.
"Pukul berapa?"
Dokter dengan nametag Shizune itu menatap alorji yang melingkar dipergelangan. "Sekitar pukul tiga, sebab saya datang setelah pukul dua belas siang."
Sakura mengangguk tanda paham. "Baiklah Dokter." Lantas ia beranjak dari tempat duduknya. "...saya permisi dulu." Pamitnya untuk pulang selagi ada waktu selama beberapa jam.
Bukan ide cemerlang menunggu hasil test hingga keluar, pastinya membutuhkan waktu yang lama sedangkan Sakura tidak suka berada di Rumah Sakit terlalu lama.
"Silahkan." Sang pasien tersenyum tipis.
Secara kebetulan, saat Sakura keluar dari ruang Dokter tanpa sengaja Gaara melihatnya. Keduanya saling berhadapan serta menatap wajah satu sama lain.
"Sakura-san." Gaara sudah mengenalnya setelah pernikahan mereka. Cukup tahu nama, soal latar belakang masih diselidiki.
Sedikit demi sedikit mulai diketahui.
Sesuai penyelidikan, mereka bilang Sakura Haruno seorang gadis sederhana yang tak memiliki orang tua. Ia hidup bersama seorang Nenek tua bernama Chiyo dan Sasori sebagai kakak sepupu.
Jika diamati Sakura tidak seperti wanita pada umumnya. Baik dan tak memandang status, biarpun ia hidup dalam kesederhanaan.
Gaara sendiri tidak tahu pasti hal apa yang membuat mereka menikah, karena saat diselidiki tidak terdengar kabar mengenai kedekatan mereka.
Semua terjadi tanpa terduga.
"Gaara-san, apa yang Anda lakukan disini?"
Keduanya masih berdiri di dekat Sakura muncul tadi.
"Cek rutin, aku menghidap tumor." Pernyataan Gaara membuat Sakura terkejut. "...sudah menjalani operasi, hanya tinggal masa pengobatan untuk pemulihan sepenuhnya."
"Semoga lekas sembuh." Setelah itu Sakura langsung berlalu melewati Gaara usai menunjukan perhatian sebagai bentuk prihatin.
"Tunggu Sakura-san!"
Wanita disana berhenti dalam jarak beberapa langkah dari tempat Gaara berdiri. "Ada apa?" Ia menoleh kebelakang.
Gaara menyimpan kedua tangan dalam saku celana blazer yang ia kenakan. "Aku ingin membicarakan sesuatu denganmu."
Pria itu ingin mengenal Sakura lebih dekat, dengan begitu ia dapat menilai baik dan buruknya Istri Naruto.
Sakura tampak berpikir sebelum memutuskan. Mengingat ini masih siang tentunya waktu ia berada di luar masih luang, terlebih jam pulang Naruto sesudah matahari berganti bulan.
Terdengar helaan nafas. "...tapi tidak bisa lama." Akhirnya Sakura menerima ajakan dari Gaara.
"Hanya satu jam." Itu termasuk lama, tapi Sakura tak bisa menolak sebab sudah terlanjur ia terima. "Aku sudah menyiapkan tempat, ikutlah denganku."
Sakura tak berkata apa-apa lagi, hanya mengikuti langkah Gaara dari belakang. Sejujurnya ia tak begitu mengenal lelaki dihadapannya itu, yang ia tahu Gaara hanyalah teman baik Naruto serta rekan kerja sejak lama.
Tertlihat jelas dari kedekatan mereka yang mengatakan bahwa hubungan yang dijalani tak hanya sekedar bawahan dan atasan. Mereka sudah seperti saudara, itu yang Sakura pikirkan mengenai Naruto dan Gaara.
Pernah sebelumnya Sakura mengira Naruto seorang gay dan Gaara yang menjadi pasangannya, namun ia sadar telah salah menuduh setelah melihat kenyataan.
Naruto bukan gay, terbukti saat tanpa sengaja Sakura menemukan sebungkus pengaman dalam saku celana milik Naruto.
Ketahuilah bahwa berhubungan dengan sesama jenis tak perlu menggunakan pengaman, kecuali bermain dengan lawan jenis.
Sakura malu jika mengingat kejadian pada tempo hari, sampai membuatnya tidak punya keberanian menatap wajah Naruto selama sahari semalam.
Lelaki dingin dan cenderung bicara juga punya nafsu.
x X x
Pria tak beralis mata itu meletakan gelas Teh diatas piring kecil. "Aku ingin tanya, apa saja yang kau ketahui tentang Naruto?" Ia melipat kaki diatas kaki kiri. Menumpukannya untuk lebih santai.
"Naruto Suamiku, semua tentang dia sudah aku ketahui."
"Termasuk latar belakangnya?" Anggukan kepala menjawab pertanyaan Gaara, tapi jangan pikir dirinya tidak tahu dengan kebohongan Sakura. "...siapa nama kedua orang tua Naruto?"
Sakura bungkam. Jika tahu begini ia tak kan berdusta.
"Jawablah." Gaara mulai tahu kebohongan yang tadinya Sakura utarakan.
"Ak-aku tidak tahu." Wanita itu menggigit bibir. Sungguh, ia merasa malu kepada diri sendiri apalagi kepada Gaara.
"Minato Namikaze dan Kushina Uzumaki."
Sekian lama menyandang nama belakang Namikaze, baru sekarang Sakura tahu nama kedua orang tua Naruto. Terlebih yang mengatakannya dari mulut orang lain yang bukan Suaminya.
"Kedua orang tua Naruto tidak pernah rukun meski sudah puluhan tahun mereka hidup bersama." Gaara ingin menceritakan tentang kehidupan Naruto kepada Sakura, agar kelak wanita itu akan berpikir dua kali sebelum pergi meninggalkan Naruto.
Paling tidak Sakura tahu latar belakang Naruto, dan Gaara harap dia akan menjaga Naruto jauh lebih baik dari sebelumnya.
"Naruto tidak pernah cerita kepadaku." Sakura mengeluh dalam kekecewaan. Meski tidak saling mencintai namun bukan berarti mereka orang lain yang secara kebetulan tinggal satu atap.
Alangkah baiknya jika saling berbagi dengan pasangan.
Sakura ingin membuka diri kepada Naruto, namun ia tak memiliki keberanian. Sikap Naruto seakan tak membutuhkan teman, alasan yang membuatnya menjauhkan diri dari sang Suami.
Gaara mengela nafas. "Itu karena pernikahan kalian terjadi bukan berdasarkan cinta." Membuat Sakura membuka mulut tak sesulit yang ia pikirkan.
Type wanita seperti ini yang pantas mendampingi Naruto. Gaara pikir begitu.
"Pernikahan kami terlaksana sebagai bentuk dari tanggung jawab." Pikiran Sakura kembali menerawang masa-masa yang sudah berlalu.
"Tanggung jawab atas hal apa?"
Sakura menatap jade pucat yang diketahui milik Gaara. "...aku tidak bisa menceritakannya kepadamu." Jawabannya membuat kelopak hitam diseberang sana menutup selama dua detik. "Ini masalah pribadi antara aku dan Naruto."
Dengan begini Gaara pasti mengerti lantas berhenti menatap Sakura dengan padangan penuh akan kecurigaan. Sebagaimana mencurigai seorang musuh, dan itu membuat Sakura tidak nyaman.
Sikap Gaara kepada Naruto tergolong over protective .
Gaara berhenti menumpukan kaki, kini kedua kaki miliknya berpijak normal di bawah meja. "Baiklah, aku tak kan memaksamu." Ia menautkan kedua jemari, lantas menyentuh ujung dagu. "...apakah Naruto sudah memperkenalkanmu kepada Paman dan Bibi?"
"Dia tak kan pernah mau melakukan itu."
"Aku yang akan melakukannya." Sakura terdiam. "Tapi aku harap setelah ini kau tak mengabaikan Naruto lagi." Gaara melanjutkan kata-kata yang membuat Sakura terjebak dalam berbagai pertanyaan.
"Naruto lah yang mengabaikanku."
Gaara tersenyum. "Kau akan tahu sosok Naruto yang sebenarnya kalau mampu mendekatkan diri, disanalah kau akan melihat sisi lemahnya."
Sakura menundukan kepala. Mengenai Naruto ia tak begitu kenal dengan Suami pirangnya itu, karena selama ini dia terlalu banyak diam dan menyendiri dengan cara mengurung diri dalam kamar.
Naruto tak pernah memberi sedikit waktu untuk Sakura. Selalu mempunyai kesibukan sendiri, entah itu sibuk dengan pekerjaan atau sibuk dengan rahasia yang disimpan dalam kamar.
Sakura penasaran dengan isi kamar Naruto dan ingin melihat apa yang dia sembunyikan disana, namun sayang kamar itu senantiasa terkunci begitu rapat. Serapat mengunci diri.
Bahkan kalau bisa Naruto akan menggunakan kunci dengan gembok rantai agar tidak ada yang bisa memasuki kamar yang ia pelitkan kepada siapapun.
Gaara beranjak, membuat tatapan Sakura mengikuti gerakannya. "Mari aku antar kepada Ayah dan Ibu mertuamu." Ia menunggu persetujuan dari yang bersangkutan.
Dengan perlahan Sakura menyorong kursi menggunakan bokong. Ia berdiri tanda menerima ajakan Gaara. Responsnya mendapatkan senyum tipis dari rekan kerja sang Suami.
x X x
Emerald indah tersebut tengah mengedarkan pandangan disekitar tempat. Memerhatikan bangunan Mansion megah yang terdiri di depan mata, lantas bersama Gaara ia melangkah masuk ke Mansion tersebut.
Sembari menunggu pintu terbuka, Sakura tampak asyik mengamati sekeliling tempat. Memulai gerakan mata dari gerbang, halaman yang terbentang luas di depan Mansion dan lain-lain.
Naruto tak kalah kaya dari Sasuke, atau yang lebih tepat kekayaan Sasuke terletak dibawah Naruto.
Pintu berpahat milik Mansion ini di buka oleh seseorang, kala itu juga menampakan seorang wanita berambut merah marun yang menyambut kedatangan Gaara.
Cepat-cepat Sakura bersikap sopan dengan mengarahkan padangan pada satu titik, dimana saat ini wanita itu tengah tersenyum kepada Gaara.
Sakura tidak tahu pasti apa yang telah terjadi, namun hanya melihat dari raut wajah perempuan itu menunjukan keterkejutan yang sangat. Tampaknya dia Ibu Naruto— sekaligus Ibu mertuanya.
"Naruto sudah menikah!?" Ini kejutan yang sangat luar biasa, antara kecewa dan bahagia yang Kushina rasakan saat ini.
Gaara tak perlu menjawab, cukup menunjukan bukti kepada Kushina bahwa yang ia sampaikan ini benar adanya. "Istri Naruto ada dibelakangku."
Kushina menilik bahu Gaara kemudian ia mendapati seorang wanita muda sedang berdiri disana. Ia tak tahu harus menunjukan sikap seperti apa kepada Istri dari Putra semata wayangnya itu.
"Sakura, kemarilah." Panggil lelaki bata itu.
Tidak perlu banyak omong, Sakura langsung merespons panggilan tersebut dengan bahasa tubuh. Mendatangi mereka yang tampak serius disana.
Perlu diakui bahwa perempuan yang bernama Kushina Uzumaki sangatlah cantik. Tidak, bukan Uzumaki melainkan Namikaze.
Dia Kushina Namikaze.
Kushina melangkah keluar dari pintu. Ia melewati Gaara untuk menghampiri Sakura. "...sudah berapa lama kalian menikah?" Ia menyentuh dagu lancip sang menantu, membawa tatapan dari sepasang mata indah tersebut agar mengarah padanya.
Sakura tersenyum. Mendadak pipinya merona. "Empat hari lagi genap satu bulan." Rasa bahagia itu ada ketika mendapat perlakuan manis layaknya manusia dari orang yang berderajat tinggi.
Jika awalnya Sakura mengatakan Naruto jauh lebih baik dari Sasuke, maka keluarga Uchiha memanglah sangat buruk dalam memperlakukan sesama.
Keadaan seperti ini membuat hati Sakura ingin menjalin hubungan yang lebih serius dengan Naruto. Orang baik seperti mereka pantas mendapatkan kebahagiaan.
Kushina menitikan air mata. "Anak itu tidak mengatakan apa-apa kepadaku soal pernikahan kalian." Ia mengusap setitik air mata yang membekas di pipi. "...aku ini memang Ibu yang buruk ya. Aku tak pantas memiliki Naruto." Racaunya tidak jelas. Menurut Sakura.
"Eh, ada Gaara." Sapaan ramah menyapa pendengarkan Sakura.
Sekarang siapa lagi?
"Paman." Gaara tersenyum ramah kepada si penyapa.
Tak perlu bertanya, cukup menduga bahwa laki-laki berambut pirang jabrik itu Ayah dari Naruto Namikaze. Wajah mirip mereka bak buah pinang di belah dua yang mengatakan.
Minato melangkah ke depan. "Ayo masuk, jangan bersikap seperti orang asing begitu." Ia menyentuh bahu Gaara.
Kedekatan Gaara dengan Naruto membawa dirinya masuk dalam keluarga Namikaze, yang membuat ia jadi tahu seluk beluk mereka dari rahasia kecil hingga rahasia besar.
Bertahun-tahun Gaara mengenal dekat Naruto serta keluarganya.
"Aku tahu kau adalah keberuntungan tersebesar bagi Naruto." Sakura tak bisa mengendalikan diri setiap kali mendapat pujian. Ia malu kemudian merona, itulah masalah yang sulit diatasi.
Kushina merangkul lengan Sakura dan mengajaknya masuk. Mereka berlalu tanpa terdengar sapaan dari sepasang Suami Istri tersebut, membuat Sakura berpikir mengenai hubungan mereka.
Benar kata Gaara.
Minato dan Kushina tidak akur.
Berlalunya Kushina membuat Minato menyerngitkan kening tanda heran ketika melirik keberadaan Sakura dalam rangkulan sang Istri. "Perempuan itu kekasihmu?"
Bukan salah Naruto menjauhkan diri dari kedua orang tua, untuk itu Gaara memaklumi keinginan Naruto.
Mereka orang tua egois.
"Istri Naruto." Minato membulatkan mata.
Gaara tersenyum kemudian lekas berlalu meninggalkan Minato yang terdiam membatu di depan pintu.
Biarkan Ayah pirang itu menerima pembalasan dari sang Putra, bagaimana sakitnya saat diabaikan dan tak diperdulikan.
Apabila sudah bertengkar mereka akan membutakan mata dan hati, hal itu telah melukai perasaan seorang anak yang menyaksikan ketegangan antar Ayah dan Ibu.
x X x
Menyenangkan berbincang dengan Ibu mertua, itulah yang Sakura rasakan ketika bersama Kushina di rumah megah itu. Mereka bukan orang tua yang buruk, hanya Naruto yang salah menilai
Pertengkaran demi pertengkaran tidak menjadikan alasan orang tersebut menyimpan sifat buruk.
Sakura akui kedua orang tua Naruto memang egois, namun bila hanya kepada pasangan, sementara jika kepada anak mereka bersikap normal layaknya orang tua pada umumnya.
Naruto sudah salah dengan mengambil keputusan untuk membenci orang tuanya. Mereka baik dan bertanggung jawab, sudah seharunya Naruto memahami masing-masing perasaan mereka.
Kenyataan kejam memang sulit di terima. Begitulah Naruto yang tak bisa menerima kenyataan bahwa kedua orang tuanya tidak saling mencintai.
Naruto tak pernah tahu isi hati Minato, begitu pula dengan Kushina. Mereka orang tua yang menutup diri mengenai perasaan.
Setelah kembali dari Mansion Sakura memutuskan untuk melanjutkan niat, dimana dirinya kembali ke Rumah Sakit lalu pergi lagi usai menerima hasil test yang akan merubah segalanya.
Tidak perlu jauh-jauh, hanya satu tujuan Sakura saat ini.
Yaitu mendatangi Uchiha yang telah menjatuhkan harga dirinya sebagai kaum hawa hingga ke titik yang terdalam.
Perbuatan mereka tidak bisa ditoleransikan lagi.
Tak hanya Fugaku, bahkan Sasuke sendiri tega meragukan kesucian Sakura. Mereka sama saja menganggap dirinya seperti wanita rendahan yang gampangan dan asal bergaul dengan lelaki manapun.
Keputusan Sakura untuk melabrak mereka bukanlah ide buruk, tujuannya agar hidup mereka tidak di kejar-kejar lagi oleh rasa penasaran.
Bukan 'kah ini yang menjadi kenginan Ayah kesayangan Sasuke? Well, Sakura akan mengambulkannya.
Kini Sakura telah tiba di depan bangunan gedung yang merupakan perusahaan besar milik Uchiha. Ia berdiri di depan gerbang untuk menarik nafas sejenak, lantas memulai langkah dengan jantung yang berdegup lebih cepat dari biasanya.
Degup yang menandakan amarah. Hati Sakura berdentum-dentum menunggu yang akan terjadi begitu dirinya hadir secara tiba-tiba.
"Jadi bagaimana keputusan selebrity kita?" Sasuke menuai pertanyaan untuk proyek pengiklanan atas nama produk buatan mereka.
"...bayaran yang kita tentukan tidak memuaskan." Jawab salah seorang lelaki yang juga menghadiri rapat ini.
Fugaku menyentuh pelipis. "Sudah sebanyak itu masih dibilang kurang." Ia tak tahu maksud dari
perkataan kurang yang diupackan oleh selebrity yang mereka kontrak.
"Begitulah katanya."
Ini sama saja dengan pemerasan. "Apa perlu kita tambah?" Usul Uchiha sulung. Itachi pikir pengeluaran mereka tidak sebanding dengan keuntungan, lantas untuk apa berhemat jika untung yang berhasil mereka raub sampai satu kali lipat.
Bagi Fugaku menambah bayaran bukanlah solusi yang tepat, namun mau bagaimana lagi jika ia sendiri tidak bisa memecah masalah mereka.
Sasuke menyandarkan punggung pada badan kursi. "Lagipula yang dia butuhkan itu upah standar dari pekerjaan selebrity lainnya, Ayah."
Fugaku melirik Sasuke. "Jadi kita harus menambah pengeluaran lagi?"
"Kita tidak punya pilihan lain." Obito menimpal.
Hal wajar apabila mereka membayar upah dengan harga selangit mengingat selebrity yang di kontrak penyanyi solo papan atas yang karriernya sedang melejit di dunia
entertainment.
"Jika terus berpikir Mei Terumi bisa kapan saja membatalkan kontrak kita kerena ketidak puasan dengan bayaran." Mereka menyimak perkataan Itachi. "Kita akan rugi, dan Mei beruntung. Tiga perusahaan mengharapkan kerja sama dengan Mei, kita lah perusahaan beruntung yang dipilih olehnya... saran dariku sebaiknya kita penuhi apa yang dia inginkan."
Fugaku menghela nafas. "Baiklah... kita setujui perubahan ini." Sesekali mengalah demi keuntungan bukan masalah besar untuk dilakukan.
"...dengan begini kita sudah menyetujui perubahan." Sasuke langsung menandatangani surat kontrak kerja mereka, setelah itu ia tutup kembali document penting tersebut.
"Minggir!"
Suara ribut terdengar dari luar ruang rapat. Semua kepala menoleh ke arah pintu yang masih tertutup rapat.
"Tidak bisa Nyonya. Tuan Fugaku sedang menjalani rapat, tidak ada yang boleh mengganggu beliau."
Sakura memaksakan diri. "Rapat mereka tidak sepenting kedatanganku kesini." Ia berusaha menerobos agar bisa masuk ke dalam sana.
"Nyonya, sebaiknya Anda pergi sebelum saya panggilkan security."
Emerald tersebut mendelik. Menatap tajam sosok pria bertubuh kurus yang menghadang jalannya. "Panggil saja, aku tidak takut." Ia menantang.
Zetsu terpancing. "Keras kepala!" Komentarnya mengenai kegigihan Sakura. "Bee...!" Ia lengah sedetik untuk memanggil Killer Bee— hanya dengan mengalihkan mata, tapi saat kembali menatap wanita tadi tiba-tiba sosoknya menghilang seperti bayangan.
Hanya tersisa bekas Sakura berdiri tadi.
Hilangnya Sakura membuat Zetsu terkejut. "Sial!" Umpatnya lalu menyelonong masuk untuk menangkap orang asing tadi.
"Sakura, kau..."
Ruangan ini hening dalam seketika karena kedatangan Sakura. Mereka dibuat heran olehnya.
Sasuke berdiri, sementara itu Sakura bergegas menghampiri tempatnya dengan langkah tergesa. Sontak saja, kejadian ini menarik semua mata untuk memandang ke arah mereka.
Fugaku mengarahkan tatapan bengis untuk Sakura. Ia memandanginya dengan pandangan rendah.
Puk.
Sebuah amplop putih diletakan dipermukaan dada Sasuke. "...setelah ini jangan pernah lagi mengusik hidupku." Sakura mengecamnya tak hanya dengan kata-kata, namun beserta tatapan.
Tidak terdapat cinta dan kasih sayang lagi dalam jade cerah milik sang wanita, hanya ada kebencian. Sasuke sangat menyadari sebagaimana bengisnya tatapan Sakura terhadap dirinya.
Kebencian yang tercipta dari rasa cinta. Sungguh ironis.TO BE CONTINUE...