Ino Yamanaka

3.3K 176 0
                                    

Seseorang bersembunyi dibalik tong sampah. Persetan dengan bau busuk disekitar, yang paling utama untuk saat ini ia sangat membutuhkan sebuah bukti. Hanya akan menyia-nyiakan pekerjaan apabila kalah cuma gara-gara bau tak sedap di tempat persembunyian, sementara misi penting sudah berhari-hari dijalani.
Yahiko tak ingin mengambil resiko dengan gagalnya menuntaskan misi kali ini.
Mereka tidak tahu adanya kehadiran seseorang diantara tumpukan sampah, dan orang itu sedang merekam perbuatan mereka menggunakan ponsel genggam.
"Ini baru uang muka." Pria bermata putih itu menyerahkan sebuah bingkisan tebal. Amplop yang berisi beberapa juta uang bayaran.
Si pria bertato segitiga di wajah menerima bayaran tersebut. Sembari menyelipkan ujung dari batang rokok ke belah bibir, ia buka amlop tersebut lalu menghitung jumlah uang di dalam sana.
Perlu berhati-hati sebab misi yang dijalani tidak mudah untuk diselesaikan, terlebih lagi menaruhkan nyawa seseorang yang tak bersalah.
"Hmm..." Asap rokok mengepul diudara. "Kapan aku harus turun tangan?" Hasratnya cukup terpuaskan dengan bayaran yang diberikan oleh keponakan Hiashi Hyuga.
"Secepatnya." Ini bukanlah cara yang benar untuk menggugurkan lawan, namun sebagai bawahan Neji sekedar menjalankan tugas. "...lakukan kapan saja asalkan dia berada dk luar rumah."
Kiba Inuzuka kembali menyesap asap rokok. "Mudah saja selama bayaranku lancar dan sesuai yang dijanjikan." Kali ini ia hembuskan asap rokok ke wajah Neji, membuat lelaki itu terbatuk-batuk. Ia tertawa remeh.
Banci.
"Butuh waktu yang tepat untuk melakukannya, terlebih akhir-akhir ini Naruto tidak sendirian." Kiba sudah menguntitnya, namun selalu menemukan dia sedang bersama gerombolan orang-orang pengusaha.
Salah mengambil tindakan hidup yang menjadi taruhan.
KLANG!
Sontak saja, suara ribut dekat tong sampah berhasil menarik perhatian kedua pria disana. Mereka bergegas mendatangi tempat tersebut untuk memeriksa keadaan.
"Siapa disana!?"
"Shit!"
Dalam hati Yahiko mengumpati keadaan. Bisa-biasanya ia menyenggol botol kosong hingga menarik perhatian mereka, akan sangat berbahaya kalau sampai ketahuan.
"Sepertinya ada seseorang disini."
Kiba menendang botol-botol kosong yang berserakan di dekat tong sampah. Ulahnya membuat seekor kucing melompat karena terkejut, begitu pula dengan mereka.
Meong...
Neji menghela nafas lega. "Hanya kucing."
Sementara itu, Kiba yang tadinya hampir mati jantungan langsung melampiaskan rasa kesal dengan cara menendang kucing berbulu hitam itu.
"Bedebah!" Makian untuk si kucing tak berdosa tertuai dari bibir pucat Kiba. Terlalu sering menghisap rokok membuat bibirnya menghitam dan terlihat kurang sehat.
"Sebaiknya jangan katakan apa-apa tentang misimu. Kita harus lebih berhati-hati." Neji mengingatkan. Firasatnya mengatakan bahwa tadi benar-benar ada orang disini.
Kiba melirik ke arah Neji. "Hn." Sahutnya dingin.
Tak perlu mengingatkan, sebagai pembunuh bayaran Kiba tahu semuanya termasuk cara bertindak. Mereka hanyalah orang-orang ingusan yang menginginkan kemenangan dengan cara licik.
"Pergilah lebih dulu." Neji menatap Kiba dengan wajah penuh tanya. "...aku tak ingin mengambil resiko bila ada yang melihat kita bersama disini." Resiko yang terlalu berbahaya untuk di tanggung.
"Baiklah." Usai menjawab dengan singkat, Neji bergegas mengambil langkah. Ia meninggalkan Kiba dibelakang Diskotik.
Sementara itu, Yahiko sendiri terlihat sedang menghembuskan nafas lega. Tadi itu nyaris sekali.
Ketika tahu mereka datang hendak mengobrak-abrik tong sampah, secepat kilat Yahiko
Kmelarikan diri dan berpindah tempat persembunyian kebelakang truk sampah.
Setidaknya ada tempat yang lumayan aman untuk menyelamatkan diri dari kematian dini.
x X x
"Kalau bisa menetaplah lebih lama lagi disini."
Kushina tersenyum. "Sayang sekali aku tidak bisa, masalahnya besok Minato harus pergi ke kantor. Sudah dua hari dia cuti." Jawaban darinya membuat sang menantu menghela nafas.
Sakura menatap sedih tumpukan piring kotor di
kitchen sing . "Sebenarnya kebersamaan ini tidak memuaskan, tapi mau bagaimana lagi."
Setelah mengulang kembali makan malam seperti kemarin hari, kini kedua perempuan itu meninggalkan ruang makan untuk membereskan dapur. Biarkan kedua lelaki pirang mereka menghabiskan waktu bersama sebagai Ayah dan anak.
"Kalau Naruto cuti panjang, giliran kalian menginap di tempat kami."
"...itu sudah pasti, Ibu." Mana mungkin Sakura mau melewatkan kesempatan bila itu untuk mempersatukan keluarga. Cukup dirinya hidup tanpa kedua orang tua sejak kecil, Naruto tidak boleh mengalami hal yang sama dengan dirinya.
Selagi masih memiliki kedua orang tua sudah seharusnya mereka menjalin hubungan agar ikatan itu selalu terjaga sampai kapanpun.
"Sakura-Chan, seperti apa kisah cinta kalian berdua hingga menjadi Suami dan Istri?" Selama ini Naruto menutup diri, tak sekalipun pernah membicarakan masalah sendiri kepada siapa saja.
Entah itu Ayah atau Ibu.
Kushina ingin tahu perjalanan kisah cinta mereka. Bagaimana mereka bisa saling mencintai, menikah lalu membina rumah tangga bersama-sama.
Sedikit ingin tahu tentang Naruto sudah lama Kushina pendam. Selama ini sang Putra gemar menutup diri, alasan yang membuat mereka saling berjauhan. Sejak kedatangan Sakura mereka bisa berkumpul bersama seperti saat ini.
"Semuanya terjadi secara tiba-tiba." Sakura mengolah sabun dalam sebuah mangkuk khusus. Akan ia pergunakan untuk menyabuni piring kotor.
Mendengarnya kala itu juga menimbulkan pertanyaan dalam benak Kushina. "Jadi kalian belum lama saling mengenal?"
Sakura tertawa pelan. "Ibu benar." Wanita marun itu bertugas sebagai pembilas piring. "...tiba-tiba saja Naruto datang kemudian langsung meminangku tanpa mengenalkan nama."
Ini bukan kebohongan.
Semua yang Sakura jelaskan memang benar, hanya saja bagian yang terpenting sengaja tidak ia ikutkan. Masa lalu biarlah menjadi masa lalu, dan baginya Sasuke adalah masa lalu yang tertinggal jauh dibelakang mereka.
"Lalu bagaimana kalian bisa saling mencintai jika dari awal menjalin hubungan tanpa saling mengenal diri satu sama lain?" Cerita yang sangat mengherankan.
Sakura menatap ke arah Kushina dengan senyum tulus. "Kebersamaan kami yang menumbuhkan cinta secara perlahan-lahan. Hari demi hari kami habiskan waktu bersama, dan itu telah menjadikan hubungan kami terjalin erat hingga membiasakan diri dalam kebersamaan."
Mereka tidak akan terbiasa apabila berpisah. Setiap saat Naruto selalu membutuhkan Sakura.
"Jadi dari awal kalian tidak saling mencintai?'
"Tentu saja itu tidak benar." Sakura membantahnya. "...karena mencintai Naruto hingga tanpa pikir panjang aku langsung menerima dia sebagai Suamiku." Ini baru bisa disebut kebohongan besar.
Sakura juga ahli dalam berdusta, dan itu membuat senyum geli terlukis di wajah Naruto. Sejak tadi ia berdiri dibelakang mereka dan sudah mendengarkan pembicaraan para wanita disana.
"Dasar bodoh. "
Kalimat yang cocok untuk Sakura bila mengutarakan cinta. Naruto lebih senang menggunakan kalimat tersebut untuk menunjukan bahwa ia mencintai sang Istri.
Cinta yang belum lama ini hadir setelah cukup lama mereka melalui hari demi hari bersama dalam suka maupun duka.
Seperti janji yang pernah diucapkan dalam pernikahan mereka.
x X x
Kemarin malam tidur di sofa tanpa sepengetahuan Naruto, dan malam ini Minato juga melakukan hal yang sama. Mengalah demi Kushna dan rela tidur dis sofa.
Lelaki itu sadar bahwa sang Istri tak kan pernah sudi menyisakan setengah dari tilam besar itu untuk memberinya tempat tidur yang layak.
Sekarang Minato telah menyiapkan bantal dan selimut, setelah itu ia putuskan untuk langsung merebahkan tubuh.
Kushina menaikan kedua kaki miliknya. Mereka tidak tahu ini kamar yang pernah Sakura tempati, sekarang menjadi tempat sementara untuk mereka menjelang besok.
"Minato..."
"Hm?" Deheman singkat menjadi respons dari panggilan Kushina.
Wanita itu mengusap bagian tempat tidur disebelahnya. "Disini masih ada tempat, sebaiknya kau gunakan." Ia menawarkan jasa sembari tersenyum.
Waktu pertama menikah Naruto orang asing bagi Sakura, dan belum beberapa bulan bersama mereka sudah bisa saling mencintai. Harusnya Kushina juga bisa melakukannya tanpa membuang-buanh waktu terlalu lama. Kini ia sadar bahwa dirinya kalah baik dari Sakura.
"Aku disini saja." Tentu saja Minato enggan menerima tawaran Kushina setelah yang selama ini di lalui olehnya. Ia tak begitu yakin itu diri Kushina yang sebenarnya, pasalnya ia tahu benar sifat sang Istri.
Keras kepala dan egois.
Kushina menghela nafas. "Aku ingin merubah diriku." Ia menundukan kepala, sedangkan Minato langsung menatap ke arahnya. "...apa aku salah kalau ingin menjadi seperti Sakura-Chan?"
Pria disana tertegun. Dia seperti bukan Kushina yang di kenal.
"Kau keberatan membantuku untuk berubah?" Kushina mengarahkan tatapan pada sofa.
Minato masih diam, hingga kemudian ia menghela nafas dan memutuskan untuk menghampiri Kushina. Menghargai keputusan sang Istri untuk menjadi lebih baik dari sebelumnya.
"Apakah semuanya sudah terlambat?"
Pertama kalinya tatapan Kushina kepada Minato bersorot teduh.
Kepala pirang itu menggeleng. "...tidak ada kata terlambat." Sejak tadi ia telah duduk diatas ranjang yang sama dengan Kushina.
Usaha Sakura menghasilkan buah. Kushina sadar selama ini dirinya telah berlaku egois dengan membenci Suami sendiri, sikap durhaka dari seorang Istri.
Ada baiknya mereka datang kesini karena memenuhi keinginan Sakura, karena telah menyadarkan Kushina dari kesalahan yang dilakukan olehnya selama puluhan tahun.
Tentu saja cinta mereka tidak tumbuh karena tinggal satu atap tetapi jarang sekali bertemu, bertatap muka atau bersama. Mereka hidup masing-masing, terlebih lagi Minato jarang mau menghabiskan waktu di rumah.
Selalu mencari kupu-kupu malam, pantas bukan Kushina marah dan semakin membenci sang Suami, terlebih lagi pernikahan mereka terjadi karena perjodohan yang tak di inginkan dari kedua belah pihak, sedangkan keluarga sangat mendukung.
"Mau kah kau membantuku?" Kushina menyentuh punggung tangan Minato yang lebar itu.
Minato tersenyum lalu balas menyentuh tangan Kushina. "Tidak sama sekali." Kini ia membelai rambut merah sang Istri lalu mnyelipkan anak rambutnya yang terjuntai disisi wajah.
"Terimakasih, Minato." Wanita merah itu turut tersenyum.
Untuk Minato sendiri ia tak bisa memberi komentar apapun, karena lelaki itu sudah berubah sejak beberapa hari yang lalu. Tinggal Kushina sendiri yang perlu merombak diri, terutama sifat.
Hidup bahagia dengan keluarga sangatlah menyenangkan, untuk itu jangan pernah berpikir untuk menjauhi keluarga.
Sekarang Kushina sadar selama ini yang ia lakukan itu tidak ada benarnya sama sekali.
x X x
Lagi-lagi kecupan menyinggahi pipi. Sakura terkikik geli kemudian mencoba menghentikan perbuatan Naruto dengan cara menjauhkan wajah tampan itu. Ia dorong-dorong kepala Naruto disela kesibukan lain.
Saat Sakura tengah asyik membaca Novel, tiba-tiba Naruto datang dan langsung menghujaminya dengan kecupan-kecupan lembut di sekitar wajah.
Paling tidak perempuan itu ingin menikmati setiap alur cerita dalam Novel tersebut.
"Naruto, hentikan..." Sang Suami tidak berhenti, begitu pula dengan tawa dari bibirnya.
"Aku ingin Bayi." Lagi-lagi permintaan itu.
Sakura menutup Novel lantas meletakannya di meja. "Butuh waktu pemrosesan yang panjang untuk mendapatkan Bayi, Anata." Ketidaksabaran Naruto sukses membuat ia merasa gemas sendiri.
Dimulai dari benih kemudian masa-masa panjang untuk pertumbuhan janin. Kepala, kaki, tangan dan anggota tubuh lainnya. Sekiranya membutuhkan waktu satu tahun bersama
mencetak -nya dari sperma.
Perlu kesabaran selama menunggu
Lagipula, baru kemarin malam mereka bercinta untuk menghadirkan malaikat kecil dalam keluarga kecil, tapi sekarang Naruto menagih Bayi lagi seperti bocah cilik yang menginginkan permen lolipop.
Bilang saja kalau sebenarnya dia minta jatah, Bayi sebagai pelantara ketika menagih.
"...kita usahakan lagi sampai berhasil." Wajah Sakura memanas. Ada saja cara Naruto untuk membuat dirinya tersipu.
"Dasar kau-nya saja yang mesum." Sakura mencubit pucuk hidung Naruto karena tidak sanggup lagi menahan rasa gemas.
Kembali Naruto menyerang wajah Sakura dengan kecupan demi kecupan. "...aku lapar."
"Makan sana." Wanita itu terkekeh.
Tangan Naruto menggerayangi tubuh Sakura mulai dari tangan hingga pinggang. "Bukan perutku yang lapar." Pertama kali ia bersikap manja kepada seseorang.
Toh, seseorang itu juga Istri sendiri. Mereka bebas ingin melakukan apa saja selama tidak ada yang keberatan.
"..lalu apa?"
Naruto berhasil menelusupkan tangan ke balik baju tidur yang Sakura kenakan. "Diriku lapar akan tubuhmu." Ia berhasil menembus pertahanan si wanita, membuat bibir mungilnya yang merona itu digigit. Cara jitu menahan diri, tapi entah bisa bertahan sampai berapa lama.
Paling tidak selama beberapa detik.
"Ja-jangan Nar...~" Sakura malu untuk sekedar mendesah. Ia takut akan di dengar oleh Minato dan Kushina, terlebih lagi Naruto memang pandai membuat dirinya lepas kendali. Iaernah memekik di tengah malam kemarin karena perbuatan Naruto. Hanya berharap mereka tidak dengar, kalau itu terjadi pasti akan membuat malu.
"Jangan berhenti?" Naruto tersenyum genit. Akhir-ahir ini sudah menjadi kesenangannya menggoda Sakura, apalagi sambil mengecupi serta meraba-raba tubuh. Ia sangat suka melihat Sakura malu-malu tapi mau.
Sakura meletakan telunjuk pada belah bibir Naruto. "Jangan sekarang, di kamar sebelah ada Ayah dan Ibu." Ia hanya tidak ingin kejadian seperti kemarin malam terulang lagi.
Tak mudah mengendalikan diri.
"Semalam baik-baik saja."
Wanita itu mendelik. Dia tak sadar juga setelah apa yang dilakukan.
"Berikan aku Bayi." Telunjuk kurus itu di kecup mesra oleh Naruto, membuat empunya lagi-lagi terkikik.
Sakura menyentuh pipi berkumis itu, lalu mengecup bibir tipis Naruto. Hanya sekilas. "Ada syaratnya."
"Apa?"
Bibir ranum milik Sakura tengah mengulum senyum. "...katakan padaku kalau kau punya cinta."
Tangan Naruto tetap tidak berhenti. Meraba-raba paha dalam Sakura dengan mata sayu, tertanda ia sudah terlampau menginginkan wanita itu.
"Aku punya cinta."
"Bukan... bukan seperti itu."
Rengekan Sakura membuat senyum merekah di bibir tipis Naruto. "Terus seperti apa lagi?"
"Katakan kalau kau cinta padaku."
"Seperti apa contohnya?" Telapak lebar itu mengusap lembut paha Sakura. Terus dilakukan hingga mencapai bokong lalu berhenti disana- menikmati kulit halus tersebut. Perbuatan nakal yang membuat Sakura harus menggigit bibir lagi dan lagi.
"Aku mencintaimu, katakan seperti itu."
Tak perlu menunggu lebih lama lagi dari ini, karena cinta sejati yang tidak pernah Naruto harapkan telah hadir dalam hidupnya. Datang secara tiba-tiba tanpa rasa, tanpa kasih apalagi cinta.
Kebersamaan mereka telah membuahkan perasaan yang disebut sebagai cinta. Pada akhirnya kegigihan mereka dikalahkan oleh waktu, hingga kemudian masing-masing nama dari mereka terukir sendiri di dalam hati.
"...aku juga mencintaimu." Naruto terkekeh.
Bibir Sakura mengerucut. "Tidak adil, harusnya sebagai lelaki kau yang sepantasnya mengatakan kalimat itu baru aku jawab."
Pemilik iris shappire itu mendekatkan bibir pada telinga Sakura. "Aku mencintaimu wahai Istriku yang cantik dan bohai." Bisikan lembut menggoda telinga Sakura, termasuk tangan nakal di bawah sana.
Sentuhan Sakura berangsur turun dari wajah menuju leher, kemudian lengan Naruto. Ia dapat merasakannya- otot padat yang berbalut daging. Memang tidak terlalu besar namun lengan seksi itu terbentuk dengan sempura, karena tidak kecil ataupun besar. Ukuran diatas rata-rata.
"Aku juga mencintaimu, Suami pirangku yang mesum." Merah di pipi putih Sakura semakin jelas terlihat. Ia tidak ingin menjadi wanita munafik dengan berpura-pura tidak mencintai Naruto. Ia hanya ingin jujur, tidak lebih dari itu.
Selalu bersama telah membuat mereka terbiasa untuk saling melengkapi, berbagi dan lain-lain. Sakura tahu semua kisah dalam hidup Naruto, mulai dari masa lalu hingga masa kini. Meski dari masa lalu tidak seluruhnya yang diketahui.
Inilah hidup Sakura yang sudah sebenarnya. Menjadi Istri Naruto, menemaninya dalam suka maupun duka, menjaga dia dan mencintai hingga akhir nafas.
Takdir yang sebelumnya sempat mempermainkan Sakura.
Balasan yang manis, dan Naruto suka mendengarnya. "Sekarang aku ingin Bayi..." Lagi-lagi ia menagih Bayi.
Naruto ingin mendapatkan Bayi yang di kandung dalam rahim Sakura. Waktunya ia menjalin hubungan serius bersama sang Istri, untuk itu sangat diperlukan kehadiran malaikat kecil agar melengkapi keluarga kecil mereka.
Dari sekarang Naruto sudah tidak sabar lagi ingin mendengar suara tangis Bayi, menggendong sang buah hati dan setiap hari memberi kecupan pada kening.
"...kau sudah siap menjadi seorang Ayah?"
"Sangat siap!" Pria itu menjawab dengan begitu semangatnya, lagi-lagi membuat bibir ranum yang memerah itu mengulum senyum malu.
"Kalau begitu..." Sakura diam saja ketika celana dalamnya di lorotkan. "...isi yang banyak." Ia mengikuti tuntunan Naruto dalam merombak posisinya saat ini.
"Sekiranya cukup." Naruto mengulang kembali kecupan demi kecupan, namun kali ini ia lakukan pada sekujur tubuh Sakura. Berawal dari pucuk kepala, kening, hidung, bibir, leher dan seterusnya hingga ke ujung pangkal. Lidah hangat itu memang lihai dalam menjelajahi sekujur tubuh Sakura.
Dengan memulai dari dekapan, belaian serta kecupan telah membuat Sakura merasa dirinya sangat di inginkan. Berkat keinginan kuat tersebut rupanya memberi dampak kepada tubuh.
Sakura menggeliat gelisah. Seperti ada sengatan diujung lidah Naruto sehingga ketika kulit-kulit tubuhnya dijelajahi memberi dampak yang luar biasa.
Puncak kenikmatan itu sudah bersiap akan keluar kapan saja. Niat utama Naruto berhasil dilaksanakan, yang membuat bibir ranum Sakura enggan berhenti mendesahkan namanya dengan suara kecil.
Hanya Sakura seorang yang sudi Naruto nikmati dengan lidah miliknya, bahkan yang dulunya tidak pernah menginginkan seseorang kini telah membuat dirinya menggila karena terlampau mengingikan seseorang hingga jadi membutuhkan.
Naruto selalu dan selalu membutuhkan Sakura. Setiap saat, kapan saja dan dimana saja. Inilah hasil dari kebersamaan mereka selama ini.
Desisan geram lepas dari belah bibir merah itu. Melihat Sakura yang lemah tak berdaya seakan menelan obat perangsang sebanyak mungkin, membuat birahi Naruto semakin meraja lela menguasai diri.
Naruto tak pernah tahu akan segila ini ketika menginginkan seseorang. Dirinya memang menginginkan Sakura, atau bahkan lebih dari menginginkan. Perasaan itu tidak bisa diumbar melalui kata-kata, maka dari itu Naruto cukup memendamnya dan Sakura cukup merasakan dalam hati.
Hanya melalui ikatan cara mereka saling mengerti akan perasaan satu sama lain.
x X x
Terasa berat melepaskan, namun mau bagaimana lagi. Sekeras apapun berusaha Naruto sadar dirinya tak pantas berlaku seperti itu, karena sebagai mahluk hidup mereka juga memerlukan uang, untuk hidup panjang dengan uang yang berlimpah maka harus bekerja keras.
Seperti dirinya sendiri. Untuk selalu mencukupi kebutuhan Sakura maka ia harus bekerja keras, terlebih lagi jika nanti sudah punya momongan.
Naruto ingin sekali secepat mungkin mendapatkan Bayi.
"Kalau cuti panjang, giliran kalian menginap di tempat kami." Kushina menyentuh pipi Sakura. Mereka berdiri disebelah Naruto. "Jangan lupakan itu sayang... ini janji kita." Ia tak ingin keduanya sampai gagal melakukan hal sebaliknya setelah yang dilakukan untuk mereka.
Sakura nyengir. "Akan aku pastikan Ibu, benar 'kan Anata?"
Anggunakn dari kepala pirang menjadi jawaban tanpa kata. Ada kalimat lain yang Naruto simpan, untuk mengutarakannya ia perlu menggandeng tangan Kushina lalu membawanya mendekat kepada Minato.
Sakura diam sembari terus menyaksikan. Naruto ingin melalukan sesuatu kepada mereka.
"Tetaplah seperti ini sampai kapapun." Pria itu menautkan tangan kedua orang tua yang disayangi olehnya. "...jangan pernah berubah." Ia tersenyum tulus menggunakan hati dan perasaan.
Kushina menyentuh pipi Naruto. "Maafkan kami." Ucapnya. Ia sadar sekali telah melakukan kesalahan fatal, dan sekarang sudah waktunya untuk memperbaiki diri.
Minato menepuk pundak Naruto. "Sebagai lelaki beruntung sudah sepantasnya kau menjaga Istrimu." Sang Putra mengangguk dengan penuh semangat, tanda bahwa ia memang harus menjaga Istri merah mudanya.
"Istrimu yang memberikan alamat rumah ini kepada kami."
Bukan pebuatan baik menyembunyikan kebenaran, alasan Kushina mengungkap apa yang membuat pikiran Naruto terbebani semenjak kedatangan mereka.
Sontak saja, pernyataan Kushina telah membuat Naruto terpaku.
Jadi wanita itu tidak menyerah?
Kepala pirang itu menoleh ke arah sang Istri, membuat dia yang ada disana menyerngitkan jidat lebar itu karena heran mendapat tatapan bercampur aduk.
Ada tatapan kesal, merasa tertipu dan terimakasih.
Sakura melangkahkan kaki ke tempat mereka berada. "Ada apa, Naru?" Ia penasaran dengan tatapan beragam itu.
Naruto tak berkata apa-apa, hanya menarik tangan Sakura dengan lembut hingga membawanya berhadapan dengan mereka.
"Aku mencintai kalian.. Ayah, Ibu dan Sakura." Pelukan erat terjadi.
Usai mengutarakan perasaan segera Naruto memeluk Minato dan Kushina secara bersamaan. Ia berharap kenyataan ini akan terus berlangsung sampai kapanpun.
Sangat membahagiakan memiliki keluarga yang utuh. Sekarang baru Kushina sadari bahwa hidup di dunia sangat membutuhkan keluarga, terutama Suami dan anak.
Masa lalu akan menjadi masa lalu, saatnya meniti kehidupan baru dengan cinta dan kasih sayang. Keputusan tepat yang dipilih oleh Kushina.
Kepada Minato tak perlu dipertanyaan lagi. Sejak lama dia menginginkan keutuhan dalam keluarga mereka, hanya saja terlalu banyak diam karena sadar Kushina sangat membenci dirinya.
Kebencian itu hanya ada di masa lalu mereka. Sekarang semuanya sudah berubah berkat bantuan Sakura yang menyadarkan mereka, lalu kerapuhan Naruto tertanda membutuhkan mereka berdua untuk selalu ada.
Hari ini semuanya akan dimulai dari awal.
Lembaran baru siap terbuka untuk mereka.
Kushina mengeratkan genggaman pada tangan Minato. "...tidak terlalu buruk." Akting yang membawa mereka pada sebuah keseriusan. Ibarat syuting lalu jatuh cinta dalam satu lokasi.
"Bagaimana?" Minato bertanya untuk memastikan. Ia butuh kepastian dari Kushina.
"Bisa kita lakukan ini seterusnya?"
Lelaki setengah baya itu terkekeh- bentuk dari rasa bahagia. "...tentu saja." Ia menyetujui keinginan sang Istri.
Naruto membungkukan badan untuk menyaman tinggi badan mereka. "Kau menipuku." Bisiknya. Ia masih menjaga suara sebab Kushina dan Minato masih disini.
Sakura melirik Naruto yang berdiri disebelahnya. "Penipuan yang membawa kita pada kebahagiaan." Senyum lebar ia kerahkan untuk sang Suami.
Tentu saja Sakura sadar adanya perubahan dalam hubungan kedua orang tua Naruto.
x X x
TING TONG!
Dengan cepat Naruto mencekal pergelangan tangan Sakura. Menghentikan niat sang Istri yang hendak beranjak dari pangkuannya.
Beberapa kali menyerahkan pangkuan, pada akhirnya membuat Sakura terbiasa duduk berpangku dengan Naruto. Asalkan duduk bersama selalu pangkuan Naruto yang Sakura inginkan.
"Biarkan saja." Untuk saat ini Naruto ingin berduaan dengan Sakura. Abaikan semua biarpun kedatangan tamu.
"Tidak bisa seperti itu."
"Dibisakan saja." Naruto menarik Sakura hingga kembali terduduk, lantas ia menyelipkan hidung dilekukan lehernya.
Sakura tertawa karena rasa geli ketika mendapat kecupan genit. Sebelumnya ia tak pernah tahu Naruto bisa segenit ini.
TING TONG!
Sayangnya, si penyentuh bel tak langsung menyerah. Berkali-kali menekan bel agar orang di dalam segera membuka pintu, sementara memberi kesempatan kepada dirinya untuk bertemu dengan dia.
Naruto Namikaze yang sangat di inginkan.
"Anata, sepertinya tamu penting." Sakura beranjak dengan mengabaikan Naruto. Tampaknya ada sesuatu yang mendesak sehingga orang di luar sana memaksa masuk.
Wanita itu melangkahkan kaki- meninggalkan Naruto untuk membuka pintu. Suara bel dari luar sangat mengganggu pendengaran, yang membuat hatinya terbuka untuk menerima tamu.
Jika itu Naruto, sekali kata dia tidak maka tetap tidak. Pendirian yang tegas dan keras, sudah menjadi tugas Sakura membenarkan sifat-sifat salah Naruto. Tegas boleh namun perlu melihat-lihat keadaan, dan mengabaikan tamu adalah sikap buruk yang perlu diubah.
Ceklek.
Dahi lebar itu menyerngit tanda heran kala mendapati seorang wanita blonde berdiri gelisah di depan pintu. "Siapa?"
Kepala pirang itu menadah setelah tadi sempat menunduk, dan seketika mempertemukan pandangan mata mereka.
Keduanya memiliki ukuran tinggi badan yang berbeda tipis. Sedikit lebih tinggi si perempuan asing.
Bibir tipis itu melengkungkan segaris senyum tipis- bentuk dari sikap sopan. "Ino Yamanaka."
"Mencari siapa?"
Kini senyum Ino bertambah lebar. "...kekasihku, Naruto Namikaze."
Kontan saja, kedua mata bulat Sakura melebar sempurna mendapat pernyataan telak yang menusuk hati. Mulut itu telah dengan santai menuai kalimat tajam- setajam ujung pedang.

TO BE CONTINUE...

Day by Day by Hikari Cherry Blossom24Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang