Pengakuan Ino

3.2K 141 1
                                    

Tsunade memejamkan mata lalu menghembuskan nafas sebelum berkata. "Seseorang menginginkan kematian Naruto."
Sakura dan Kushina terkejut. Mata bulat mereka terbuka lebar karena pernyataan Tsunade tadi.
"Sejak awal aku sudah mengawasinya." Tsunade menerangkan cerita yang sebenarnya sambil terbayang. "...pasca pemilihan CEO paling berprestasi di tahun lalu, dari sanalah awal timbulnya dendam dalam hati mereka."
"Bibi tahu pelakunya?"
Tsunade menatap Kushina. Anak dari kakaknya itu tampak cemas, sama dengan Sakura. "Aku tidak tahu. Saat itu aku tanpa sengaja mendengar pembicaraan seseorang, aku ingin mengetahui orang itu tapi dia sudah pergi duluan naik mobil. Kalau saja aku tidak terjebak dalam keramaian, bahaya pasti tidak mengintai Naruto karena akan langsung aku selesaikan waktu itu juga. Naas sekali." Ia selalu menyesali akan kesalahan tersebut. Akibat kurang cepat.
Sakura menundukan kepala. "Bagaimana bisa selama ini aku tidak menyadari bahaya itu. Aku lengah." Gumamnya lalu menggigit bibir. Harusnya ia dapat merasakan situasi buruk.
Kushina mengelus lembut punggung Sakura. "Jangan permasalahkan soal itu, yang penting Naruto baik-baik saja sayang." Senyumnya merekah. "...tidak ada lagi yang perlu dicemaskan." Akhirnya ia dapat bernafas lega setelah melalui hari-hari buruk. Beruntung Naruto baik-baik saja meski sebelumnya nyaris mati.
"Inilah alasan aku menyembunyikan Naruto dengan cara menghilangkan jasadnya. Mereka berpikir Naruto sudah mati, mereka pasti lengah, disaat waktu lemahnya itulah kesempatan terbesar untuk mengungkap pelakunya."
Penjelasan Tsunade detail sehingga mudah untuk dimengerti oleh Sakura yang mendengarkan bersama Kushina.
"Tapi bagaimana cara mengungkap pelakunya kalau tidak tahu orangnya?" Kushina bertanya, Sakura sendiri masih terlena menyalahkan diri karena lalai dalam melindungi Suami nya.
Bibir pink Tsunade yang mengkilap membentuk seulas senyum tipis. "Semua keperluannya sudah aku siapkan, termasuk memasang CCTV disetiap tempat." Si pirang bodoh itu kurang teliti kalau dalam berjaga. Dia tak sadar mempunyai sifat angkuh serta bermulut pedas, ditambah lagi dengan jabatan paling tinggi. Harusnya anak itu sadar jikalau bahaya senantiasa mengintai dirinya.
Dia selalu lengah. Begitulah Naruto Namikaze yang selalu merasa paling benar sendiri, tapi sekarang lihatlah hasilnya. Dia sudah hampir mati kalau tidak diberi perlindungan sejak lama.
"Jadi untuk saat ini Naruto belum boleh keluar?"
Tatapan wanita pirang nan awet muda itu beralih pada Sakura. "...ini tidak akan lama. Sebentar lagi kabar baik akan terdengar, kita percayakan saja semua masalah ini kepada Nagato dari agen FBI. Aku percaya dia pasti bisa menuntaskannya setelah perjuangan keras kami selama ini." Sungguh, ia tak ingin dibuat kecewa dengan datangnya kabar buruk dari Nagato. Pasti kabar baik. Pasti!
Mengenai Nagato. Dia tidak tahu apa-apa tentang Naruto.
Sakura menaikan pandangan. Menatap Tsunade lalu tersenyum getir. "Terimakasih atas bantuan Anda kepada Naruto. Aku akan pasti akan membalas kebaikan Anda suatu hari nanti."
Kushina tersenyum bahagia mendengar pernyataan Sakura.
Tsunade terkekeh kecil lalu menjawab. "...sudah menjadi tugasku melindungi keluarga. Aku tak ingin kehilangan salah satu diantara mereka lagi. Cukup kakakku saja." Ibu Kushina kakak yang ia sayangi, alasan ia melindungi Naruto mati-matian dari bahaya yang mengintai anak pirang itu.
Sang kakak segalanya bagi Tsunade, termasuk Kushina maupun Naruto. Ia sayang kepada mereka berdua.
x X x
Duduk manis di tepi ranjang menikmati sebagaimana rupawannya paras sang Suami, suatu pekerjaan yang saat ini dilakukan oleh Sakura. Hasilnya cukup mengobati kerinduan dalam hati setelah berhari-hari tidak bertemu, walau hanya secuil yang dapat terkurangi.
Sekian menit mendiamkan tangan, Sakura kembali menggerakannya dengan memusut rambut pirang Naruto. Membelai-belainya dengan penuh kelembutan.
"Anata, aku sangat merindukanmu."
Rindu senyumnya, tatapan dan pelukan. Semua yang sering mereka lakukan ingin Sakura ulang kembali. Tak bisa dijelaskan serindu apa dirinya kepada Naruto. Baru beberapa hari, tapi rasanya seperti puluhan tahun. Menyiksa sekali.
Tes. Tes.
Bunyi gemersik di atas atap berarti menandakan di luar sana sedang turun hujan. Sakura memutar leher- menatap pada dinding kaca. Dan benar saja, saat ini hujan memang turun.
Pemilik netra hijau cerah itu beranjak meninggalkan tempatnya tadi. Melangkahkan kaki pada dinding kaca, di mana saat ini aliran deras dari air hujan mengalir dibalik dinding kaca aliminium tersebut.
Mengenai hujan pada malam ini kembali mengingatkan Sakura pada beberapa kenangan tentang mereka. Saat itu ia berhujan-junan di jalan raya setelah mempermalukan Uchiha, berjalan pulang tanpa peduli hujan, hingga ketika sampai di rumah ia ambruk dan segera disambut oleh Naruto.
Hujan yang mendekatkan mereka, semakin dekat dan terus dekat hingga berakhir dengan keadaan yang saling mencintai satu sama lain. Hujan adalah berkah bagi Sakura.
Kalau sedang hujan malam Naruto tidak ingin sampai melewatkannya, apalagi kalau hujan sampai pagi. Lelaki itu pasti menarik Sakura masuk ke kamar, menelanjangi Istri nya itu lalu melemparnya di atas ranjang. Sering kali terjadi.
Sesudah puas bercumbu, tentunya tidak langsung berakhir. Naruto harus mendekap Sakura erat-erat, berceloteh panjang dan lebar, menceritakan masa lalu sampai terlelap dalam gumulan selimut tebal.
Berkali-kali hujan, berkali-kali pula Naruto melakukan hal yang sama. Mendekap Istri nya dari hujan mulai turun hingga pagi menjelang. Bila di pagi hari masih hujan, maka tiada kisah pergi ke kantor. Naruto memilih menetapkan diri di rumah bersama Sakura. Berduaan saja sambil menikmati cuaca sejuk diiringi kecupan mesra disetiap detiknya.
Naruto tidak pernah melewatkan hujan. Sakura ingat benar watak Suami nya itu. Dia bilang hujan itu langka, nyaman dan yang pasti menambah kesan nikmat dalam keromantisan mereka.
Mengingat semua itu mau tak mau membuat Sakura tersenyum setelah lama ia kulum. Ia mengangkat tangan lalu meletakan telapaknya pada dinding kaca, seolah menyentuh air secara langsung padahal dari balik kaca.
Wanita itu bergidik.
"...dingin."
Dia memusut lembut dinding tersebut. Terus memusut, hingga tiba-tiba punggung tangannya mendapat sentuhan dari tangan hangat yang lain. Ia tersentak kemudian tertegun.
Pria itu merundukan kepala. Menepatkan bibir pada telinga Sakura. "Maaf." Bisiknya selembut mungkin. Ia tahu benar ia bersalah, alasannya mengucapkan maaf terhadap sang Istri.
Dalam kaca transparan itu dapat Sakura lihat pantulan bayangan Naruto. Sang Suami berdiri di belakangnya dengan wajah bertekuk sedih serta menatapnya penuh kerinduan.
"Naruto..."
Lelaki itu tidak tahu seberapa rindu Sakura kepada dirinya, tapi cukup tahu bahwa ia sangat dirindukan oleh perempuan itu. Ia pun begitu. Rindu setengah mati.
Perempuan itu membalik tubuh ringkihnya ke hadapan Naruto. Menatap Suami pirangnya dengan mata memerah karena tangis yang tertahan.
Tangan Naruto bergerak ke atas, lalu berakhir dengan menyentuh pipi putih Sakura. Ia tangkup dengan penuh cinta. "Maaf atas kepergianku."
Sakura marah. Ia kesal lalu memukul-mukul dada telanjang Naruto dengan kepalan tinju. Terus ia lakukan sambil menangis hingga tersedu-sedu.
"Tahu 'kah kau seberapa menderitanya aku tanpa dirimu hiks hiks."
Naruto pasrah menerika pukulan bertubi di dada. Pukulan itu tidak kuat, namun ia kesakitan dibuatnya. Sakit yang berasal dari dalam. Hatinya terluka parah melihat wanita yang paling ia cintai menangis tak berdaya seperti itu. Wanitanya rapuh sekali.
Rambut soft pink Sakura dibelai-belai lembut, tak peduli dadanya terus dipukuli, Naruto tetap menyayangi sang Istri setelah sekian lama berpisah tanpa kabar.
Sekian detik memukuli Naruto, Sakura yang merasa kesal bercampur lega segera menghamburkan diri dalam pelukan lelaki itu. Ia memeluk erat punggung lebar sang Suami sembari menenggelamkan wajah di dada hangatnya.
"Baka. Selama kau pergi ada banyak masalah yang aku hadapi." Senyum bahagia melukis wajah rupawan Naruto mendengar Sakura langsung berceloteh. "...tapi ada juga yang terselesaikan."
"..."
Kepala pink Sakura menjauh dari dada Naruto. Menadah untuk kembali menatap wajah Suami nya. "Shion bukan anakmu. Ino berbohong dengan memalsukan hasil test DNA."
Naruto menutup mata lalu menghela nafas lega. Akhirnya. Akhirnya malasah Ino selesai, tinggal masalah dirinya yang masih dalam masa pengincaran. Ia akan dilenyapkan bila tidak mengevakuasi diri.
Jika berhadapan secara langsung, Naruto tidak akan segan melawan tantangan mereka, sayangnya ia tak bisa berbuat apa-apa selain bersembunyi karena cara mereka menantang sangatlah kekanakan. Bermain dibelakang.
Kali ini Naruto tidak tinggal diam. Sakura memeluknya erat, dan ia membalasnya sepenuh hati. Mengelus rambut pingkish itu, turun ke leher hingga punggung. Mengusap lembut punggung ramping itu.
Sakura sendiri amat menikmati pelukan mereka. Ia memejamkan kedua mata sembari menyesap wangi khas sang Suami yang ia rindukan. Ia bersyukur Naruto nya baik-baik saja.
x X x
Shiro meneguk ludah dengan berat.
Menyeramkan , satu kata yang terlintas dalam benaknya setelah berhadapan secara langsung dengan pembunuh bayaran yang bernama Kakuzu.
Pria bertubuh tinggi nan kekar itu mendekati di mana tempat Shiro berdiri tegap menunggunya. Ia was-was dalam melangkah, takut jikalau ada yang melihat lalu melaporkannya kepada polisi mengingat dirinya tercantum jelas dalam daftar buronan.
Kakuzu menyodorkan tangan di hadapan Shiro. "Kakuzu..." Ia memperkenalkan diri.
Dengan segera Shiro menyambut salam jabat tangan tersebut. "Shiro." Balasnya dingin.
"Jadi..." Setelah menarik kembali tangannya, Kakuzu menyimpannya dalam saku mantel. "Apa yang harus aku lakukan kepada Tuan Amikichi?" Langsung pada intinya. Ia tak ingin membuang-buang waktu. Ia benci bertele-tele.
Shiro merogoh saku di dalam jas. Mengeluarkan selembar foto dari sana. "Aku ingin orang ini lenyap." Ia menyerahkan foto tersebut kepada Kakuzu, orang yang pura-pura ingin ia lenyapkan.
Kakuzu mencermati rupa Choza. Tubuh gembul, perut buncit bermata sipit. "Hmm..." Ia seperti mengenal orang di foto itu.
Tangan Shiro mendekat pada letak pinggang. Berancang-ancang mempersiapkan senjata, pasalnya ia menyadari benar gelagat tak nyaman dari Kakuzu. Ada yang dicurigai.
"Shit!"
Kakuzu mengumpat dalam batin.
Klak!
Sayangnya Shiro terlambat bergerak. Kakuzu lebih gesit mengeluarkan senjata bawaan dan langsung menodongkan laras senjata api tepat di kepala Shiro, membuatnya mati kutu. Tak lagi bergerak dengan tangan sudah menyentuh gagang pistol, nyaris berhasil dikeluarkan.
"Brengsek. Kau menipuku." Kakuzu murka tidak terima. Ia benci ditipu.
Shiro berkeringat dingin. "Apa maksudmu menipu?"
Kakuzu mendecih muak. "Jangan pikir aku bodoh. Choza Amakichi kenalan Hyuga, aku tahu benar seluk beluk si Amikichi termasuk kedekatan kalian. Hiashi Hyuga sudah menceritakan semuanya padaku." Bodohnya, ia baru ingat semua kebenaran itu melalui foto. Perawakan Choza membuatnya ingat kembali pada cerita Hiashi pada waktu itu. Ia lupa akibat tidak mencermati obrolan.
"Jadi kau suruhan Hyuga."
"Aku suruhan siapa saja." Shiro membuka langkah. "Tetap di tempatmu! Atau kutembak kau!" Sebisa mungkin Kakuzu menahan diri agar tidak langsung menyerang Shiro. Ia tak ingin mengundang perhatian orang-orang disekitar tempat ini dengan melepas satu tembakan yang menyebabkan suara ledakan menggema.
"Jadi benar, Hyuga dalang dari kematian Naruto Namikaze..." Shiro sama sekali tidak tahu, ia asal menebak dan menuding karena hanya Hyuga yang disebut oleh Kakuzu. "Kalian melakukan pelenyapan terhadap pengusaha muda itu."
Kakuzu berdesis. Orang itu. Dia benar-benar.
DORR!
Shiro tersungkur. "Arrgghh..." Lalu merintih panjang.
Kesempatan itu tidak dilewatkan oleh Kakuzu. Secepat mungkin ia melarikan diri sesudah menembak sisi perut Shiro. Ia melompat di atas atap-atap rumah dengan tergesa, namun sialnya baru melewati beberapa rumah ia dihadang oleh polisi berseragam lengkap. Untungnya cuma satu orang. Mudah saja.
Mengurungkan niat menuju ke arah jam dua belas, pria itu lekas memutar arah ke kanan. Dengan mudahnya melompat dari ketinggian beberapa meter, lalu sukses mendarat di atas gembes milik kedai yang sudah tutup.
Brukhh!
Bunyi derap dari tempat tumpukan kotak-kotak buah mengejutkan Nagato yang saat itu sedang berjaga seorang diri. Ia lekas menolehkan kepala ke asal suara tersebut, lantas semakin terkejut pula begitu mendapati sosok yang sejak lama diburu.
Kakuzu mematung sesaat. "Sial." Umpatnya, kemudian bergegas melarikan diri dari hadapan Nagato.
Tentu saja komandan muda itu tidak tinggal diam melihat sang target lari. Secepat mungkin ia memacu langkah. Berusaha menandingi lari Kakuzu dari belakang.
Keduanya berlari-larian di area pasar kosong, mengingat ini sudah terlalu malam untuk buka. Lompatan mereka saling bergilir. Kakuzu lihai dan cepat, Nagato kewalahan menangkapnya. Padahal sudah berbekal senjata, namun ia kekeh menolak mempergunakannya karena ingin menangkap Kakuzu hidup-hidup.
Di sisi lain, Yahiko bersama rekan-rekan lainnya datang menghampiri Shiro, kemudian ia segera memangku kepala jabrik pria itu setengah baya itu di lengan. "Tuan, apa Anda baik-baik saja?"
Shiro tertawa sambil terbatuk pelan. "Ya, aku baik-baik saja." Balasnya kemudian memaksa bangun. Berusaha duduk dengan bantuan Yahiko. "Meskipun terlindungi baju baja, tapi rasanya sakit juga saat peluru itu menghantam pinggangku." Ia kesulitan bernafas. Dadanya sesak karena mendapat tembakan telak.
Lelaki orange itu menghela nafas lega. "Untunglah dia menembak Anda di perut, bisa berbahaya kalau tembakannya beralih ke kepala."
Shiro mengangguk kecil. "Kau benar... artinya hidupku masih harus ditempuh sejauh mungkin." Yahiko menyerahkan sebotol air yang dibawakan oleh Konan, dan langsung ia terima tanpa keraguan.
GLEK.
"Orang itu menyeramkan." Pemimpin Aburame itu menutup kembali bibir botol setelah beberapa kali meneguk isinya. "...besar dan tinggi seperti raksasa."
Yahiko menerima handuk kecil pemberian Konan, lalu ia serahkan kepada Shiro yang membutuhkan. Dia berkeringat akibat menahan sesak setelah terkena tembakan bertenaga kuat.
"Semenyeramkan itu 'kah?" Yahiko bertanya-tanya. "...aku tak pernah bertemu dengan orang itu. Urusannya dengan Pak Nagato."
Shiro menatap pada Yahiko. "Kau akan tahu nanti." Setelah itu ia membuka jas, disusul kemeja blaster sebagai dalaman. Hendak Membongkar rompi baja yang melindungi tubuhnya dari peluru mematikan. Beratnya berkilo-kilo gram.
Beberapa menit berlangsung, bagian team medis datang ke tempat Shiro duduk. Salah satu perawat sesegera mungkin membongkar isi tas, yang satu lagi memeriksankeadaan sang pasien.
Untungnya lelaki itu memang dalam keadaan kondisi baik meski sempat tertembak. Walau menggunakan pelindung tetap sakit, yang jelas ngilu pada bagian tulang rusuk.
Sedikit lagi. Nagato nyaris berhasil mecapai Kakuzu. Tinggal beberapa jengkal, setelah itu ia pastikan Kakuzu akan berakhir di tangannya.
"Arghh... sial!"
BRUKH!
Nagato geram. Sangking geramnya ia reflek bergerak sendiri, menerjang punggung kekar Kakuzu sampai jatuh tersungkur di jalan setapak tempat mereka kejar-kejaran.
Kakuzu bergerak cepat membalik badan ke atas. Nagato sempat lengah, ia pun menggunakan kesempatan itu dengan cara menjegal kaki Nagato hingga berhasil menjatuhkan komandan muda itu dalam sekali serangan.
Kesempatan ini tak dilewatkan oleh Kakuzu. Ia berdiri di atas Nagato terbaring dengan seringai menyeramkan di wajah. Pandangan Nagato berkunang-kunang akibat kepalanya membentur batu waktu jatuh. Ia nyaris tidak sadarkan diri.
Laras senjata api ditodongkan ke wajah pucat Nagato. Kakuzu menarik pelatuk bersiap menembak kepala merah bocah Uzumaki itu. Berniat membunuhnya karena ia merasa terancam selama Nagato hidup. Anak itu harus mati.
Klak.
"Matilah kau, Uzumaki."
Nagato mengerjap-ngerjapkan mata berusaha mengembalikan kesadaran, namun sial. Ia tak kunjung normal kembali. Belakang kepalanya membentur batu sangat keras tadi, ada rasa basah dan panas yang mengartikan keluar darah.
Kakuzu mulai melepas tembakan. "Selamat tinggal, anak muda." Seringainya bertambah lebar.
BUKH!
"Ugh."
Seseorang menghantam tengkuk Kakuzu menggunakan tongkat baseball. Dilakukan sekuat mungkin agar orang itu pingsan di tempat.
Brukhh!
Kakuzu jatuh tak berdaya disamping Nagato.
"Kheh." Kiba Inuzuka mengusap hidung sembari tersenyum sombong. "...aku memang seorang pembunuh, tapi aku paling tidak tega menyaksikan orang membunuh orang di depan mataku. Terlalu kejam."
Nagato memejamkan mata lalu menghela nafas lega. "Aku selamat." Katanya penuh syukur. Ia takut sekali tadi saat hendak dilenyapkan.
x X x
Kerumunan manusia yang diduga para wartawan tengah berbondong-bondong menyuting yang sedang terjadi. Wajah datar Hiashi Hyuga terekam jelas dalam kamera, si penyebab kecelakaan yang dialami oleh Naruto Namikaze.
Hiashi pelaku dari kejahatan. Bukan tuduhan semata, namun ini fakta. Banyak bukti-bukti kuat yang menyudutkan Hiashi dan Kakuzu. Berita ini menjadi trending diseluruh dunia sejak beberapa hari yang lalu, tepatnya sudah berhari-hari berlalu dan hingga hari ini berita heboh itu tak kunjung reda. Justru bertambah heboh sekarang.
Malu setengah mati, satu penyakit yang Hiashi derita. Rasa malu yang akan ia tanggung hingga mati sekalipun. Nama baiknya tercoreng, sialnya corengan itu tak dapat dihapus lagi layaknya spidol permanen.
Seumur hidup Hiashi akan menanggung malu. Dikucilkan, dipenjara lalu dilenyapkan seperti hewan. Sudah menjadi hukum pidana menghukum mati orang yang telah melakukan pembunuhan berencana.
Hiashi akan mati sia-sia, dan nama Kakuzu akan segera diberi garis hitam dari daftar buronan dunia. Mereka yang bekerja sama akan berakhir mengenaskan dengan mati bersama.
Pemimpin keluarga besar Hyuga itu menatap pada lensa kamera dengan penuh dendam. Mereka menjengkelkan, terlalu memaksa untuk mendapatkan gambar wajahnya. Senang sekali membuatnya malu tak tanggung-tanggung menjelang hari kematian tiba.
Hiashi Hyuga merupakan dalang dari pelenyapan Naruto Namikaze. Beliau menyewa Kakuzu si pembunuh bay-
Klik!
Kepala merah itu menoleh kebelakang dengan cepat. "Kenapa dimatikan?" Protesnya.
Naruto melempar remote tak berdosa asal-asalan, tapi untungnya mendarat sempurna di meja. "Aku jenuh... kalian tak lelah-lelahnya nonton berita yang sama sejak kemarin. Ayolah Ibu, tidak ada yang berbeda dalam berita itu. Semua sama, hanya beda salurannya saja."
Kushina mengerucutkan bibir. "Mana tahu ada penjelasan lebih detail." Balasnya tanpa beranjak dari sofa. Duduk berkumpul bersama Tsunade dan Minato.
Pria yang paling muda itu menghela nafas. "Masalahnya sudah selesai, artinya aku sudah bisa muncul." Ia menyandarkan tengkuk disandaran sofa. "...aku ingin pulang."
Tsunade melirik keponakan pirangnya yang duduk didekatnya. "Sepertinya kau tidak betah berada di sini."
Naruto gelagapan. "Bu-bukan begitu Nek."
Wanita pirang itu mendengus. "Kau tak jujur pun aku sudah tahu."
"Ck. Apa salah kalau aku merindukan rumahku?"
"Kau lebih merindukan rumah daripada keluarga."
Mendapat jawaban telak tersebut membuat Naruto menghembuskan nafas dengan kasar. Minato terkekeh geli menyasikan kedua mahluk pirang itu tengah beradu argument.
"...bilang saja kau rindu kepada Sakura-Chan dan ingin bermesra-mesraan di rumah." Kushina menyilangkan tangan di bawah dada.
Tsunade menompang satu kaki di atas satu kaki lainnya. "Yare~ yare~, padahal sudah aku sediakan kamar khusus untuk kalian berdua. Tampaknya kau tak puas ya." Ia menggeleng kecil.
Bola mata Naruto berputar. "Terserah mau bilang apa, tapi sedikit banyaknya tuduhan kalian tidak meleset tidak pula tepat." Teh hangat yang tersaji di atas meja ia raih, lalu ia seduh sedikit. "Ahhh~, pagi yang indah." Gumamnnya seusai meneguk Teh hangat buatan Sakura.
Ya Sakura, di mana saat ini wanita itu tengah berkutat di dapur. Ingin menyediakan sarapan pagi untuk keluarga besar tanpa bantuan dari siapapun. Mereka yang paham menganggap keinginan tersebut sebuah idaman seorang wanita yang sedang mengandung.
Mereka tahu maka dari itu mengerti, tidak terkecuali Naruto. Paling-paling dibuat heran dengan sikap Sakura yang mendadak aneh.
Kemarin manja, hari ini masak sendiri. Besok apa lagi?
x X x
Ceklek.
Tsunade memasuki ruang inap itu bersama senyum lebar yang melukis wajah. Ia segera menghampiri Nagato yang kini tengah menatapnya sembari balas tersenyum.
"Ah, keponakanku sudah baikan ternyata."
"Bibi..." Nagato bangun lalu duduk.
Dari belakang Tsunade tampak kepala pirang menyembul dari luar sana. "Apa sudah bangun?" Naruto bertanya sebelum masuk.
"Seperti yang kau lihat."
Naruto ber-oh ria, kemudian langsung masuk usai mendapat kabar pasti tentang Nagato. Ia bertanya karena tidak ingin mengganggu apabila Nagato sedang Istirahat, terlebih setelah mendengar cerita sebagaimana kerasnya perjuangan sang Paman dalam melindungi dirinya.
"Hey, apa kabar?" Naruto mengusap tengkuk. Ia grogi.
Puk.
Nagato meraih pucuk kepala Naruto, membuat anak muda itu tertunduk secara paksa. "Kau semakin gagah saja ya." Ia tertawa riang sambil mengucak gemas rambut pirang itu.
Naruto tampak risih diperlakukan layaknya bocah. "Terimakasih."
Lelaki berambut merah itu berhenti mengucak rambut Naruto. "Untuk apa bilang terimakasih, 'kan faktanya kau itu gagah dan tampan. Pantas bukan digilai banyak wanita." Paparnya panjang lebar.
"Bukan itu..." Naruto melepaskan sentuhan dari tangan Nagato. Menjauhkan tangan kokoh itu dari pucuk kepalanya. "Kau dan Nenek sudah berjuang keras menyelamatkan hidupku... jika tanpa kalian aku pasti sudah mati. Terimakasih banyak."
"..." Nagato tertegun.
Sekian lama membenci keluarga sendiri, tampaknya sifat buruk Naruto perlahan mulai berubah. Dia tak segan lagi mendatangi mereka sekarang, jika dulu pasti dia akan melarikan diri kalau didatangi oleh keluarga karena tak sudi bertemu.
Terdiam selama beberapa detik, kemudian tawa geli lepas dari belah bibir Nagato. Ia merangkul Naruto lalu menepuk-nepuk bahu kokoh sang keponakan.
"Itu makanya Naruto, lain kali jangan suka berbicara kasar kepada orang... yang sopan." Nagato tahu benar sifat Naruto. Kepada keluarga saja dia kasar dan yang pasti blak-blakan, apalagi kalau kepada orang.
"Aku selalu sopan, hanya saja kalau berkomentar sesuai kenyataan yang aku katakan."
Nagato mendengus. "Kau terlalu jujur." Ia menarik tangan Naruto hingga berhasil mendudukan pria muda itu disebelahnya.
Tsunade yang tengah duduk tak jauh dari mereka tampak sibuk dengan pekerjan kecil. Mengupasi buah-buahan yang tersedia di meja. Wanita itu hanya mendengarkan obrolan mereka berdua.
"Ketahuilah Naruto... tak semua kejujuran baik, terkadang kejujuran malah akan menghancurkan segalanya. Begitu pula sebaliknya, kadang kala berbohong dapat menyelamatkan semua dan menggagalkan kehancuran yang akan terjadi."
Naruto menyimak penjelasan Nagato dengan seksama. Kedua mata sipitnya mengerjap-ngerjap. "Jadi aku harus berbohong?"
Kepala merah itu menggeleng kecil. "Tidak juga, cukup lihat situasi saja. Misalnya Nenek Tsunade kelihatan sudah tua, kalau kau bohong dengan menyatakan Nenek Tsunade masih muda dan cantik Nenek pasti senang."
Mendengar namanya dibawa-bawa membuat kedutan geram tercetak di kening Tsunade. Ia mencengkeram geram buah pear di tangan. Melampiaskan kekesalan terhadap buah tak berdosa.
Segera saja Naruto mengarahkan tatapan pada Tsunade. Menjelasi paras wanita itu, dan-
"Nenek, ada keriput di sudut matamu."
Nagato terbahak.
BLETAK!
"Ittai!" Naruto memusut kesal pucuk kepalanya yang baru saja dijitak secara telak. "...setidaknya dengarkan dulu." Ia menatap sebal pada sang Nenek. "Meskipun ada keriput di sudut mata tapi Nenek tetap kelihatan cantik dan seksi."
Tsunade terlanjur kesal sehingga tak lagi menggubris gombalan Naruto. Ia membuang wajah dengan angkuh. Malas berkata apa-apa.
"Hoo~ sudah berkumpul rupanya~"
Kepala merah milik Kushina menyembul dari balik pintu. Ia menyapa tiga orang di dalam sana dengan senyum lebar melukis wajah berserinya.
"...rambut merah yang namanya Nagato Uzumaki?"
Sakura berdiri dibelakang Kushina bersama Minato. Lantaran tidak begitu mengenal keluarga, maka iapun langsung bertanya sebelum masuk ke dalam sana menemui saudara sang Ibu mertua.
Minato menganggukan kepala jabriknya. "Ya, dialah Nagato... orang yang selama ini menjaga Suamimu." Jelasnya, membuat Sakura langsung paham.
Kushina melangkah ke dalam ruangan. "Ah, kakak Kushina." Nagato menyapa sambil memerkan cengir lebar tak berdosa padanya. Akhirnya keluarga besar mereka berkumpul lagi.
x X x
Sakura duduk dalam kesendirian di ujung jembatan lautan. Menjutaikan kaki di atas air sambil mengayun-ngayunkannya. Ia menatap hamparan laut sambil tersenyum bahagia, dan memejamkan kedua mata menikmati angin segar.
Di tengah kenyamanan itu, seseorang datang pada Sakura. Melangkah pelan dibelakangnya dengan anggota tubuh berbalut t-stirt warna
orange dengan bawahan celana jeans selutut abu-abu, sementara spansus yang juga abu-abu membungkus kaki mulusnya.
Berhenti sejenak untuk menarik nafas, setelah itu langkah Ino kembali berlanjut. "Hai." Sapanya begitu mendapat tempat duduk di sebelah kiri Sakura.
Mendapat sapaan ramah, Sakura pun menjawab. "Hai juga." Bersama senyum tulusnya.
Ino turut menjutaikan kaki. "Aku senang Naruto baik-baik saja." Sakura masih setia dengan senyumnya. "...kau tak tahu betapa gilanya aku saat mendengar kabar tentang kecelakaan waktu itu. Aku sempat mengalami depresi."
"Hanya itu?"
Kepala pirang Ino berputar arah. Menatap pada Sakura yang masih saja memandangi lautan.
"Kau menelfonku, mengajak bertemu di tempat ini dan semua yang kau lakukan hanya untuk mencurahkan perasaan? Kau ingin curhat padaku? Jadi kau butuh teman curhat?"
"..."
Akhirnya Sakura mau membalas tatapan dari Ino. "Tak masalah... aku siap mendengarkan." Imbuhnya lalu tersenyum dingin penuh arti.
"..."
Ino masih diam terpaku, hingga akhinya helaan nafas terdengar.
"Aku mengajakmu bertemu bukan untuk curhat, tetapi menyatakan kebenaran yang selama ini aku tutupi. Hanya kau dan aku yang akan tahu rahasia terbesar ini."
Yamanaka bungsu itu merogoh sling bag hitam bawaannya. Mengambil sesuatu dari dalam sana.
Sakura menantikan yang hendak Ino lakukan dalam diam. Cukup memerhatikan hingga kemudian barang yang dicari berhasil didapatkan, dan kini sedang dalam genggaman Ino.
Sebuah amplop bewarna coklat. Sakura menatap heran lembaran amplop tersebut, semakin bingung pula saat amplop itu diserahkan kepadanya.
"Apa itu?" Sakura belum mau menerima.
Sebelum menjawab, Ino sempat menelan ludah lebih dulu. "...kau akan tahu setelah membuka lalu membaca isinya."
Pernyataan Ino membuat Sakura penasaran, hingga mau menerima amplop berisikan surat itu. Polos. Tidak ada apa-apa di luar kertas coklat tersebut.
Sakura tidak ragu langsung membuka amplop tersebut, karena ia ingin tahu kebenaran yang dimaksud oleh Ino ada di dalamnya. Amplop hanyalah pembungkus semata. Usai mengeluarkan isi di dalam amplop, ia pun lekas membuka lipatan kertas putih di tangan.
Ino menghela nafas menunggu reaksi Sakura setelah membaca surat darinya. Ia menadahkan kepala menatap hamparan langit cerah di atas sana, dan memejamkan mata sejenak menikmati semilir angin dari lautan luas.
"!"
Sakura terkejut. Benar-benar terkejut. Itu bukan surat biasa melainkan surat luar biasa.
"A-apa maksudnya ini?"
Surat Keterangan Keguguran

TO BE CONTINUE...

Day by Day by Hikari Cherry Blossom24Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang