Hewan bersayap itu merayapi tangan Naruto. Sialnya, seolah punya pikiran serangga menjijikan tersebut menatap ke si pemilik tangan, lantas menyeringai seram.
Mata Naruto berkilat, seolah mendapat sambaran petir di siang bolong dengan cuaca cerah.
"GYAAAAAAAHH!"
Kontan saja, kemunculan kecoa dari kotak yang Gaara kirim membuat Naruto berteriak histeris. Ia menepis serangga jahat itu sekuat mungkin hingga berhasil membuatnya enyah.
Cara kecoa itu terbang membuat Naruto merinding geli.
Tep.
Sang kecoa berpindah tempat, awalnya dari tangan Naruto kini hinggap di dahi Sakura. Sontak saja membuat kedua emerald tersebut menatap ke arah kening.
Bola mata milik Sakura berkumpul di tengah. Fokus pada satu titik.
Sementara itu, setelah berhasil lolos Naruto segera melompat naik ke sofa. Menyembunyikan diri disana dengan wajah pucat.
"SERANGGA MENJIJIKAN!" Makian lantang terlontar untuk sang kecoa— bersama telunjuk yang mengacung ke arah Sakura.
Sakura tidak histeris, justru berani menyentuh kecoa yang hinggap dipermukaan jidatnya yang lebar. "Ini hanya kecoa, kenapa sampai seheboh itu..." Ia menentengnya dengan tangan, memperlihatkan kepada Naruto bahwa hewan itu sama sekali tidak berbahaya.
"BUANG!" Kini telunjuk Naruto mengarah pada kecoa yang tengah dipegang oleh Sakura. "CEPAT BUANG JAUH-JAUH!"
"Kau takut dengan kecoa?" Pipi Sakura menggembung karena tawa yang tertahan. Kelakuan Naruto mengocok perutnya.
"MENJAUH!" Lelaki itu heboh sendiri ketika melihat Sakura melangkah ke arahnya. Tubuhnya merinding karena rasa geli terhadap hewan bersayap itu. Ia benci dengan kecoa, apalagi kalau terbang. "GAARA, SETELAH INI KUPASTIKAN KAU MATI DI TANGANKU!" Ia tahu Gaara pelaku yang sengaja mengirim kecoa itu bersama jam tangan.
Sakura menghentikan langkah ketika mendapat peringatan keras. Telunjuk panjang itu mengarah padanya agar diam di tempat.
"K-kumohon, buang kecoa itu." Naruto memelas, tak lagi membahanakan suara seperti tadi. Keberanian sang Istri sedikit membuatnya lega. Setidaknya ada yang sudi menolong ia terbebas dari hewan bersayap itu.
"Okay okay..." Sakura memenuhi keinginan Naruto sembari tertawa geli. Ia langsung berjalan menuju pintu.
"Buang ke tengah jalan dan biarkan mobil melindasnya sampai gepeng. Pokoknya serangga itu tidak boleh lagi terlihat disekitar rumah!"
Naruto merinding. Bisa-bisanya Sakura tahan menyentuh kecoa, sedangkan dirinya sangat anti dengan serangga menyeramkan itu.
Hilangnya sosok Sakura membuat Naruto penasaran, lalu ia turun dari sofa untuk melihat dan memastikan. Ia hanya berani menyembulkan kepala dari balik pintu, dan membuatnya menghela nafas lega setelah melihat Sakura kembali.
Wanita itu benar-benar membuangnya ke jalanan.
Biarkan serangga itu digilas mobil. Itu akibatnya bila menakuti orang dengan wajah menyeringai seram.
"Bagaimana? Sudah kau buang jauh-jauh?" Naruto ingin memastikan. Gelagat Sakura membuat ia was-was.
Alih-alih menjawab, justru bibir mungil itu mengulum senyum. Kedua tangan miliknya setia bersembunyi dibelakang badan.
"KECOA!"
Reflek, Naruto melompat karena kejutan dari Sakura. Untuk berlindung ia menggunakan belakang tubuh sang Istri, cara menghindari serangga yang tadi di lemparkan ke arahnya.
Sakura nyengir dengan wajah tak berdosa begitu ia berbalik menghadap ke arah Naruto. "Bercanda, hehehehe..."
Kembali Naruto menghela nafas lega. Kali ini benar-benar lega dari sebelumnya. "Tidak lucu." Gerutunya kesal.
"Kecoa tidak menggigit, lalu apa yang kau takutkan dari kecoa?" Wanita itu mengajukan pertanyaan.
Hal paling lucu yang pernah terjadi ialah ketika melihat seorang pria tampan, tinggi dan bertubuh seksi sangat takut dengan kecoa.
Baru kali ini Sakura menemukan pria gagah takut kepada serangga yang berjenis kecoa. Sulit baginya untuk menghentikan tawa bila mengingat wajah horror Naruto pada saat melihat kecoa.
"Geli, kalau terbang terlihat menyeramkan. Lebih menyeramkan daripada hantu." Naruto bergidik.
"...tidak seram sama sekali." Sakura hendak menyentuh tangan Naruto untuk mengajaknya masuk, namun sebelum sentuhan itu terjadi gerakan cepat Naruto menghentikan niatnya.
"Kau tidak boleh menyentuhku!" Pergelangan Sakura tengah dicekal. "Cuci tanganmu sampai bersih, kuman dari kecoa tadi pasti hinggap di tanganmu."
Sakura mendengus. Ada-ada saja.
"Ck." Terdengar decakan. Naruto memutuskan untuk mencucikan tangan Sakura, sebab ia kurang percaya dengan cucian Sakura sendiri.
Pasti tidak bersih.
"Aku saja yang melakukannya." Naruto menarik Sakura dan membawanya menuju dapur.
Srrhhh...
Dengan telaten Naruto menyabuni telapak tangan Sakura usai ia basuh dibawah hujaman air kran. Ia menumpah sabun cair lebih dari cukup sehingga melimpahkan busa yang beraroma jeruk segar itu.
Disela aktifitas mereka, diam-diam Sakura mencuri pandang. Menatap wajah Naruto dari arah samping dengan sorot teduh.
Hanya satu yang belum terkuak hingga saat ini, yaita rahasia yang tersimpan rapat dalam kamar Naruto. Lain dari itu Sakura sudah tahu semua, termasuk kejijikan Naruto terhadap serangga bersayap.
Senyum di bibir ranum Sakura merekah. "Seandainya wanita yang kau cinta sudah tidak suci lagi karena perbuatan orang lain, apa kau akan mencapakan dia?" Tanpa sadar bibirnya melontarkan pertanyaan aneh.
Naruto menatap Sakura, namun tetap tak menghentikan kesibukannya dalam menggosok jemari lentik sang Istri dengan tangannya. Ia bersihkan hingga ke sela-sela. "Aku terima apa adanya selama yang dilakukan bukan pengkhianatan."
"Bagaimana kalau orang tuamu yang menjadi penghalang?"
"...aku tak peduli dengan apapun selama wanita yang aku cintai tidak berpaling dariku. Untuk wanita yang telah berjuang demi cintaku nyawa sekalipun rela aku korbankan."
Rasa ingin tahu Sakura terhadap Naruto makin menggebu-gebu, maka dari itu ia terus melanjutkan pertanyaan. Tak peduli jika Naruto tidak menjawab atau hanya memandang dengan matanya yang tajam itu.
Pertanyaan demi pertanyaan tiada henti mendesak Naruto untuk bicara panjang lebar. Sakura suka saat melihat wajah datar itu menunjukan mimik risih.
"Kau pernah mencintai seseorang?"
"Tidak."
"Bagaimana mungkin?" Terdengar mustahil bagi Sakura.
"...aku tak mencintai kedua orang tuaku, lalu untuk apa aku mencintai orang lain." Sakura terkesiap. "Cukup menikmati hidup ini dan melupakan masalah yang ada. Tidak pernah ada yang namanya mencintai seseorang dalam hidupku."
"Hanya belum saatnya kau mengenal cinta."
Naruto tidak setuju. "Aku tak punya cinta." Protesnya.
"Pasti punya."
Mendengarnya mata biru itu pun berputar malas.
"Sampai sekarang kau masih bersenang-senang di luar bersama para wanita?" Akhirnya pembicaraan mereka dialihkan.
"Aku sudah menikah, kalau masih melakukan perbuatan keji itu sama saja aku durhaka kepada Istriku."
Jawaban yang membuat Sakura kembali tersenyum. "Dasar nakal!"
Naruto hanya mendengus pelan sebagai respons. Ia masih menjaga gengsi.
"Suatu saat kau pasti akan menemukan cinta."
"Aku sangat tidak berharap." Jawaban itu terlontar tanpa logat.
Naruto tidak menyukai theme pembicaraan mereka kali ini, sebab dulunya ia sudah pernah berjanji untuk tidak mengenal cinta. Cukup satu kali cinta membuatnya terluka, yaitu ketika mencintai mereka.
Minato dan Kushina.
x X x
Sepasang tangan kekar itu menggebrak meja, cara melampiaskan amarah yang tertahan. Lagi-lagi menerima kekalahan di depan publik yang disaksikan oleh seluruh dunia.
Naruto Namikaze. Dia terlalu kuat, tak mudah mengalahkannya.
Hiashi Hyuga mengempas bokong lalu memijit pelipis. "Namikaze muda itu membuatku tak punya pilihan." Ia mengusap wajah dengan gusar. Memalukan sekali di kalahkan oleh pengusaha muda.
Proyek bangunan gedung pencakar langit berhasil dimenangkan oleh Naruto, sementara menyisakan mereka sebagai si kalah yang payah usai banyak mengorbankan modal.
Bukan biaya yang sedikit demi memenangkan proyek baru, namun sekeras apapun berusaha tetap Naruto Namikaze yang menjadi pemenang.
Kerugian mereka harus di bayar.
"Neji." Seorang lelaki berambut coklat mendekatkan diri kepada sang Paman. Hiashi meliriknya. "...tarik uang dari Bank, kita memerlukannya untuk mengganti nyawa Naruto Namikaze."
Bayarannya adalah nyawa.
"Baik, Paman." Neji membungkuk sopan. Bersikap rendah layaknya bawahan mengingat posisi yang mereka duduki sangatlah berbeda jauh.
Hiashi menyanggah dagu setelah kepergian Neji. Hanya tinggal dirinya seorang di ruangan tersebut. "Pemuda sombong." Decihnya.
Berkat kehebatan Naruto dalam mengolah perusahaan membuat pengusaha lain mengincar dirinya untuk dijadikan menantu, yaitu memulai perjodohan.
Hiashi turut menjodohkan sang Putri sulung untuk Naruto, namun apa yang bisa mereka lakukan ketika yang diinginkan menolak keras.
Berbagi saham beberapa persen tak berarti apa-apa bagi pengusaha sehebat Naruto. Tiada gunanya mereka menawarkan berbagi saham sebagai mahar, sementara Naruto sendiri memiliki saham terbesar di Konoha.
Pengusaha muda yang berlimpah akan harta kekayaan, namun tidak digunakan secara cuma-cuma. Dia bisa kapan saja bergonta-ganti mobil mewah, tidak akan heran bagi mereka bila hal itu benar-benar terjadi.
Sudah saatnya Naruto melepas gelar sebagai CEO muda berprestasi, dan menyerahkan jabatan kepada mereka yang membutuhkan.
Anak muda tidak layak menjadi yang nomor satu, apalagi sampai mendunia.
Hiashi menyeringai. "Selamat menempuh perjalanan menuju alam baka, Naruto Namikaze."
Kematian Naruto pembalasan dari kekalahan serta penolakan sewaktu Hyuga menyerahkan Putri sulung untuk menjadi pendamping hidupnya.
Tidak akan lama lagi ajal Naruto tiba.
x X x
Mobil yang Sakura pesan telah tersedia di depan rumah. Tanpa menunggu lebih lama ia segera meraih tangan Naruto lalu menariknya. Ia ajak untuk menumpangi taksi.
"Kita mau kemana?" Naruto pasrah, namun tak menghambat pertanyaan.
Sakura berhenti sesaat untuk menatap Naruto dibelakangnya. "...kita akan pergi ke suatu tempat."
Alis pirang itu saling bertaut— tanda heran. "Kita bisa menggunakan mobil sendiri." Kebetulan ini hari minggu, tanggal merah yang meliburkan setiap para pekerja.
Di hari cuti Naruto telah Sakura putuskan untuk mengajaknya keluar rumah, khususnya pergi ke suatu tempat yang sangat dirahasiakan.
Sakura menggeleng sebagai bentuk penolakan. "Naik saja, lagipula aku sudah terlanjur tempah." Mobil kuning itu tengah menanti kedatangan mereka.
Naruto bingung, namun akhirnya ia memilih untuk diam dan menuruti Sakura. Tapi hanya untuk kali ini saja.
Benar dengan yang dikatakan oleh Gaara pada waktu itu. Sakura hanya perlu mendekatkan diri kepada Naruto, dengan begitu perlahan-lahan ia mulai mengenal seorang Naruto Namikaze secara menyeluruh.
Bahkan memiliki hati.
Naruto yang dulu dingin, pendiam dan angkuh sangat berbeda dengan Naruto sekarang yang baru Sakura kenal. Sikap mereka berbeda seratus delapan puluh derajat.
Jika masih Naruto yang dulu, jangan mimpi Sakura bisa memaksa apa yang tidak dia inginkan, tapi sekarang lihatlah.
Lelaki itu duduk manis di dalam mobil bersama Sakura disebelah. Mereka saling menatap satu sama lain selama sesaat, hingga kemudian tertawa bersama.
Entah apa yang membuat mereka tertawa, tetapi yang pasti sesuatu yang lucu untuk menjadi bahan tertawaaan.
Selang beberapa saat kemudian mobil kuning tersebut melaju— membawa penumpang ke tempat tujuan yang telah dipersiapkan oleh si pemesan.
Tempat itu cukup jauh dari kediaman mereka.
Ketika mereka tiba ke tempat yang di tuju, kala itu juga melenyapkan senyum ceria di wajah Naruto. Area ini sangat di hapal olehnya.
"Kenapa kau membawaku kesini?" Pertanyaan itu dilontarkan tanpa logat. Naruto menunjukan kembali sifat lamanya.
"Untuk mengunjungi Ayah dan Ibu mertuaku." Dengan riangnya Sakura menjawab pertanyaan tadi.
Kini mereka tengah berdiri di depan gerbang Mansion mewah milik Namikaze, sementara taksi yang membawa mereka tadi telah melesat usai menerima bayaran.
Naruto menarik tangan dari genggaman Sakura dengan kasar. "Jangan permainkan aku!" Amarah melingkupi dirinya. Tak sepantasnya Sakura berlaku sesuka hati dengan membawa dirinya ke kediaman orang tua, jelas-jelas itu berbuatan lancang.
"Siapa bilang aku mempermainkanmu?"
Sebisa mungkin Naruto menahan diri. Jika bukan Sakura sudah pasti ia maki-maki sejak tadi, tidak ia lakukan lantaran menghargai sang Istri.
Berterimakasihlah kepada ikatan dari benang merah yang menyelamatkan Sakura dari amukan
Kitsune .
"Ikut aku!" Sakura menarik Naruto dengan paksa. Membawanya memasuki Mansion megah tersebut tanpa peduli akan penolakan. "...sekali saja dengarkan kata hatimu."
"Hatiku berkata ingin pergi dari tempat ini."
Sakura menghentikan langkah dengan segera setelah tiba di depan pintu Mansion yang terbuka lebar untuk mereka. "Kalau begitu lawan kata hatimu." Ia menatap tajam lelaki berbadan tinggi itu.
"...itu tidak mudah."
"Kau pasti bisa." Wanita itu tersenyum lembut lantas menggenggam tangan lebar sang Suami. "Kali ini saja turuti aku." Pintanya.
Naruto diam tanpa kata, hingga kemudian hembusan nafas pasrah menjadi jawaban, menggantikan bibir yang enggan berkata apapun setelah yang terjadi saat ini.
Masih menggandeng tangan Naruto, Sakura mengajaknya memasuki Mansion untuk bertemu dengan mereka. Kedua orang tua yang sejak lama kehilangan seorang Putra.
Perlahan-lahan bibir Naruto mengukir senyum, namun sangat tipis untuk disadari. Sejujurnya, keputusan Sakura membawanya menemui kedua orang tua pilihan tepat. Ia memang sedang rindu kepada mereka, sebab sudah berbulan-bulan ia tak pulang menemui mereka.
Sekalian Naruto ingin memperkenalkan sang Istri dari dirinya langsung. Sebelumnya ia tidak tahu bagaimana Sakura bisa mengenali kedua orang tuanya, tapi ia tak ambil pusing untuk memikirkannya.
Paling tidak saat ini mereka bersama-sama menemui kedua orang tua.
"Apa ini!?"
Suara lantang seorang wanita membuat Sakura berhenti menarik tangan Naruto. Tampaknya sedang terjadi sesuatu di dalam sebuah kamar bernuansa putih polos serta bersih.
"Kau bilang menginginkan cintaku, tapi apa kau tidak mampu menungguku tanpa seks!?" Di tangan Kushina terdapat ponsel dengan layar yang menyala. Ada pesan teks dalam ponsel tersebut.
Bagaimana tidak murka, katanya menginginkan tapi kenyataannya masih bisa melakukan persetubuhan tidak sah dengan yang lain. Hanya keinginan dusta rupanya, alasan yang membuat Kushina semakin membenci Minato.
Jika Minato mampu menahan diri, Kushina tak kan setega itu menutup diri untuk sang Suami. Sayang sekali dia tidak mampu menghadapi ujian ini.
Lelaki itu chatingan dengan wanita, bahkan tega sekali mengirip foto-foto tanpa busana. Kushina pantas untuk murka.
"...kau membuatku candu." Minato menunduk. Sadar akan kesalahan yang telah ia perbuat. "Sekali aku pernah menyentuhmu, rasa ingin lagi dan lagi membuat aku tersiksa. Hanya melalui mereka aku bisa melepas semua nafsuku yang tertahan." Jelasnya.
Kushina mendecih. "Apapun alasanmu, setelah yang selama ini kau lakukan aku sudah cukup bersabar menghadapinya. Tapi sekarang kesabaranku sudah habis, kali ini kebencianku kepadamu tidak akan pernah pudar."
Minato mencekal pergelangan sang Istri. "Harusnya kau bisa mengerti dengan keadaanku!" Ia marah karena keputusan yang diambil oleh Kushina. "Bagaimana cara aku menahan diri jika kau yang jelas-jelas aku inginkan sangat tidak sudi menatap wajahku dengan pandangan cinta. Selama ini kau selalu mengumbar rasa bencimu terhadap diriku."
Wanita itu menyentak tangan. Melepas cengkraman Minato terhadapnya. "Paling tidak buktikan bahwa kau mencintaiku... kau menginginkanku, bukan menginginkan wanita lain!"
"IYA AKU MENGINGINKANMU!" Kesabaran Minato juga sampai pada ambang kebatasan. Inilah cara ia mengungkap perasaan kepada Kushina.
"Harusnya kau katakan itu sejak awal." Kushina menggigit bibir. Kalimat yang Minato lontarkan sudah terlambat. "...sekarang aku tak bisa lagi menerima dirimu. Kau terlambat, Minato."
"Tidak Kushina."
"Menjauh dariku!" Kushina memperingati jarak antara mereka dengan tatapan tajam. "Sudah terlambat. Aku terlanjur membencimu!" Sikap yang selama ini Minato tunjukan menutup kembali pintu hati yang pernah ia buka.
Minato telah menyia-nyiakan kesempatan.
Kushina hendak melenggang, namun ketika baru membalik tubuh ia mendapati kehadiran Naruto disini. Bersama Sakura keributan mereka telah disaksikan lagi dan lagi.
"Naruto..."
Sudah tidak ada harapan untuk melihat mereka bersatu. Selamanya hubungan mereka akan terus seperti ini.
"Naruto, tunggu dulu!" Kushina mencoba menghentikan kepergian Naruto. Mendengar keberadaan Naruto disini, Minato segera berlari keluar untuk menemuinya.
Sakura sedang berusaha menandingi langkah cepat Naruto. "Dengarkan dulu Ibumu." Ia mencoba membujuknya. "Naru—"
"CUKUP!"
Perempuan itu tersentak ketika mendapat bentakan kasar. Ini bentakan pertama untuk Sakura, khususnya Naruto.
"Sudah kubilang sejak awal tapi kau terlalu keras kepala untuk mendengarkanku. Kau bahkan berani menyeret paksa diriku untuk menginjakan kaki di rumah ini lagi."
Sakura menggigit bibir. Tentu saja ia sadar telah melakukan kesalahan. Naruto pantas untuk marah kepadanya.
"Lebih baik kau menjauh dariku."
Sontak saja, pernyataan Naruto membuat Sakura mendongakan kepala secepatnya. "Tidak!" Dirinya menolak keputusan Naruto.
"Kalau begitu biar aku saja yang menjauhimu."
"Lakukanlah, tapi selagi nafasku berhembus aku tidak akan pernah meninggalkanmu, walaupun kau sendiri yang ingin meninggalkanku. Ingatlah Naruto, jika untuk perpisahan aku tak sudi mengalah!" Mata Sakura berkilat— mengatakan bahwa ia serius mengenai ini. "Sebagai seorang Istri aku berhak menentukan keputusan demi sebuah kebenaran."
Naruto mengepalkan tangan kuat-kuat. "Dasar bodoh!" Lantas ia segera angkat kaki dari tempat ini usai memberi makian singkat kepada Sakura.
Kushina berlari untuk mengejar Naruto, tapi sia-sia saja. Usahanya terlambat dengan pupusnya harapan ketika Naruto sudah memasuki taksi sebelum dirinya sempat menghentikan.
Setelah ini sudah dipastikan bahwa mereka tidak akan bertemu Naruto lagi. Kushina mengutuk diri. Harusnya ia tidak lepas kendali saat memergoki history chating Minato dengan seorang wanita.
Jika tahu Naruto akan datang pada hari ini, Kushina tak kan membuat keributan dengan menuding sang Suami dengan kesalahan di masa kini hingga masa lampau.
"Maafkan Ibu." Suara wanita setengah baya itu terdengar bergetar. Ia sungguh-sungguh menyesal.
Minato terdiam membisu di depan pintu. Menyaksikan kepergian Naruto bersama amarah setelah melihat pertengkaran mereka. Ia mengaku salah sebagai perusak keadaan. Nafsu mengalahkan imannya, dan itu memberi dampak buruk kepada sang Putra.
Jika dari awal mampu menahan diri, keadaan seperti ini tidak akan pernah terjadi.
Selama ini Minato hanya memikirkan diri sendiri, sementara Kushina ia terlantarkan dengan perjuangan yang sia-sia. Ia tak pernah tahu bahwa selama ini sang Istri menginginkan dirinya agar menjadi yang lebih baik dari sebelumnya.
Sayangnyan semua sudah terlambat. Hanya berharap kesempatan kedua masih ada untuk memperbaiki semuanya.
BLAM!
"Ikuti taksi yang ada di depan sana Pak." Sakura tak kan membiarkan Naruto sendiri, apalagi untuk melakukan hal-hal di luar dugaan.
"Baik Nyonya." Supir tersebut mematuhi perintah dari si penumpang.
x X x
Naruto menghilangkan diri setelah kejadian tadi siang. Kamar berpintu krimer itu senantiasa terkunci, tak sedikitpun memberi celah untuk Sakura.
Untunglah dia pulang ke rumah saat tadi di ikuti, karena sebelumnya Sakura sempat mengira Naruto akan pergi ke suatu tempat yang jauh lalu tidak pulang-pulang.
Naruto tidak setega itu meninggalkan sang Istri, bukan?
Berjam-jam sudah Sakura menunggu Naruto keluar, namun tampaknya tidak ada harapan. Naruto bersungguh-sungguh mengurung diri dalam kamar sampai lama, sialnya Sakura tidak akan tahu apa saja yang ingin dia lakukan di dalam sana.
Tok tok.
"Naruto..."
Sakura menyenderkan tubuh di dinding pintu. Ia mengetuknya dengan lembut agar tak terlalu mengganggu orang di dalam.
"Buka pintunya."
Namun sayang, kemarahan Naruto membungkam rapat mulutnya. Sakura menghela nafas. Jadi begini apabila Naruto marah.
"Naru, mau sampai kapan kau mendiamiku seperti ini?"
Perempuan itu tidak berhenti. Jika tidak sedang marah, dalam sekali ketuk pintu kamar itu langsung di buka dari dalam. Kali ini keadaannya sudah berbeda dari sebelumnya.
"Suamiku, tolong buka pintunya."
Sedikit membujuk, kali saja Naruto mau merespons.
"Huft..."
Tapi sesaat kemudian terdengar helaan nafas. Tetap saja tidak berhasil.
"Naru Suamiku, tolong buka pintu. Sebagai Istrimu aku ingin masuk ke dalam."
Percuma membujuk dengan kata-kata manis jika yang di inginkan tak sedikitpun sudi merespons. Sakura mendesah.
"Naru, tolong maafkan aku."
Sakura sadar akan kesalahan sendiri. Niat ingin memberi kejutan justru berakhir mengenaskan, dimana mereka menyaksikan pertengkaran Minato dan Kushin dengan mata kepala sendiri.
Hak Naruto untuk marah, tapi alangkah baiknya bila Sakura meminta maaf kepada sang Suami.
"Naruto, jawab aku."
Lelaki pirang itu sangat keras kepala. Tak pernah Sakura tahu akan sesulit ini membujuknya.
"Naruto..."
Berulang kali memanggil tetapi orang di dalam sana benar-benar tak sudi menyahut. Dia bungkam sejak memasuki kamar.
Sudah lama Sakura berdiri di depan pintu tersebut, namun tidak terdengar suara tanda-tanda keberadaan manusia, apalagi untuk merepons panggilan.
"Naruto!?"
Rasa cemas melingkupi Sakura. Berulang kali ia panggil sejak Naruto mengurung diri, namun tak sekalipun pernah ada sahutan. Ia takut hal buruk terjadi kepada Naruto.
Buru-buru Sakura membongkar laci, lantas mencari-cari kunci duplikat milik kamar Naruto. Seingatnya beberapa minggu lalu kunci duplikat milik kamar itu pernah terlihat disekitar rak televisi.
Mungkin Naruto lupa menyimpannya sehingga Sakura yang menemukan. Sengaja tidak digunakan, sebab ia sangat menghargai keputusan Naruto yang ingin merahasiakan sesuatu darinya. Ia tak mungkin memaksa apa yang tidak Naruto kehendaki.
Lama mencari-cari, akhirnya Sakura bergasil mendapatkan kunci duplikat. Kini tengah ia genggam di tangan sembari menatapnya dengan nafas yang berhembus lega.
Perempuan itu kembali ke kamar Naruto, kemudian langsung mencoblos lubang kenop setelah itu memutarnya hingga menimbulkan suara ctekk , tertanda pintu berhasil di buka.
Sakura membuka pintu dengan cepat, seketika membuatnya terkejut begitu melihat isi di dalam kamar tersebut. Tampak jelas dari raut wajah yang ia tampakan.
Rahasia pribadi tersimpan rapat dalam ruang kamar itu.TO BE CONTINUE...