Maut

2.5K 148 1
                                    

Seringai Ino bertambah lebar. Ia sudah tahu sejak awal Naruto tidak bisa dikalahkan, berbeda dengan Istri nya yang lemah.
"Sa...sakura..." Suara Naruto bergetar. Tubuhnya lemas. Emerald tersebut menatapnya dengan sorot begitu tajam, namun ada goresan luka di dalam mata redup tersebut.
Wanita itu bodoh sekali.
"Menikahlah dengan Ino... aku rela menjadi yang kedua." Sakura sadar dirinya wanita paling bodoh di dunia karena mau-maunya berbagi Suami, tapi apa yang ia lakukan ini demi kebaikan Naruto. Suami nya itu tidak boleh mendapat hujatan.
"Sakura, kau..."
"Kalau kau tidak mau menikah dengan Ino, maka biarkan aku pergi."
Naruto tertohok. Ia diancam habis-habisan dari dua wanita sekaligus. "Baiklah... baik." Daripada Sakura pergi, lebih baik ia menanggung penderitaan selama Sakura bersama dirinya. "...akan kulakukan apapun yang kau inginkan, tapi kumohon jangan pernah berkata seperti itu lagi. Jangan mengancam pergi."
Cengkeraman Sakura pada bawahan bajunya semakin erat. Ia merasa bersalah kepada Naruto. Ciri-ciri Istri durhaka ya seperti dirinya ini. Berani mengancam seorang Suami.
"Aku akan menikahi Ino demi dirimu, Sakura." Naruto benar-benar kalah. Ia tak mampu berkutik kalau sudah Sakura yang mengambil tindakan. Mau tak mau diam pasrah dan menerima keputusan yang diambil dari sebelah pihak.
Ino tersenyum puas. Tidak sia-sia ia berjuang, akhirnya ia berhasil memiliki Naruto. Tinggal mencari cara untuk menyingkirkan Sakura dan menempati posisi seharusnya.
Kembali Naruto berlutut dihadapan Sakura seperti hari sebelumnya. Menggenggam kedua tangan Istri nya lalu menatap ke dalam emerald
tersebut. "Berjanjilah satu hal kepadaku." Ia menangis.
Rahang Sakura terkatup begitu kuat, cara ia menahan raungan tangis agar tidak menguasai diri. Dirinya tidak ingin terlihat lemah dihadapan Naruto, terutama Ino. Ia sangat benci melihat senyum sinis yang terlukis di wajah wanita picik itu.
"..." Sakura menanti dalam diam.
Naruto tersenyum miris disela meneteskan air mata. Biarlah di cap lelaki lemah dan cengeng, ia tak perduli terhadap apapun. "Jangan tinggalkan aku, sekalipun hanya sebuah gertakan semata. Hatiku terluka kalau kau lakukan itu lagi."
Dan akhirnya Sakura kalah. Tangisnya pecah karena permohohan tadi. Ia melepas segala kesedihan yang tertahan melalui tetesan air mata.
"Kumohon berjanjilah." Genggaman Naruto begitu erat, sampai membuat kehangatan menyelimuti tangan Sakura.
Perempuan itu menggeleng kuat. "Tidak Naruto... aku tidak akan pernah meninggalkanmu." Ia terisak, lalu menarik sang Suami dan mendekapnya. Lagi-lagi tersaksikan di depan mata Ino. "...maaf atas ucapanku tadi. Aku tak berniat melukai hatimu." Jemarinya mencengkeram erat rambut pirang Naruto. Miris sekali nasib mereka.
Ino terharu, tapi keegoisan tetap menang dalam menguasai dirinya. Ia mengalihkan wajah ke arah lain, yang pasti tidak menyaksikan kesedihan Naruto. Hanya dengan cara ini ia bisa memenangkan lelaki itu, maka biarlah berlanjut sampai babak final.
Tangisan Naruto teredam dalam dekapan Sakura. Ia tersedu dengan suara tertahan. Terlihat begitu lemah dan rapuh, inilah dirinya yang sesungguhnya, tak lain hanyalah seorang lelaki yang terdiri dari kumpulan pasir, langsung runtuh sekali tersapu ombak.
Kisah yang begitu memilukan.
x X x
Kakuzu terbangun lalu mengerang. Ia memegangi kepalanya yang berdenyut-denyut sakit. "Ughh..." Ringisannya terdengar.
Lelaki berbadan kekar itu bangun dari rebahnya, ketika sudah duduk seluruh tulangnya serasa remuk seketika. Pegal dan sakit-sakit. Ia mengerang sembari meregangkan tubuh kakunya dengan susah payah.
"Sudah dua hari aku tertidur. Sial, lama sekali."
Kakuzu mengusap wajah gusar. Ia tertidur lama karena mengomsumsi obat terlarang sewaktu menjalankan misi, inilah efek yang didapat. Sangat menguntungkan bila misi yang dijalani berhasil, tapi sungguh sial sekali karena misinya dalam merenggut nyawa Naruto Namikaze gagal total.
Pengusaha kaya raya itu dilindungi dari agen FBI.
Kakuzu meraih ponsel miliknya, kemudian ia nyalakan setelah sekian lama ponsel pintar tersebut tergeletak di meja dalam keadaan mati, sementara charger setia tercolok di konektor.
Sudah menduga pasti mendapat banyak pesan dan panggilan, dan benar saja bahwa dugaan Kakuzu tidak meleset. Ponselnya di spam oleh ratusan pesan dan ribuan panggilan dari nomor yang sama. Seperti terror.
"Brengsek! Orang ini sangat tidak sabaran sekali. Dia pikir nyawa manusia sama seperti nyawa kucing apa. Dasar orang-orang bodoh."
Lelak berambut panjang itu marah-marah sesudah menyelesaikan membaca satu persatu pesan masuk di ponselnya. Kata-katanya tidak sopan, dan terselip beberapa makian dalam barisan huruf.
Kalau memang mudah melenyapkan nyawa manusia, Kakuzu tak kan menggunakan obat terlarang untuk memata-matai target sampai tidak tidur selama berhari-hari.
Mereka tak pernah tahu seberapa besarnya perjuangan seorang mafia untuk menjalankan tugas.
"Cih!" Kakuzu berdecih muak. Demi kenyamanan pelanggan mau tak mau ia terpaksa menghubungi nomor ponsel milik Hiashi Hyuga untuk menyatakan kegagalan.
Satu kali kegagalan masih bisa diulang kembali. Kakuzu tak sudi menyerah sebelum benar-benar melenyapkan Naruto Namikaze, sekalipun ia telah dicampakan oleh Hyuga.
Kakuzu tidak menerima kegagalan. Tidak ada kata gagal dalam hidupnya, kalau terjadi maka ia akan terus berusaha sampai berhasil. Naruto Namikaze tidak boleh hidup!
x X x
Kini Sakura terduduk lemah di atas kloset yang terutup. Emerald miliknya tengah menatap lekat benda di tangan dengan mata berkaca-kaca, bentuk dari berbagai perasaan. Ada sedih dan bahagia.
Garis merah tanda Positive , tapi Sakura tidak begitu yakin. Bisa saja alat test urin tersebut salah atau sudah kadaluarsa lagi. Ia tak bisa menyimpulkan sendiri sebelum benar-benar terbukti, maka dari itu ia putuskan untuk keluar rumah.
Selesai mengenakan mantel merah pembelian Suami nya, kini Sakura sudah bersiap untuk pergi. Terakhir kali mengenakan boot heels, setelah itu ia melesat meninggalkan kediaman.
Rumah sedang kosong. Naruto berada di kantor sejak pagi-pagi sekali untuk menyelesaikan tugas-tugas yang terlantar akibat kebanyakan cuti.
Begitu tiba di tempat tujuan, segera Sakura membuka dompet lalu menarik selembar uang kertas berjumlah besar. Ia serahkan kepada supir taksi, tersenyum sopan kemudian melenggang. Tidak ada kembalian karena telah ia ikhlaskan.
Saat memasuki gedung Rumah Sakit, tujuan pertama Sakura ialah menemui Dokter kandungan dengan mencari letak ruangannya. Ia telusuri sepanjang koridor sampai akhirnya berhasil ditemukan setelah melalui beberapa ruangan.
Perempuan merah muda itu mengetuk pintu, begitu ada sahutan dari dalam ia lekas membuka pintu putih polos tersebut karena telah mendapat izin.
Ceklek.
"Selamat siang." Seseorang di dalam sana menyambut kedatangan Sakura dengan senyum ramah.
x X x
Naruto berdecak lelah. Shappire tajam miliknya sudah sangat lelah terjaga sejak pagi, dan tak pernah luput dari huruf-huruf kecil yang tercetak rapi dalam beberapa lembar kertas bersampul map berwarna.
Kelelahan membuat penghilatan mengabur, sebab itu Naruto menggunakan kacamata agar penghilatannya tajam. Jarang sekali ia memakai kacamata kalau documen tidak sampai menumpuk tinggi bak gunung.
Srak!
Usai meninggalkan jejak tanda persetujuan, lelaki pirang itu menyorong documen tersebut ke tengah meja sesudah ia tutup.
"Ck." Lagi dan lagi berdecak.
Naruto sudah sangat kelelahan dengan beban pekerjaan di kantor, belum lagi masalah keluarga. Kepalanya sampai pusing, melihatpun seakan dunia ini yang berputar padahal baik-baik saja.
"Masih ada lagi?" Direktur muda itu melepas kacamatanya lalu mememijit pangkal hidung. Sedikit saja bantulah dirinya teringankan dari pusing yang melanda.
Gaara memungut documen yang sudah ditandatangani oleh Naruto. "Ini saja sudah cukup." Jawabnya datar.
Tempo hari Sakura datang menemui Gaara dan menceritakan semua masalah mereka, tapi hingga saat ini Gaara tidak menyampaikan apapun kepada Naruto. Ia menjaga perasaan sahabat pirangnya itu yang dikatakan malu oleh Sakura.
"Kau terlihat kurang sehat."
"Kheh..." Naruto tertawa singkat. "Memang selalu seperti ini, bukan?" Kini ia menatap Gaara. Menanti jawaban yang akan dilontarkan oleh pria bermata layaknya panda itu.
"Tapi tidak separah ini."
Naruto mendengus. "Sama saja."
"..." Gaara terus menatap Naruto. "Kau yakin tidak ingin cerita apapun kepadaku?"
Tatapan heran tertuju pada Gaara. "Cerita apa?"
"Masalahmu, misalnya."
Kembali Naruto dibuat tertawa, namun kali ini tidak sesingkat tadi. "Hidupku selalu bermasalah, apalagi setelah wanita itu kembali. Dia mengacaukan segalanya."
"Ino?"
"Hm."
"Dia berulah lagi?"
Sepasang siku Naruto tertahan di atas meja. "Ulahnya sangat parah." Ia meremas anak-anak rambut di atas telinga, bahkan dengan tega menjambakinya. Lumayan mengurangi pusing.
"Bagaimana?"
Naruto mendesah. "Aku terpaksa menikahinya." Kontan, kedua mata Gaara dibuat melebar karena pernyataan darinya. "Lusa adalah harinya. Mendadak bukan?"
Gaara masih mematung sehingga tak bisa berkata apa-apa. Terdiam membisu dengan kejutan luar biasa ini. Setelah ini ia tak bisa lagi bertele-tele, besok adalah hari terakhir mengungkap kebenaran tentang Shion yang dikatakan anak Naruto.
x X x
Langkah Sakura terhenti saat tanpa sengaja berhadapan dengan Ino Yamanaka. Mereka bertemu di Rumah Sakit yang sama, dan kini saling bertatapan mata satu sama lain.
Cepat-cepat Sakura mengunci sling bag
miliknya usai memasukan sebuah amplop. "Apa yang kau lakukan di sini?" Tanyanya kemudian tanpa basa-basi.
Sebelah sudut bibir Ino melengkung tipis. "Cek kesehatan sebelum pernikahan berlangsung." Ia sadar benar jawaban ini sangat menusuk, karena pada dasarnya ia memang sengaja.
Kepedihan itu bisa Sakura sembunyikan melalui ekspresi datar. "Oh." Responsnya cuek, kemudian memilih pergi dengan melalui Ino begitu saja.
"Haruno!" Lagi-lagi langkah Sakura terhentikan, namun kali ini dalam keadaan membelakangi Ino. "Bersiap-siaplah untuk kehilangan Naruto."
Kini senyum angkuh terlukis di wajah dingin Sakura. "Kau mengatakan itu untuk diri sendiri? Oh, ternyata kau punya kesadaran diri juga ya." Ujarnya lalu tertawa— meremehkan.
"Yakinlah, aku pasti akan memenangkan Naruto. Ini baru dimulai dan kau sudah kalah lebih dulu."
Sakura menghela nafas. Mau tak mau ia harus membalik badan untuk kembali berhadapan dengan Ino. "Kau hanya memiliki raga Naruto, hati cinta dan pikirannya milikku." Tatapan memuakan ia kerahkan untuk perempuan itu. "Jangan terlalu percaya diri, terkadang yang kalah di wal permainan justru menjadi pemenang diakhir permainan. Aku tak yakin kau bisa memiliki Naruto sekalipun cuma raganya."
Geraman Ino tertahan dibalik kepalan tangan. Ternyata bibir ranum itu pandai juga memberi kata-kata menyakitkan.
"Menangislah sepanjang hari, Yamanaka." Terakhir memperlihatkan senyum memuakan di mata Ino, kali ini Sakura benar-benar melenggang pergi membawa anggota badan.
Tersisa Ino yang setia berdiri disana. Diam seribu kata dengan mata terus tertuju pada sosok Sakura, sampai akhirnya pemilik tubuh ramping tersebut menghilang begitu menuruni anak tangga.
Daridulu sampai kini Naruto hanya milik Sakura. Selamanya akan seperti itu.
x X x
Rambut merah marun tersebut bergoyang lembut ketika empunya melangkah pelan meninggalkan dapur. Selalu digerai, suatu kebiasaan yang selalu mempercantik parasnya.
Ketika muncul di ruang tamu, iris violet miliknya mendapati punggung lebar sang Suami. Dia sedang duduk disofa sambil terfokuskan oleh sesuatu, kalau tidak salah buku. Waktu membaca koran cuma di pagi hari, Kushina tahu itu.
Terletaknya gelas berserta piring kecil menyadarkan Minato dari alam sendirinya. "Terimakasih." Ucapnya sambil tersenyum. Kehadiran Sakura membawa perubahan drastis dalam hidup mereka, salah satunya Kushina. Ia pantas mengucapkan terimakasih kepada Istri Putra nya itu.
Kushina duduk disebelah Minato. "Sedang baca apa?" Ia mencondongkan kepala, menilik buku tebal di tangan Minato.
"Oh, ini." Minato menunjukan buku bacaannya kepada Kushina. "Cara-cara menjadi Suami sempurna." Katanya kemudian terkekeh geli dengan wajah memerah.
Wanita merah itu turut merona. "Tak perlu repot-repot, aku terima apa adanya semua yang ada dalam dirimu." Ia tersipu malu karena kata-kata sendiri.
Minato menaruh buku di atas meja, lalu menggeser duduknya sehingga mendekat dengan Kushina. "Apa yang kau rasakan dengan kehidupan baru kita?" Ia ingin tahu perasaan sang Istri.
Kushina menundukan kepala. "Umm..." Tangannya bergerak menyelipkan anak rambut kebelakang telinga. "...bahagia." Akhirnya ia mampu mengatakannya.
"Hanya itu?" Bagi Minato jawaban tadi kurang memuaskan.
Kini Kushina menatap Minato. Dapat ia lihat wajah aneh lelaki itu ketika dilandai penasaran. "Bagaimana kalau denganmu?"
Tanpa ragu-ragu Minato menggapai tangan Kushina. "Kalau aku mencintaimu." Senyumnya terlukis begitu lebar. Tatapannya teduh dan menghangatkan.
Perlakuan manis Minato membuat Kushina tersenyum geli. Sungguh ajaib, dulu begitu bencinya ia kepada Minato tapi lihatlah sekarang. Sudah seperti Sakura kepada Naruto, karena pada dasarnya kisah cinta ini terinspirasi dari mereka berdua.
"Kau belum mencintaiku?" Kebungkaman Kushina membuat keraguan menyelimuti hati Minato. Ia ingin mencintai dan dicintai.
"Kalau cinta harus bilang?"
Polos sekali. Minato tampak kesal. "Sangat diharuskan agar kita tahu seberapa besar cinta pasangan kepada kita." Jelasnya, sejelas-jelas mungkin.
Kushina tertawa kecil. Ia tak pernah tahu Minato bisa selucu ini. "Kurasa tidak perlu seperti itu, cukup hati kita sendiri yang tahu dan merasakan." Ujarnya sambil meletakan telapak tangan di dada Minato. Menunjukan letak hati Suami nya itu.
"Tapi hatiku tidak merasakan apa-apa." Minato menyingkirkan tangan Kushina dari dadanya untuk digenggam lembut. "...mungkin dengan sekali berkata aku baru yakin." Senyum penuh harap terpajang di wajah memelasnya.
Hening.
Kushina mendengus geli, kemudian menjambak anak rambut Minato yang menjuntai panjang di sisi wajahnya. "Aku mencintaimu." Bisiknya selembut mungkin setelah itu menempelkan bibir tipis mereka, dengan begini Minato pasti puas.
Ciuman sudah biasa, bahkan mereka sudah sering melakukan hal yang lebih dari ciuman. Mereka satu kamar sekarang, bayangkan sendiri apa saja yang dilakukan oleh pasutri setiap malam menjelang tidur.
x X x
"Janji?"
"Aku janji."
"Selalu percaya kepadaku."
Wanita itu ingin kepastian agar tidak kecewa kelak.
"Aku berjanji akan selalu mencintaimu, dan percaya sepenuh hati kepadamu."
"Aku tak kan terima kalau kau mengingkari janji kita."
Nyatanya, yang sudah berjanji telah ingkar. Mengkhianati cinta tulus dari perempuan yang sudah banyak melakukan pengorbanan besar. Sia-sia.
Sasuke membuka mata. Sklera nya memerah sehabis melalui tidur panjang, namun manik kelamnya tetap terlihat tajam dan menusuk.
Lelaki itu mengernyit, dan kembali memejamkan mata untuk memulihkan kesadaran. Nafas pendek berhembus dari belah bibirnya yang terbuka kecil, setelah itu manik kelam miliknya kembali tersorot.
"Ck, mimpi itu lagi."
Sasuke bangun dari rebahnya. Duduk di atas tempat tidur dengan kepala menunduk, lalu tangan menangkup wajah.
"Sakura..."
Mimpi yang sama selalu mengganggu tidur Sasuke. Asalkan sedikit memejamkan mata, maka akan muncul bayangan Sakura dalam benaknya. Senyum dan tatapan penuh cinta khas perempuan itu kerap sekali ia rindukan.
Selama perpisahan mereka Sasuke tidak bisa menjalani hidup dengan tenang. Sudah mencari cara untuk menghubungi Sakura, namun selalu berakhir dengan kegagalan. Wanita itu tidak bisa lagi dihubungi sejak ganti nomor, ingin menemui ke rumah tapi ia takut.
Takut dengan amukan Fugaku Uchiha. Sasuke berpendirian cukup sekali pria berkepribadian kasar dan tegas itu menghajarnya sampai babak belur, seolah menganggap dirinya seorang musuh yang pantas dilenyapkan.
Desahan Sasuke terdengar, ia lalu menyudahi acara tunduk kepala dan menangkup wajah. Menyingkirkan bantal disebelahnya, setelah itu mengeluarkan sesuatu dari bekas bantal tadi.
Sasuke menghela nafas. "Hanya ini yang kumiliki setelah kepergianmu." Ia bergumam sembari mengusap foto berbingkai kaca dengan motif bunga musim semi.
Sakura Haruno, dialah orang yang ada dibalik bingkai indah tersebut. Paras cantik dan senyum cerah yang sengaja diabadikan dalam album kenangan.
TES.
Mata Sasuke langsung tertutup ketika setitik air asin mencuri peluang untuk menetes. Ia berdecak kesal, lalu menyeka sudut mata. Sakura satu-satunya seorang wanita yang mampu membuat dirinya meneteskan air mata.
"Rasa rindu ini sangat menyebalkan."
Pria itu tersenyum miris. Terkadang ia bertanya-tanya dalam hati mengenai kelancangannya karena memikirkan Istri orang. Apakah dosa?
"Mencintai Istri orang, dosa atau tidak?" Pertanyaan konyol. Sasuke menjadi bodoh setelah kehilangan Sakura.
Tok tok tok.
Seseorang mengetuk pintu. "Sasuke?" Lalu memanggil orang di dalam kamar tersebut.
Sasuke menatap dingin pada dinding pintu. "Ada apa, Aniki?" Sahutnya datar.
"Keluarlah, ini sudah waktunya kita makan malam."
Sasuke menghela nafas. "Baiklah. Aku akan menyusul." Segera ia simpan kembali bingkai foto tersebut di tempat semula, tak lupa menimpanya dengan bantal agar tidak terlihat mencurigakan.
Bunyi derap langkah menandakan Itachi sudah berjalan, barulah Sasuke turun dari tempat tidur. Ia tidak langsung keluar, masuk ke kamar mandi dulu untuk membasuh wajah.
Akan diserbu dengan tatapan curiga kalau mereka sampai melihat wajah aneh Sasuke. Nampak jelas sehabis menangis lama, mungkin mengigau karena memimpikan Sakura.
Sudah menjadi kebiasaan Sasuke menangis disetiap harinya. Resiko yang ditanggung begitu sulit ia hadapi.
x X x
Sang pemimpin perusahaan melangkah dengan penuh ketenangan. Melalui beberapa karyawan lainnya yang masih terjaga, dan ia balas dengan senyum hambar ketika disapa ramah.
Tersenyum pun sudah bersyukur, kalau dulu benar-benar pelit.
Dibelakang Naruto terdapat dua pengawal, setia mengikuti setiap langkahnya dengan tubuh tegap tinggi mereka. Sedikit lebih tinggi sang atasan, karena atasan mereka punya fisik sempurna.
"Boss."
Seorang bawahan menyerukan sang atasan, mau tak mau mereka bertiga berhenti sejenak untuk meladeni si pemanggil.
"Aoba, ada apa?"
Lelaki dengan rambut jabriknya itu menghampiri Naruto sambil membawa beberapa documen penting dalam himpitan lengan. "Uchiha Corp sudah menentukan waktu metting kita."
"Kapan?"
"Besok, pukul sembilan pagi."
Naruto mengangguk. "Hm, lakukan tugasmu." Perintahnya.
"Siap Boss." Aoba menundukan kepala tanda hormat.
Sesudah itu Naruto melanjutkan langkah. "Kalian boleh pergi." Ucapnya kepada dua pria dibelakang sana, dan segera dipatuhi dengan anggukan serta tindakan. Mereka berhenti mengikutinya.
Naruto masuk ke dalam lift, setelah menyentuh angka satu maka pintu pun terutup. Menelan sosoknya sampai menghilang dari depan mata kedua pengawal setianya.
TING!
Tiada kata tunda, begitu sampai di lantai satu secepatnya Naruto keluar dari lift. Melangkah agak cepat untuk segera tiba di tempat mobil miliknya terpakir manis.
Lelaki berparas tampan itu merogoh saku, saat dikeluarkan kembali sudah terdapat sebuah kunci mobil dalam genggamannya. Ia menekan
remote control alarm yang bersatu dengan kunci, lalu terdengar sahutan dari mobil mewah yang terletak dibarisan delapan.
"Sudah malam pun masih padat." Naruto bergumam. "Menyulitkan aku menemukan mobilku." Imbuhnya lalu menghampiri tempat kendaraan mewah tersebut.
Selang beberapa saat setelah Naruto melejit bersama mobilnya, seseorang muncul dari balik mobil putih. Berdiri di sana dengan sosok tertutup oleh tudung jaket, anggota badan mengenakan mantel tebal.
Orang aneh itu menatap lama kepergian Naruto, sampai akhirnya seringai licik terukir di bibirnya yang berjahit dari sisi kiri dan kanan.
"Matilah kau, Naruto Namikaze."
Sekali injak tak direspons. Naruto bingung campur cemas, maka ia ulangi lagi. Mencoba mengurangi kecepatan kendaraan dengan cara menekan-nekan kuat pedal rem, namun nihil. Mobil hitam tersebut masih melaju melewati jalur.
Naruto menelan ludah.
"Remnya!?"
Pria itu sempat berpikir di tengah genting-gentingnya keadaan ini kemungkinan di depan sana terbentang jalanan sepi, tapi sungguh sial nasibnya malam ini. Sebuah Bis mengalami kecelakaan kecil. Naasnya, Bis tersebut melintang di tengah jalan tol.
Wajah Naruto memucat. Jantungnya berpacu cepat, secepat mobil yang ia kendarai. Tidak ada pilihan, dan ia telah menempuh jalan sendiri dengan mengalah kepada mereka.
Biarlah satu nyawa hilang daripada melibatkan orang-orang tak berdosa demi keegoisan sendiri.
Sekali lagi mencoba, tetap tidak ada hasil. Remnya masih blong, dan Naruto sudah pasrah. Terpaksa ia membanting stir ke arah kanan demi menghindari Bis di depan sana, menyeret paksa mobil hitam tersebut menuju jurang kematian.
BRAKKK!
Mobil Naruto menabrak pagar jalanan sampai patah, memberi peluang terhadapnya jatuh dengan bebas ke dasar jurang.
Prang!
Kushina terdiam karena merasa aneh. Baru saja menuang air, ketika hendak meneguk tiba-tiba gelas dalam genggamannya lepas tanpa alasan yang pasti. Licin tidak, panas pun tidak.
Wanita itu tampak membatu dengan tubuh menegang. "Naruto..." Ia teringat kepada anak itu.
Di sisi lain, dengan cerobohnya Sakura melangkah keluar dari kamar mandi tanpa melihat jalan sampai membuatnya jatuh terhempas di lantai keras.
Sakura terngkurap tak berdaya. Ia merintih kesakitan, lalu saat merasakan sesuatu yang aneh mengalir dari dalam kewanitaan iapun menyentuh aliran tersebut untuk memeriksa.
"Akhh... sakit..."
Setelah diusap, tak lain lagi yang mengalir tadi adalah darah segar. Melihat itu membuat kedua mata Sakura membulat sepenuhnya, seakan hendak melepaskan bola matanya.
"Ba...bayiku."

TO BE CONTINUE...

Day by Day by Hikari Cherry Blossom24Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang