"Sasuke!?"
Hanya batin yang merespons.
Sebelum Naruto mendengar, lebih baik Sakura mengambil tindakan. "Sayang, ayo kita lari." Ajaknya.
"Kenapa?" Ajakan yang membuat bingung.
Sakura lekas menahan kepala Naruto ketika dia hendak menoleh kebelakang. "Tidak boleh lihat kebelakang!"
"Tapi kenapa?" Lagi-lagi bertanya.
Wanita itu mengeratkan gandengan terhadap lengan Naruto, kemudian sesegera mungkin membawanya berlari. "Ayo cepat." Mereka tidak boleh sampai bertemu dengan Sasuke, terutama Naruto.
Ada pantangan tersendiri bagi Sakura apabila keduanya sampai bertemu.
Mereka terus berlari, sementara Sasuke tidak mudah menyerah. Ia mengejar Sakura yang merupakan mantan kelasih sejauh mungkin, karena ia yakin dia memang Sakura— bukan ilusi semata berdasarkan rasa rindu.
"Sakura...!"
Panggilan itu sampai ke indera pendengaran Naruto. "Seperti ada yang memanggilmu?" Ia hendak melihat kebelakang, tetapi lagi-lagi di tahan oleh Sakura.
"Masuk." Naruto dipaksa masuk ke dalam taksi.
"Sakura, memangnya ada apa?"
Wanita muda itu menyusul Naruto lalu menutup pintu mobil. "Bukan apa-apa, ini hanya game." Jawabnya— berdusta untuk menutup-nutupi masalah.
Naruto bersikeras untuk menatap kebelakang, namun Sakura tetap tidak memberi izin. Jangan sampai dia melihat Sasuke lalu menyadari seruan yang ditujukan untuk sang Istri.
Bisa mengamuk habis-habisan Naruto.
Untuk menghentikan, Sakura menggunakan bibir yang sengaja a sumpalkan pada bibir Naruto. Melumat daging lembut tersebut tanpa peduli dengan keadaan. Tentu saja Naruto membalas kecupan pada bibinya. Sedikit memiringkan kepala agar dapat menikmati bibir peach milik Sakura dengan lebih leluasa
Si supir taksi menjadi salah tingkah saat tanpa sengaja memergoki adegan ciuman dibelakang mobil melalui kaca spion.
Ciuman mereka berakhir dengan menjadikan kecupan ringan sebagai penutup. Sembari menyentuh dan mengelus pipi Suami nya, Sakura menautkan kening mereka lalu tersenyum malu-malu.
"Ini hadiahnya karena kita sudah berlari mengejar taksi." Bibir ranum itu menjelaskan.
Naruto menjilat bibir. Membersihkan sisa-sisa saliva bekas ciuman singkat mereka tadi. "...kurang." Paparnya. Ternyata game mendapatkan taksi, bukan karena alasan lain. Ia pikir memang benar begitu adanya.
Sakura terkikik geli lantas menarik tengkuk Naruto. Ia mendekatkan bibir pada telinganya. "Nanti setelah pulang dari jalan-jalan." Bisiknya dengan nada genit.
Lelaki muda itu melingkarkan tangan dibagian pinggang Sakura. "...kalau begitu jangan lama-lama, cukup satu jam saja lalu kita pulang." Ia juga berbisik namun sembari menyanggah kepala diatas bahu Sakura.
"Apa saja yang kau inginkan sayang." Sakura mengecup puncak kepala Naruto. Sungguh, ia sangat mencintai Suami pirangnya itu. Rasa cinta yang lebih besar dan dalam daripada sewaktu pernah mencintai Sasuke.
Sudah terlambat, keburu mobil kuning tadi membawa sosok yang diinginkan melejit cepat dari tempat Sasuke berdiri dengan nafas tersengal. Lagi-lagi ia kehilangan Sakura.
"Arghh, sial!" Bibir tipis itu menuai kalimat umpatakan.
Si lelaki berdandan emo mengacak rambut berjambul miliknya karena frustasi. Kalau sudah begini pastinya rasa rindu akan membuat batin tersiksa, sebab sudah lama sekali Sasuke merindukan Sakura dan berkeinginan untuk mendekapnya dalam kehangatan.
Perpisahan mereka selama berbulan-bulan sudah sangat menyiksa batin seorang Sasuke Uchiha.
Seharusnya percayakan hubungan kepada pasangan, karena jika tidak maka sama saja mengakhiri hubungan tanpa disadari.
Kini Sasuke menyesal semenyesal nyesalnya.
x X x
Tangan kokoh itu melingkari pinggang kecil Sakura, sementara itu Sakura sendiri menggunakan dada bidang Naruto sebagai sandaran. Menyandarkan kepala sembari menikmati keindahan alam.
Di danau yang indah ini mereka sedang menumpangi perahu. Terdapat lentera diatas sana, kunang-kunang di daratan lalu beberapa lampu untuk menerangi sekitar tempat.
Mereka tidak hanya berdua, ada beberapa orang lagi yang terletak jauh disana serta juga menggunakan perahu yang sama dengan mereka berdua. Tempat ini dikhususkan untuk di datangi bersama pasangan. Bisa teman dekat, kekasih dan pasangan hidup.
Sakura sangat menikmati tempat ini. Sembari memeluk Naruto ia juga menyandarkan kepala di dadanya.
"Aku bersyukur pada kejadian yang menimpa kita." Naruto memecah keheningan. Ia menyeruput cappucino cup.
"...untunglah saat itu tepat sekali kau pindah di gedung apartement yang sama denganku." Garis senyum mengukir wajah manis Sakura. Sebelumnya tak pernah ia merasa sebahagia ini.
Kini tangan Naruto membelai rambut merah muda milik wanita itu. Ia suka menyentuhnya, karena memiliki helai-helai yang lembut setiap kali terselip disela-sela jemari.
"Untung saat kau berada di kamar aku baru selesai mandi, dan menjadikan keadaan kita untuk mengubah segalanya." Benak Sakura terus membayangkan kejadian sebelumnya.
"Apa yang kau rasakan pada saat itu?"
Sakura menatap wajah Naruto melalui bawah dagu. Paras itu tampan dan tenang. "...sangat marah."
"Hanya itu?" Anggunakan kecil menjadi tanggapan. "...bagaimana kalau dengan rasa benci?"
Tangan Sakura bergerak ke atas untuk menyentuh wajah Naruto. Ia suka dengan paras tampan Suami nya. "Kecewa berat." Jawabnya— seadanya.
"Apa yang kau kecewakan?"
"Karena tidak percayanya mereka kepadaku." Balasan yang simple.
Naruto menyanggahkan dagu diatas kepala Sakura. "Apapun yang terjadi pada malam itu, aku tidak ingin tahu dan tidak mau tahu." Ia mengecup kepala bubble gum tersebut. "...memilikimu sudah lebih dari cukup bagiku."
Sakura yang juga memeluk pinggang Naruto kini semakin mengeratkannya. "Masa lalu biarlah menjadi masa lalu." Ucapnya.
Mengenai cuaca malam ini salju tidak banyak. Hanya beberapa dan itupun sesekali, yang membuat cuaca tidak terlalu dingin untuk sekedar berkencan di luar rumah.
"Tuhan menakdirkan kita bersama, aku cukup mensyukuri apa yang Tuhan berikan tanpa melihat kebelakang."
Naruto menyentuh pipi Sakura. "Terimakasih untuk semuanya." Wajah lugu itu menatap dirinya dengan pandangan teduh. "...berkat kehadiranmu sekarang aku telah menjadi seorang lelaki yang lebih baik dari sebelumnya." Ia mengecup pucuk hidung mungil milik Sakura. Cara menunjukan cinta.
Wanita itu mengajarkan arti cinta dan kesederhanaan kepada Naruto. Menerima apa adanya dan menghidupkan kembali hati yang sudah lama mati, itulah yang diajarkan kepadanya.
"Aku manusia paling beruntung memiliki Istri sehebat dirimu." Naruto kesulitan— bagaimana cara ia untuk menjelaskan semua yang mengaduk-ngaduk perasaan.
Tangan Sakura merambat ke atas. "Apapun yang terjadi, tetap cintai aku dan sayangi aku." Ia menyentuh tengkuk Naruto. "Aku sangat mencintaimu, Suamiku."
Naruto tersenyum lalu menundukan kepala. Mengikuti tuntunan Sakura yang menarik tengkuknya agar merunduk. "Aku juga..." Jempol miliknya mengusap sudut bibir sang Istri. "...aku juga sangat mencintaimu, Istriku."
Sakura menegakan tubuh untuk mengecup kening Naruto, setelah itu ia mendapat sentuhan disisi wajah. Membawa mereka saling berhadapan wajah sementara dirinya masih memeluk Naruto.
Cara yang tepat untuk menikmati kebersamaan, yaitu tanpa melewatkan pelukan terlebih dalam keadaan cuaca dingin.
Kelopak mata Sakura menutup secara perlahan. Dapat ia rasakan daging hangat menyentuh permukaan bibir, tertanda ia mendapat kecupan.
Sudah menjadi kegemaran Naruto dalam kecup-mengecup bibir ranum Sakura. Sehari saja pantang bagi mereka apabila melewatkan satu kecupan saja, itulah termasuk kebiasaan aneh.
Mereka saling membiasakan diri bersama pasangan.
Setelah bibir beralih ke hidung, bahkan sudah menjadi tempat kecupan kedua sesudah bibir yang paling Naruto suka diantara wajah Sakura.
Itu hanya dibagian wajah, jika tubuh tentu saja yang ada diarea pangkal paha Sakura. Sesuatu yang sangat nikmat dengan sebutan surga dunia, dan Naruto begitu menggilainya.
Mengenai sesuatu, ada satu rahasia besar yang belum pernah orang lain ketahui. Cukup Naruto seorang yang tahu, mungkin suatu saat akan diceritakan kepada Sakura.
x X x
Ctap!
Harows dart menancap tepat mengenai selembar foto yang terpajang di dinding. Si pelaku tersenyum puas lalu meraih cawan plastik untuk menyeruput kopi susu yang sudah dingin sejak tadi.
Iris hijau dengan sklera merah itu meneliti selembar foto yang terletak diatas meja. Dibalik masker hitam yang menutup sebagian wajah, ia menggumamkan sesuatu yang tak dapat di mengerti.
Di meja bundar itu terlihat barang-barang berserakan. Kantung belanjaan, beberapa alat elektronik, lembaran foto lalu senjata api dan belati. Semua kacau tak terbentuk.
Kakuzu melirik ke arah ponsel genggam miliknya yang tengah berdering. Ia meraihnya tanpa bergerak dari tempat duduk, lantas menjawab panggilan tersebut.
"..."
Pria dengan perawak menyeramkan itu enggan membuka suara lebih dulu. Biarkan orang diseberang sana menyapa duluan.
"Aku ingin nyawa Naruto Namikaze."
Mata Kakuzu menyipit, tertanda sudah terbentuknya seringai dibalik masker ketat tersebut.
"Datanglah ke tempatku pukul—"
"Tidak." Penolakan bernada dingin terlontar. "...aku tidak akan keluar, jika kau benar-benar menginginkan nyawa Naruto Namikaze maka datanglah padaku."
Hiashi mendesah. "Baiklah, berikan alamatmu padaku."
Kakuzu membuka laptop. "Beberapa menit lagi alamatnya akan datang via pesan." Ia menyalakan barang tersebut lalu membuka
website .
"Oke."
Tut.
Panggilan mereka berakhir.
Sebelum bertindak Kakuzu perlu mencari tahu informasi lengkap seorang Naruto Namikaze, karena profesinya menjadi seorang pembunuh bayaran yang di sewa khusus untuk menghabisi pengusaha. Intinya, yang menjadi sasaran tidak jauh-jauh dari pengusaha. Sejauh ini menjalankan pekerjaan selalu pengusaha yang dilenyapkan oleh Kakuzu.
Perkara kekalahan, kerugian dan reputasi, beberapa alasan yang membuat nyawa bisa di beli dengan uang. Mereka terlampau tamak sementara si pelaku mata duitan.
Kekejaman dunia politik tidak akan pernah selesai sebelum dunia mencapai pada usia tertua, yaitu berakhir.
Tak membutuhkan waktu lama, tujuan awal Kakuzu telah tercapai. Ia berhasil menemukan biodata lengkap Naruto Namikaze di website .
Naruto Namikaze seorang pengusaha muda yang tenar. Namanya di kenal jauh hingga keluar Negara, jadi ini bukanlah misi yang mudah untuk dituntaskan.
Kakuzu perlu menyusun rencana untuk memulai pekerjaan di keesokan hari, kalau malam ini ia perlu menemui klien untuk menerima uang muka.
Hiashi Hyuga tidak bisa hidup dengan tenang sebelum menewaskan Naruto, karena hanya dengan cara itu nama baiknya bisa kembali.
x X x
Kaki jenjang berbalut high helss merah tengah melangkah— melewati beberapa orang dalam gedung tersebut. Empunya menampakan wajah gusar, namun tetap tak membuang kecantikannya.
Tentu saja Ino Yamanaka selalu tampil cantik di mata mereka.
Wanita itu kembali lagi ke kantor Naruto setelah beberapa hari yang lalu datang mencari Naruto dan tak dapat ia temukan karena alasan sedang pergi keluar kota.
Sudah lama Naruto cuti, terakhir kali saat Ino menemuinya disebuah Hotel. Pada hari itu Naruto sedang rapat, ia tahu dan bergegas menyusulnya.
Tapi apa, jauh-jauh datang Naruto malah menolak kehadiran Ino. Meninggalkan Hotel begitu saja setelah rapat selesai, sebelum itu dia tak menjawab ketika Ino mengajak makan siang bersama.
Naruto semakin dingin dan menyebalkan setelah menikah, kali saja mendapat ajaran buruk dari Istri nya yang bermahkota unik itu.
Ino pikir begitu kejadiannya hingga merubah kepribadian Naruto.
"Hey!"
Seruan tersebut menghentikan niat Ino ketika hendak membuka pintu yang diketahui ruangan khusus milik Big Boss.
"Oh shit!"
Dia Gaara Sabaku.
Cepat-cepat Ino melesakan diri ke dalam sebelum Gaara sampai, setelah itu langsung ia kunci pintu ruangan dari dalam. Mengurung diri bersama Naruto.
Wanita itu menghembuskan nafas lega.
Gaara mengumpat. "Kali ini kau sendiri yang harus menyelesaikan masalah kalian." Ia bergumam pasrah. Ino tidak akan berhenti jika dirinya selalu ikut campur.
"Apa yang kau lakukan disini?"
Pertanyaan barusan menyadarkan Ino.
Melihat kedatangan wanita pirang itu membuat acara makan siang Naruto terhenti. Ia menatap sosok tersebut dengan kening berkerut.
"Ah, kau sudah pulang!" Akhirnya penantian ini telah sampai pada batasnya. Tiga hari Naruto cuti untuk pergi ke Tokyo, selama itu pula Ino dibuat uring-uringan tak menentu.
Tiga hari berturut-turut Ino terus mendatangi perusahaan, namun hanya membuat dirinya mendesah kecewa saat berulang kali dikatakan Naruto sedang bepergian keluar kota.
Beruntung hari ini Naruto sudah terlihat di kantor.
"Kau pergi ke Tokyo tapi tidak mengajak aku." Ino mengerucutkan bibir. Sembari menghentak-hentakan kaki kini ia menghampiri tempat Naruto.
"Untuk apa aku mengajakmu?"
Ino mendengus sebal. Ia tak suka dengan pertanyaan barusan. "...tentu saja untuk berduaan disana." Jawabnya sesuai yang dipikirkan.
Naruto menggelengkan kepala. "Bodoh, apa gunanya Istriku jika pergi liburan aku malah membawa perempuan lain." Ia menghela nafas. Cinta buta telah membuat otak Ino bolot.
"Cukup meninggalkan dia di rumah, lalu kita bersenang-senang dalam satu kamar yang sama." Cerocosan itu tidak menggunakan rem sehingga melajukan setiap kata dengan seenak jidat.
"Sudahlah Ino, jangan suka mengada-ngada." Naruto memutar arah bingkai foto yang terletak di meja kerja miliknya. "...kau sudah kalah dengan wanita ini jadi berhentilah mengharapkan diriku." Jelasnya seraya menunjukan foto mesra dirinya bersama Sakura dalam rangkaian bingkai kecil.
Aquamarine tersebut menatap bingkai yang ada di meja Naruto dengan sorot tak senang. "Jangan bohong Naruto. Kau pasti tidak mencintai perempuan itu, karena dia sama sekali tidak seperti seleramu."
"Istriku bukan bahan makanan."
"Kau pernah bilang kalau mengenai wanita memerlukan fisik yang sempurna, baru kau mau memiliki wanita seperti itu."
Jika begini sama saja dengan memulai perdebatan. Ino tidak ingin kalah dengan wanita sesederhana Sakura.
"Tapi cintaku tidak memandang fisik."
Suara dingin Naruto membuat Ino tertegun.
"...selama ini aku cukup bersabar saat menghadapimu sebab aku masih menganggapmu sebagai temanku, tapi kali ini aku tidak akan tinggal diam barang siapapun yang berani menjelek-jelekan Istriku."
Ino menggigit bibir. Baru saja kata-kata Naruto melukai hati, namun ia hanya diam sambil terus mendengarkan.
"Sakura tahu yang aku rasakan. Dia selalu ada untukku, menemaniku, menerima diriku apa adanya dan seseorang yang sudah mengajarkan arti cinta kepadaku."
Tangan Ino terkepal. "Jadi cinta yang aku berikan kepadamu tidak berarti apa-apa?" Sekarang ia marah. "Kau anggap apa kehadiranku selama ini? Kau terus mengabaikan cinta yang aku berikan kepadamu dan sekarang seenaknya bilang kau baru mengenal cinta setelah bersama wanita itu."
Naruto memejamkan mata selama sesaat. "Kau tidak pernah mencintaiku, Ino."
"Apa maksudmu berkata seperti itu!?" Perkataan Naruto membuat amarah Ino lepas tak terkendali. Ia menarik-narik lengan pria itu untuk menagih penjelasan seperti hutang.
"Perasaanmu kepadaku bukan yang tulus cinta, tetapi obsesi. Kau itu egois Ino!" Naruto berdiri.
Ino menggeleng keras. Menolak tudingan tadi. "Itu tidak benar. Aku mencintaimu setulus hatiku... aku sangat mencintaimu Naruto." Ia tak pernah lelah mengungkapkan perasaan.
Naruto berusaha membebaskan diri. Bersusah payah ia melepaskan pelukan erat di lengan. "Sudah cukup Ino, aku lelah menghadapi sikap labilmu ini."
Dari dulu hingga kini hati Naruto tak pernah bisa menerima cinta Ino. Bukan cinta yang dimiliki oleh wanita itu melainkan nafsu semata, hanya karena ia bersikap baik bukan berarti cinta.
Baik ada banyak alasan, salah satunya untuk saling menghargai satu sama lain tetapi Ino malah salah menganggap kebaikan Naruto.
Jika cinta yang tulus maka Ino tak kan pernah menjerumuskan Naruto ke jalan yang salah. Mengajari dirinya untuk berbuat tak senonoh, seperti memaksanya untuk melakukan perbuatan dewasa dimasa remaja.
Cinta Ino tidaklah tulus. Dia punya cinta yang salah.
"Kau menyakitiku." Liquid menumpuk penuh dipelupuk mata Ino.
Naruto berhasil melepas pelukan erat terhadap lengannya. "Maaf untuk sikapku kali ini." Jika terus menghindar hanya akan memperparah keadaan Ino. Memerlukan kejujuran untuk menyelesaikan masalah mereka.
Ino menyeka sudut mata dengan sentuhan kasar. "Baiklah jika itu maumu." Ia memberi jarak antara tubuh mereka. "...tapi jangan salahkan aku kalau terjadi sesuatu diantara kita."
"Apa maksudmu?" Mirip seperti ancaman.
"Kelak kau akan tahu sendiri." Jawaban itu penuh akan makna, lantas Ino segera melenggang membawa kepedihan dalam hati.
Memang sejak dulu Naruto tidak bisa dimenangkan dengan mempertaruhkan tubuh. Ino tak bisa berbuat apa-apa lagi kecuali mengambil jalan pintas.
Semua akan berubah dalam sekejap.
x X x
Ruang kamar itu tampak kacau. Beberapa alat make up berhamburan, tempat tidur kacau seperti kapal pecah lalu pecahan kaca dari vas bunga berserakan di lantai.
Lelah dengan semua ini, Ino Yamanaka menghempas bokong pada tepian ranjang. Duduk disana dengan nafas tersengal usai mengamuk bak orang kesetanan.
Dari semalam tidak sedikitpun Ino bisa tenang sejak kejadian di kantor Naruto. Matanya menolak keras untuk terpejam sehingga terpaksa mengomsumsi obat tidur. Mampu menenangkan hanya beberapa jam, setelah bangun di pagi hari Ino tak dapat lagi mengendalikan diri, ia kemudian melepaskan semua beban itu melalui amukan.
Ino merasa hidupnya telah dihancurkan oleh Naruto. Jika bisa ia juga ingin menghapus rasa cintanya kepada sang pujaan hati, namun sudah pernah mencoba sekeras mungkin dan hasilnya nihil.
Cinta itu sudah merasuk ke dalam jiwa dan raga Ino.
Di tengah mencengkeram sisi kepala, sekelebat pikiran jahat melintasi benak dengan sekilas. Ino terdiam ketika mengingat hal yang sempat ia lupakan.
Ino bergerak cepat meninggalkan kamar menuju kamar sebelah, dimana saat itu seorang balita sedang terlelap disana.
Tanpa basa-basi, perempuan blonde itu langsung membuka pintu kamar yang tadinya tertutup. Ia menyelonong masuk kemudian menjenguk sang balita yang juga memiliki mahkota pirang pucat seperti miliknya.
Dengan cepat Ino memanjangkan kedua tangan dan mengambil balita mungil tersebut secara hati-hati. Ia memomongnya selama beberapa menit, yang membuat kelopak sang Bayi terbuka.
Iris shappiremenyapa aquamarine milik Ino.
Wanita itu bergegas melangkah keluar sembari membawa balita dalam gendongan, sesuatu yang ingin ia buktikan kepada Naruto bahwa dulu mereka pernah mempunyai hubungan khusus.
Hubungan yang tak diketahui oleh siapapun selain Ino sendiri.
Kali ini Sakura akan kalah secara telak.
x X x
Orang di luar sana menekan-nekan bel seakan mendesak Sakura atau Naruto agar secepatnya membuka pintu, membuat heran si pemilik rumah yang kala itu sedang sibuk menyiapkan keperluan untuk kerja.
Terpaksa Sakura meninggalkan kesibukan. Menunda sejenak tugasnya dalam mempersiapkan barang-barang milik Suami nya demi menemui si tamu.
Naruto mengikuti Sakura kedepan untuk melihat yang sedang terjadi, untuk itu ia berhenti menghias diri di depan cermin.
Sentuhan pada lengan Sakura membuat langkahnya terhenti tepat setelah mereka tiba di depan pintu. "Biar aku saja yang buka pintunya." Naruto takut kalau tamu di luar sana bukan orang baik-baik lalu menjadikan Sakura sebagai sasaran utama.
Untuk melindungi Sakura biarpun nyawa yang menjadi taruhan rela-rela saja Naruto lalukan. Sakura sangat berarti dalam hidupnya.
Istri merah muda itu tak bisa protes saat dengan cepat Naruto mengambil alih posisi mereka. Bertukar tempat untuk membukakan pintu.
TING TONG!
TING TONG!
Desakan demi desakan terus berlanjut, hingga kemudian pintu telah di buka.
CEKLEK!
Kehadiran Ino bersama seorang balita sukses membuat Naruto terkejut, begitu pula dengan Sakura yang berdiri dibelakangnya.
Ino melenggang masuk membawa sang balita.
Sementara itu keadaan di luar rumah, Kakuzu sedang menanti kemunculan Naruto dari balik batang pohon raksasa. Ia tahu benar saat-saat sang target keluar dari Istana sederhana tersebut.
Menggunakan teropong kecil bawaan dari senjata api, Kakuzu terus mengawasi bangunan tak bertingkat disana. Sebelah matanya terkatup lama agar tepat mengenai sasaran ketika melepas tembakan.
Tempat ini cukup sepi, situasi yang mendukung Kakuzu untuk menyelesaikan pekerjaan berat yang dijalani tapi sialnya mau tak mau ia harus harus mengurungkan niatnya sekarang juga.
Kakuzu memaki mobil Mitsubishi yang terparkir tak jauh dari kediaman Naruto Namikaze. Tidak salah lagi, mereka pasti gerombolan polisi yang menjaga keamanan Namikaze.
"Anjing!"
Kakuzu menyimpan kembali senapan panjang miliknya. Ia masukan ke dalam koper mini lalu segera melenggang dari tempat memuakan ini setelah mencerca jengkel.
Hari ini gagal, tapi masih ada hari esok, esok dan esok. Semua pasti beres tepat pada waktunya.
Sakura tak menyambut kedatangan Ino dengan apik, justru ia beri tatapan tajam kepada perempuan itu. Dia masih berani datang lagi setelah kejadian waktu itu.
Padahal sudah diusir tapi muka cantik itu terlalu tebal untuk menanggung malu. Sayang sekali kecantikannya menjadi tersia-siakan oleh cinta yang bertepuk sebelah tangan.
"Kau lagi..." Suara Sakura tertahan. Ia muak melihat kehadiran wanita itu di Istana sederhana milik mereka.
Ino membalas tatapan dari emerald
dihadapannya. "Urusanku bukan denganmu." Kemudian tatapannya beralih arah. "...karena urusanku hanya dengan Naruto." Ia mendekati pria itu.
Naruto menyadarinya. Sesuatu yang tidak beres akan membuat semuanya tak terkendali. "Sekarang apa lagi...?" Harapannya adalah kedatangan Ino kesini tidak membawa niat buruk.
Kerutan di dahi Sakura semakin menebal. Ia bertanya-tanya ketika melihat perempuan itu menyerahkan balita pirang kepada Naruto dengan memindahkan gendongan darinya.
Mau tak mau terpaksa Naruto menerima balita mungil sodoran Ino, daripada jatuh terhempas di lantai yang keras. "Ap-apa ini!?" Ia menatap sang balita dalam gendongan.
Mata mereka saling bertemu. Bola mata bewarna biru lengkap yang terlihat seperti mata Naruto, kemudian rambut sama pirang pucatnya seperti milik Ino.
Mahkota mereka tidak berbeda, hanya saja warna pirang pada rambut Naruto sedikit lebih cerah daripada rambut Ino dan si balita.
Mendadak perasaan Sakura bergerumuh tak karuan. Jantungnya berpacu cepat— seolah tahu yang akan terjadi setelah ini.
"Shion Namikaze. Putrimu... anak kita berdua, Naruto." Penjelasan Ino seperti petir yang menggelegar di tengah teriknya matahari.
Mata Sakura membulat sempurna, begitu pula dengan Naruto.
Drama murahan macam apa lagi ini?TO BE CONTINUE...