"! "
Sakura terkejut. Benar-benar terkejut. Itu bukan surat biasa melainkan surat luar biasa.
"A-apa maksudnya ini?"
Surat Keterangan Keguguran
Dugaan Ino tidak meleset, tepat mengenai sasaran. Sakura terkejut. Ia menghela nafas kemudian menempatkan kedua tangan dibelakang badan. Menyanggah tubuh untuk duduk setengah bersandar dengan tangan yang menjadi tiang.
"Sebelumnya aku memang pernah Hamil." Perempuan pirang itu melirik Sakura disebelahnya. "...Hamil anak Naruto."
Tidak. Sakura menolak percaya. "Aku lelah menghadapi semua kebohonganmu." Ia meremukan surat di tangan hingga menjadikan gumpalan kusut, kemudian meletakan sampah tak berguna itu diantara mereka.
Kalau bisa memutar waktu kembali ke waktu sebelumnya, Ino bersumpah tidak akan pernah melakukan perbuatan keji- melakukan kebohongan dengan menjadikan Shion sebagai anak palsu Naruto.
"Aku memang pembohong, tapi ada kalanya seorang pembohong berkata jujur... sayangnya tidak semudah itu mendapat kepercayaan orang."
Sakura menyimak perkataan Ino yang lagi-lagi sebuah kebohongan belaka. Ia pikir begitu.
Ino tersenyum samar setelah itu melanjutkan lagi kalimatnya. "Aku tak memaksamu untuk percaya soal surat itu, tapi ketahuilah kalau kali ini aku tidak bohong seperti waktu itu."
Wanita pingkish itu meremat jemari. Lagi-lagi kenyataan menyakitkan. "Jelaskan padaku." Pintanya.
"..."
Ino tidak langsung menjawab. Diam sejenak untuk mengumpulkan ingatan satu tahun silam, saat di mana ia dinyatakan Hamil namun keguguran.
"Aku bekerja keras setelah menetap di New York. Siang malam hingga tak tahu waktu, aku juga sangat berambisi memenangkan cita-citaku dalam dunia entertainment sampai pada suatu hari aku jatuh sakit. Sakit yang begitu parah."
Sudah menjadi keputusan Ino menceritakan kepada Sakura kejadian yang ia alami di New York. Sakura cukup baik dalam berteman. Ia tahu soal itu hanya melalui sifat.
"...terakhir yang kuingat, aku pingsan di tempat kerja, begitu tersadar aku sudah berada di Rumah Sakit. Mereka bilang bahwa rahimku sedang berisi, karena tidak menjaga kesehatan maka janin tak berdosa itu menjadi korban. Janinku tewas."
Sakura lekas menyentuh perut kala mendengar kalimat jani, lalu ia mengusapnya dengan pelan.
Secepatnya Ino mengusap sudut mata begitu menyadari setitik air mata lolos. Ia pasti menangis kalau ingat kelalaiannya terhadap sang janin, padahal kalau saja tahu ia akan mengabari Naruto dan pastinya Naruto tidak keberatan menerima dirinya.
Mereka pernah saling suka. Ino tahu Naruto pernah menyimpan rasa terhadapnya, hanya saja lelaki itu merasa gengsi untuk mengungkapkan perasaan, tapi karena perasaan itu pula yang membuat ia nekat dan berani menyerahkan seluruh tubuh.
"Kalau tahu sedang Hamil aku bersumpah demi nama Tuhan akan merawat janin itu sebaik mungkin. Andai saja aku menyadari gejala-gejalanya sejak awal dan tidak berpikir badanku meriang karena bekerja terlalu keras, mungkin saat ini anak kami sudah sebesar Shion."
Harusnya Sakura tidak bahagia di atas penderitaan Ino. Itu sangatlah kejam, tapi jujur saja bahwa ia merasa lega Ino keguguran. Ia bersyukur kepada Tuhan Naruto tidak benar-benar mendapat anak dari Ino. Ia sangat mensyukurinya.
"Aku sangat menyesal atas kejadian waktu itu." Ino tertunduk sedih.
"Tidak! Aku tidak mau janinku diangkat. Aku ingin dia tetap berada di dalam rahimku sampai kapanpun!"
Dokter yang menangani Ino bersikeras mencekal pergelangan sang pasien. Menahan setiap rontaannya.
"Tapi maaf Nona, apapun yang terjadi kami harus menangani masalah Anda secepat mungkin. Ini juga demi kebaikan Anda sendiri."
"AKU TIDAK MAU!"
Dokter itu tak punya pilihan. Dengan terpaksa ia memberi suntik bius kepada Ino, membuat perempuan itu ambruk setelah lima detik berlalu. Kalau tidak diberi obat penenang dia akan terus mengamuk.
Sakura menatap sedih Ino yang tengah menangis dalam diam. "Aku turut berduka cita."
Lagi dan lagi Ino membersihkan sisa air mata di pipi. Menyekanya dengan punggung tangan. "Terimakasih, tapi boleh 'kah aku minta satu hal kepadamu?"
"..." Sakura berharap permintaan Ino tidak aneh. "Tentu."
Wanita pemilik iris aquamarine itu meraih tangan Sakura. "Jangan pernah katakan soal ini kepada Naruto, aku takut dia akan membenciku selamanya. Sudah cukup kebencian ini yang kutanggung, aku tak ingin semakin dibenci lagi oleh Naruto."
"Apa maksudmu berkeinginan seperti itu?"
"...karena aku tak ingin kehilangan Naruto lagi."
"Jadi kau masih mengharapkan Suamiku?"
"Tidak Sakura, bukan begitu."
"Lalu?"
Ino menatap Sakura dengan bersungguh-sungguh. "Aku hanya tidak ingin dibenci lagi. Aku memang mencintai Naruto, tapi sekarang aku sadar tidak akan bisa memiliki dia karena sudah dimiliki olehmu. Aku pikir cukup memerhatikan dia dan turut bahagia jikalau dia bahagia, hanya itu yang aku inginkan." Kini ia sadar benar bahwa tak semua cinta harus memiliki.
Seulas senyum terukir di bibir mungil Sakura. Ia senang Ino menyadari kesalahannya dalam memaksakan cinta Naruto.
"...aku ingin Naruto selalu ada, meski tidak bisa memiliki tapi yang terpenting aku masih bisa melihatnya." Ino langsung sadar setelah sempat kehilangan Naruto dalam kecelakaan waktu itu. Rasanya begitu sakit. "Kau mau 'kan berjanji untukku?"
"Apapun itu, asalkan untuk Naruto aku tak ragu berjanji."
Ino mengangkat tangan Sakura yang sejak tadi ia sentuh. Kali ini digenggam, sementara Sakura sendiri yang diperlakukan sebaik itu dari orang seantagonis Ino dibuat bertanya-tanya.
"Tolong jaga Naruto, jangan pernah menyakiti dia."
"...tanpa kau minta sekalipun aku tak kan pernah menyakiti Naruto."
Senyum puas terlukis di wajah Ino. "Manusia pasti bisa khilaf, oleh karena itu aku memintamu untuk berjanji. Kau mau menepati janji itu, maka ingatlah apabila suatu hari nanti Naruto tidak bahagia jangan harap kau bisa hidup damai seperti saat ini. Aku pasti datang menghantuimu."
"..." Sakura terdiam. Ia percaya apa yang baru saja dikatakan oleh Ino bukan omong kosong belaka. Dia wanita super nekat melakukan apa saja demi orang yang dicintai.
"Aku hanya mengingatkan agar kau tak menyia-nyiakan perngorbananku."
Ino berhenti memegangi tangan Sakura setelah dirasa cukup membuat janji. Kini ia kembali pada posisi awal, menikmati lautan.
"...aku akan mengalah. Sekarang Naruto milikmu."
"Lalu kau?"
Ino menghela nafas singkat. "Aku tetap di sini bersama kalian, tapi tidak untuk menganggu lagi. Mungkin lebih baik jika aku menjadi sahabatmu."
Mendengar pernyataan Ino membuat Sakura terkejut. "Sahabat?" Terdengar aneh, tapi.
"Maaf atas semua yang telah aku lakukan selama ini kepada kalian. Sungguh, aku sangat menyesalinya." Ino memutar arah tubuh. Menghadap ke arah Sakura sepenuhnya. "...mau 'kah kau menjadi sahabatku?"
Sakura menatap kelingking lentik milik Ino yang tersodor di depan wajahnya, hanya beberapa detik setelah itu tatapannya kembali beralih pada wajah cantik di hadapannya.
Apa itu sahabat?
Yang Sakura tahu, arti sahabat lebih dari teman.
Set.
Ino tersenyum hingga mengekspos deretan gigi-giginya saat kelingkingnya dibalas kait oleh Sakura. Persahabatan yang ia ajukan diterima.
"Lupakan yang pernah terjadi, sekarang kita sahabat sejati selamanya..." Kepala pirang Ino mengangguk penuh semangat. Sakura tertawa cekikikan, lantas segera menarik wanita pirang itu hingga mereka terlihat saling berpelukan.
Keduanya saling berbagi pelukan sahabat dengan perasaan bahagia. Mereka baru saja menjadi sahabat.
Ino memeluk Sakura sedikit erat. Kedua matanya terpejam di tengah menikmati pelukan mereka. Sakura juga menutup mata. Memeluk sahabat pirangnya sembari tersenyum.
Siapa sangka perseteruan antar kedua perempuan itu selama ini tanpa sadar mendekatkan mereka. Tanpa rasa canggung keduanya langsung akrab layaknya benar-benar sahabat lama.
Ino menceritakan kisah hidupnya usai menyudahi pelukan mereka, pertama Sakura hanya mendengarkan namun lama semakin lama ikut bercerita.
Dikala ada obrolan lucu, gelak tawa dari keduanya tak dapat teralekan lagi. Terdengar ramai di ujung jembatan tersebut.
Hari ke hari Ino dan Sakura semakin dekat. Begitulah akhir dari perkelahian mereka dulu dalam memperebutkan satu pria yang sama, dan pastinya hanya satu yang menjadi pemenang.
Sakura pemenangnya, sementara Ino memilih mengalah dengan cara mundur dan menyerahkan Naruto kepada pemilik seharusnya. Sekarang ia sudah sadar dari kesalahan.
x X x
Nyaris melahap suapan kesekian kali, niat tersebut terpaksa terhenti saat netra tajam milik Naruto mendapati kehadiran Ino dibelakang Sakura, tepat di depan pintu kamar. Ia tertegun di tempat.
Melihat gelagat aneh Naruto, perhatian Sakura teralihkan dan mengikuti arah pandang Suami nya tertuju. Sama halnya dengan Naruto, ia turut tertegun selama beberapa saat. Hanya beberapa saat, selang beberapa detik kemudian ia bangkit dari duduknya. Meninggalkan tepian ranjang lalu menghampiri Ino.
"Pig , kenapa tidak beri kabar kalau kau akan datang?"
Sapaan Sakura terhadap Ino membuat Naruto memiringkan kepala karena heran. Ia menyadari ada perubahan dalam hubungan kedua perempuan berbeda mahkota itu.
Ino meraih kedua tangan Sakura. "Kejutan." Jawabnya lantas tersenyum amat riang.
Sakura terkikik. "Lumayan mengejutkan."
Pemilik iris aqumarine itu menatap Sakura sejenak, hingga kemudian mendekatkan bibir pada telinganya. Membisikan suatu permintaan- yang mungkin agak konyol dan- lancang.
"..." Naruto terheran-heran, namun tetap diam dan terus menyaksikan kedekatan Sakura dan Ino.
Mengernyit tak senang mendengar permintaan Ino, namun sebagai sahabat tentu saja Sakura tidak bisa menolak, terlebih lagi Ino sudah mau mengalah, tidak ada salahnya memberi kesempatan terakhir.
"Baiklah." Jawaban Sakura memberi persetujuan.
Padahal belum pulang, tetapi Ino nekat sekali datang kekediaman Tsunade demi menemui Naruto. Di situlah letak kekaguman Naruto terhadap Ino. Perempuan pemberani dan super nekat, namun karena nekat yang sangat keterlaluan pula yang membuatnya tidak suka kepada Yamana bungsu itu.
Usai mendapat izin, Ino langsung melangkah masuk ke dalam kamar. Sakura membalik tubuh, menatap pada punggung ramping Ino yang saat ini sedang menghampiri Naruto.
"Ada apa lagi?"
Kepala pirang itu menadah guna menatap Ino. Terang saja mendongak, mengingat saat ini pemilik netra biru nan tajam itu sedang duduk di tengah ranjang.
Naruto baru saja bangun, itupun karena Sakura membangunkan dengan membawakan ramen sebagai menu sarapan, alasan dirinya masih berada di tempat tidur tanpa busana.
"Ingin melakukan drama murahan lagi 'kah?'
"..."
Ino tak memberi jawaban semacam apapun. Terus mentap wajah rupawan yang dipahat secara sempurna itu dalam diam.
Sakura tak bergerak. Hanya menanti dan menanti.
Naruto semakin bingung dengan keadaan saat ini. Ino yang mengerti segera menaikan kedua kaki, merangkak ke tempat Naruto, mendekat kepada pria itu lalu...
"! "
Sakura mengalihkan pandangan ke arah lain. Mungkin menatap pemandangan dari dinding kaca cukup membantu, paling tidak ia tak menyaksikan perbuatan Ino kepada Suami nya.
Ino menutup kedua mata rapat-rapat. "Maafkan aku, Naruto." Pintanya dengan bisikan lembut serta pelukan erat. "...maaf atas semua kesalahan yang pernah aku lakukan. Tapi Naru, sesalah apapun tolong jangan jauhi aku. Biarkan hubungan kita berjalan dengan baik, dan aku berjanji tidak akan berulah lagi. Kau bisa pegang janjiku."
Naruto bisa menjadi pendengar yang baik, dan tentunya pemaaf bak malaikat. Permintaan Ino membuat kekerasan hatinya luluh, bahkan menghilangkan kebencian dalam hati. Ia mendengarkan semua permintaan Ino tanpa membantah. Ia juga akan mengambulkan semua permintaan Ino tanpa keraguan.
Semua orang layak diberi kesempatan, Naruto hanya melakukan apa yang harus ia lakukan termasuk memaafkan semua kesalahan Ino, terlebih Ino juga sahabat lamanya dan yang pasti ia melakukan semua ini atas izin Sakura.
Perempuan itu menatap Naruto yang ada di tempat tidur bersama Ino dengan sorot lembut. Seolah mengatakan kau malaikatku , melalui cara pandangnya yang berbeda.
Sementara itu, dibelakang Sakura dihadiri Gaara yang baru saja datang, dan kini turut menyaksikan pelukan Ino terhadap Naruto. Ia terpaku melihatnya, dan tentunya ada rasa sesak dalam dada.
x X x
Mata biru nan tajam itu mengamati pergerangan sang Istri di depan mata, di mana saat ini perempuan manis itu sedang sibuk sendiri dengan obat-obatan dalam nampan.
Untuk siapa lagi obat itu kalau bukan Naruto.
Lagi-lagi obat. Pria itu mendesah malas. "Aku sudah sehat. Obat itu tidak diperlukan lagi."
"Ini bukan obat, tapi vitamin... sangat bagus untuk kesehatan." Sakura menjawab tanpa menghentikan kesibukan. Menyediakan beberapa vitamin di tangan.
"Aku tetap sehat meski tidak menggunakan obat itu."
Sakura berdiri setelah beberapa saat membungkuk. "...kalau minum vitamin kesehatanmu menjadi berlipat ganda. Pasti jadi kebal." Ia meraih tangan Naruto, menelentangkannya lalu menaruh dua butir vitamin di atas telapak lebar itu.
Tidak langsung ditelan, Naruto malah mengamati vitamin di tangannya. "Vitamin tapi kenapa rasanya pahit-pahit asam." Ia bergumam.
"Apa?" Sakura tidak mendengar gumaman Naruto tadi.
"Tidak apa-apa." Naruto sudah mengangkat tangan hendak menelan vitamin tersebut, namun ada sesuatu yang aneh sehingga menggaggalkan niatnya.
Ctak!
Sakura tersentak.
Ctak!
Itu benik kedua yang putus dari kemeja Sakura yang berlengan pendek. Naruto menatap ke arah dada sang Istri, sesuatu yang menunda waktunya minum vitamin.
Sakura langsung meletakan kembali gelas air di nampan, kemudian segera mendekap dada dengan wajah bersemu. Suami nya itu mengerjap-ngerjap polos seraya menatap lama dirinya.
"Sakura, dadamu..." Naruto langsung berdiri setelah mengembalikan vitamin tadi pada tempatnya. "Ke-kenapa bisa seperti itu?" Ia menghampiri sang Istri.
"Mu-mungkin ba-bajunya." Sakura membalik tubuh membelakangi Naruto. "A-aku akan gant-"
Teph!
"Tidak, itu bukan gara-gara baju." Naruto mendekatkan bibir pada telinga Sakura tanpa melepas cekalannya. "Baju itu rusak karena payudaramu." Tangan kanannya yang menganggur bergerak nakal merayap dipinggang Sakura hingga naik ke atas. "...ukuran payudaramu bertambah. Kira-kira berapa?"
Terkaan Naruto benar-benar tidak meleset pada saat telapaknya menangkup buah dada Sakura. Rasanya lebih besar dari sebelum-sebelumnya.
"Sekarang aku sudah menemukan vitaminku." Kini Naruto sedang tersenyum genit dibelakang Sakura.
Perempuan itu menggeliat tak nyaman dalam rangkulan Naruto. "Naru, aku masih sibuk." Jangan pikir ia tak memahami maksud dari perkataan sang Suami.
Naruto merundukan kepala, lalu menempatkan hidung pada lekukan leher Sakura. Menyesap wangi khas yang membuatnya selalu mabuk. "Tinggalkan saja dulu. Aku tidak tahan kalau harus menunggu." Suaranya terdengar serak menggoda.
Berpikir sejenak, beberapa detik kemudian Sakura berhasil mendapat ide. Setidaknya bisa menunda waktu sekitar tiga puluh menit menjelang hari semakin malam. "Tapi ada satu syarat."
"Apa?" Naruto menarik nafas panjang dan dalam. Mengirup wangi tubuh Sakura serakus-rakusnya. "...katakanlah."
Sakura meraih kedua tangan Naruto, melinggarkan pada perutnya, kemudian ia peluk dengan tangan. "Ceritakan dulu moment lamaran Hyuga."
Naruto terdiam sejenak mendapat permintaan tersebut
"Baiklah."
FLASHBACK
Melihat kedatangan Naruto membuat senyum di wajah Hiashi melebar. Segera ia bangkit lalu menyambut kedatangan sang Tamu dengan raut bahagia yang tak tanggung-tanggung.
Suatu kebanggaan terbesar Mansion megah Hyuga dipijak oleh pengusaha sukses. Hiashi merasa begitu bangga kediamannya didatangi oleh Naruto.
"Selamat datang, Tuan Namikaze." Lelaki berambut panjang itu lekas menarik kursi untuk mempersilahkan Naruto duduk dihadapan meja. "...silahkan Tuan."
Naruto tidak menolak saat ditawari duduk. "Terimakasih." Katanya sesudah duduk.
Hiashi menatap pemuda tampan dihadapannya dengan wajah berseri-seri. "Sudah lama sekali saya ingin mengajak Anda makan malam bersama di rumah ini. Sangat menyenangkan sekali bisa menghabiskan malam bersama Anda."
"Bukan 'kah Anda bilang ada rundingan?" Naruto dibuat risih mendengarkan celotehan beruntun Hiashi, maka ia bertanya langsung pada intinya.
Hiashi tertawa geli. "Oh ya, itu benar sekali." Ia berdehem sebelum menyerukan orang di dapur. "...Putriku, tolong bawakan Teh panas untuk Tuan Namikaze." Mereka akan menikmati Teh panas dulu sebelum memulai makan-makanan berat.
"Baik Ayah."
Suara lembut dari seorang gadis menyahut seruan Hiashi tadi. Setelah berseru, ia kembali menatap Naruto dengan raut sulit diartikan. Ada bahagia, deg-degan dan harapan.
"Rundingan kita kali ini soal pernikahan."
Naruto mengernyitkan kening, tanda bahwa ia tidak paham mengenai keinginan Hiashi.
Beberapa detik menjeda kalimat, selama itu pula memberi kesempatan kepada orang di dapur tadi tiba di ruang tamu seraya membawa nampan di tangan.
Pergerakan Hinata terus diamati oleh Naruto. Wanita berambut pendek, pony rata dan warna rambutnya biru tua. Matanya putih tanpa pupil, sama persis seperti si Ayah, lalu kulitnya. Terlalu putih sehingga terlihat pucat. Senyumnya manis, karena pada saat menyodorkam Teh seulas senyum menemani aktifitasnya.
Hiahsi merasa bangga sendiri melihat kecantikan Putri sulungnya. Naruto pasti langsung jatuh cinta. Ia dapat melihat dari cara anak muda itu menatap Hinata. Lekat dan tak pernah luput.
"Dia Putri sulungku."
Tiba-tiba diperkenalkan diri seperti itu membuat Hinata gelagapan tak tentu. Sangking gugupnya, hingga saat ia menyajikan sepiring cookie kering coklat tangannya tampak gemetar.
Naruto segera menyambut piring di tangan Hinata sebelum jatuh. Hiashi tersenyum penuh akan kegembiraan melihat kepedulian pemuda itu terhadap Putri nya.
"Hinata Hyuga, nama Putriku."
Hiashi melanjutkan memperkenalkan Hinata sebagai anak sulungnya. Hinata hendak undur diri, menyadari hal tersebut ia pun tak tinggal diam. Segera menyerukan sang Putri untuk tetap tinggal.
"Sebentar sayang, duduklah dulu di sini. Tuan Namikaze ingin memperkenalkan diri."
Hinata menundukan kepala indigonya. "B-baik Ayah." Setelah itu ia duduk disebelah Hiashi sambil mendekap nampan kosong di dada.
Tangan kokoh Naruto tersodor. "Namaku Naruto Namikaze." Salam darinya diterima tanpa mendapat tatapan. Ia mengernyit tak senang.
Awalnya sempat suka, namun rasa suka itu langsung mengilang setelah menghadapi sikap aneh Putri sulung Hiashi.
Ada hal yang membuat Naruto tidak suka terhadap Hinata.
"Saya ingin menjodohkan Anda dengan Putri saya, apa Anda tidak keberatan?" Hiashi bercakap langsung pada intinya. Ia tertawa lalu kembali berkata. "...alangkah baiknya meminta persetujuan dari yang bersangkutan, setelah semuanya berjalan lancar barulah menuju tahap kedua. Pertemuan keluarga."
"Aku belum siap menikah."
"..." Kata-kata Hiashi terpotong karena penolakan tadi.
"Dan..." Naruto meraih cangkir yang berisikan Teh buatan Hinata, lalu menyeruputnya tanpa dosa. "...aku tak suka wanita lugu."
Hiashi terhenyak.
"Maaf Tuan, Putri Anda terlalu lugu."
Type wanita yang Naruto sukai bukan seperti Hinata. Bodynya memang oke, tapi sifatnya sama sekali tidak membuat dirinya merasa tertarik.
"Aku suka wanita agresif... bagiku sangat menantang." Naruto tersenyum miring. "Kalau yang lugu masih terlalu polos, dan juga..."
Hiashi tak dapat lagi berkata apa-apa. Cukup mendengarkan dengan dada bergemuruh karena hinaan dari mulut tajam Naruto.
"...aku belum berpikir menikah diusiaku saat ini. Kurasa bermain-main dengan wanita sudah lebih dari cukup. JikaTuan Hiashi tidak keberatan, Putri Anda bisa ikut bermain denganku."
Sejak saat itu Hiashi bersumpah akan memberi pelajaran kepada Naruto. Jangan sebut nama Hiashi Hyuga bila tidak bisa melakukan apa yang diinginkan, termasuk membuat Naruto menyesali perbuatannya karena telah merendahkan Putri nya.
FLASHBACK END
Tangan Sakura bergerak cepat menghentikan bibir Naruto yang menyosor padanya. Hendak mengecup bibirnya. Terang saja penolakan tersebut membuat lelaki itu dirundung rasa heran. Ia bingung.
"...jangan seperti itu lagi." Sakura menatap wajah rupawan Suami nya dengan sorot sendu. "Kalau tidak suka terhadap apapun lebih baik diam, jangan menuai kata-kata tak pantas terhadap hal yang tidak kau sukai."
Naruto butuh sedikit pencerahan agar tidak sembarangan melontarkan kata. Sakura akan mendidiknya.
"..."
Pria itu enggan menjawab, namun tatapannya terhadap Sakura begitu lekat dan mendalam, sementara kedua tangannya masih setia melingkari pinggang ramping perempuan itu.
"Apa kau mau memenuhi keinginanku?"
Tanpa menjawab, namun cukup menganggukan kepala. Setidaknya Naruto mau patuh, hal sederhana itu sudah cukup membuat Sakura merasa bahagia, dan tentunya juga lega.
"...aku sudah memenuhi keinginanmu, apa sekarang mau mau memenuhi kebutuhanku?"
Sakura terkikik dengan gelinya mendapat pernyataan konyol tadi. Ia menggeleng kecil lalu menangkup pipi Naruto, membuat bibir lelaki itu bertekuk monyong.
"Lebih dari ini juga bisa."
Mendapat kepastian mutlak, aksi Naruto yang tadinya sempat terhenti kini dimulai kembali. Ia mendekati telinga Sakura lalu berbisik lembut.
"Pastikan semuanya sudah siap... aku ingin mendengar kabar baik mengenai perutmu."
Kepala bermahkota merah muda itu mengangguk patuh. Tanpa ragu lagi ia langsung menarik leher belakang Naruto, membawa sang Suami berada di atasnya dengan kungkungan mesra.
Sakura rasa belum saatnya memberitahu Naruto soal kehamilannya. Mungkin menunggu waktu yang tepat dulu.
x X x
TING TONG!
Segera Sakura menghentikan kesibukannya. Meninggalkan dapur dalam keadaan berserak, sebab ia disibukan dengan masakan untuk makan siang Naruto.
TING TONG! TING TONG!
Desakan bel membuat Sakura mendengus keras "Iya iya, sebentar." Sahutnya dari dalam agar si tamu berhenti memaksa, karena ia sudah tahu dan akan segera membuka pintu.
Ceklek.
"Kyaaaa! Sakura-Chan!"
Pintu terbuka, dan Kushina langsung menyerang Sakura dengan pelukan. Sakura dibuat linglung, terlebih lagi setelah mendapati keberadaan Tsunade dibelakang sang Ibu mertua.
"I-ibu?"
Kushina melepas pelukannya pada Sakura, lalu menatap paras cantik menantu nya itu sembari tersenyum cerah. Sembari menatap ia juga menangkup sisi wajahnya.
"Ada rundingan."
Sakura mengernyitkan dahi. Kushina terkekeh.
"Soal pernikahan."
Tsunade menjelaskan tanpa detail. Tersenyum penuh arti, ia lalu masuk ke dalam rumah minimalis tersebut dan mendekati Sakura bersama Kushina.
"Kami berencana akan menikahkan kalian lagi... kali ini disertai keluarga kita."
Mencernanya selama beberapa detik, hingga kemudian dapat Sakura pahami maksud dari perkataan Tsunade tadi. "Pilihan yang tepat." Ia tersenyum dengan mata menyipit.
Bukan ide buruk mengulang pernikahan mereka. Sakura ingin menikah didampingi keluarga dari kedua belah pihak, dan mungkin saja Naruto tidak keberatan?
Pria itu...
Apapun mau Sakura. Apapun keinginan Sakura, semua pasti langsung dipenuhi tanpa banyak protes.
x X x
Ceklek.
Naruto tersentak. Baru hendak memarahi orang yang membuka pintu ruangannya tanpa izin, niatnya itu segera diurungkan setelah melihat sendiri orang lancang tersebut.
"Sakura."
Wanita itu tersenyum amat lebar. Segera ia menghampiri Naruto dengan penuh keriangan, lalu tanpa basa-basi langsung mengambil tempat duduk di atas pangkuan sang Suami. Bokongnya mendarat sempurna di kedua paha Naruto.
"Ada apa? Tumben sekali mau datang ke kantor."
Sudah lama mereka menikah, baru kali ini Sakura mau menginjakan kaki di perusahaan. Suatu kejutan.
"...sesuatu." Kepala merah muda milik Sakura bersandar dengan nyaman di dada bidang Naruto, mau tak mau membuat pria itu terhenti dari kesibukan. "Ini tentang kita semua. Aku, kau dan keluarga kita."
Naruto menjauhkan laptop demi memfokuskan diri pada Sakura seorang. "Hmm... memangnya soal apa?"
Wanita itu meraih kedua tangan Suami nya, lantas ia gunakan untuk melingkari sekitar pinggang. "Soal pernikahan."
Kening Naruto berkerut tebal. Butuh penjelasan.
"Tadi Ibu menelfon, katanya lusa kita akan dinikahkan lagi... kali ini pernikahan kita akan dihadari keluarga besar."
Mengingat semua permintaan Kushina membuat pipi Sakura bersemu. Bagaimana rasanya menikah didampingi seluruh keluarga? Pasti menyenangkan, bukan?
Naruto tersenyum. "Oh ya?" Ia menempatkan dagu di atas bahu Sakura. "...asal kau setuju, aku sama sekali tidak keberatan menerima permintaan Ibu."
Sakura menolehkan kepala ke arah samping. Melirik Naruto semampunya. "Aku bahkan sangat mengharapkannya." Ia lalu terkikik geli, disambut dengan kecupan mesra pada bahu.
"Baiklah... sepulang dari kantor kita akan langsung membuat persiapan."
Perempuan itu mengangguk tanda setuju. "Sepertinya kau sangat sib-"
Naruto terkekeh. "Ini jam istirahat, jadi aku tidak sesibuk yang kau pikirkan."
Terang saja Sakura terhenyak, ketika ia pikir sang Suami sedang sibuk bekerja ternyata malah asyik menyaksikan film biru, alasan yang membuat Naruto terkekeh tanpa dosa.
Sakura baru menyadari kelakuan Naruto begitu mata indah miliknya terarah pada layar laptop, di mana saat ini film dewasa sedang berlangsung dengan durasi tiga puluh menit.
Terjebak dalam lamun, setelah sadar Sakura langsung menutup kedua mata. "Hentai." Ia dibuat malu setengah mati dengan tayangan di depan mata. "Apa serunya coba..."
"Karena seru makanya aku tonton." Perlahan Naruto menjauhkan tangan yang menutup wajah Sakura. "...juga mencari gaya baru untuk kita berdua kalau sedang bercinta."
Disela menjelaskan, Naruto tak henti-hentinya berbuat nakal. Memasukan tangan ke balik baju Sakura, mengusap perut ratanya lalu mengecup mesra daun telinganya.
Perlakuan Naruto membuat dada Sakura bergemuruh hangat. "Ishh... baka, ini masih di kantor loh~" Ia mencoba menghentikan dalam keadaan tak berdaya. Antara ingin dan menolak.
Kini Naruto mendekap Sakura erat-erat. Menekan hidung pada bahu ringkih itu, dan menyesap wanginya yang memabukan jiwa. "Aku mencintaimu."
Senyum di bibir ranum Sakura terulas semakin tinggi. "Ya, aku tahu itu Anata ."
"...maka dari itu jangan pernah berpikir meninggalkan aku."
Sakura mengubah posisi. Awalnya membelakangi Naruto kini berbalik menghadap ke arah sang Suami, dan tentunya saling berbagi tatapan satu sama lain.
Bibir mungil itu mendadak manyun. "Apa-apaan ucapanmu tadi?" Pemilik netra hijau cerah itu menangkup sisi wajah Naruto, lalu menekannya hingga bertekuk. "...tidak percaya pada cinta yang kumiliki? Harus dengan cara apa aku membuktikannya baru kau akan percaya?"
"..." Naruto terus menatap Sakura. Ah, wanita nya itu sedang mengambek ternyata. "...aku sangat mencintaimu, Istriku." Lantas ia pun memberi kecupan singkat pada pucuk hidung Sakura nan mancung itu.
Sakura menautkan kening mereka dengan sengaja. "Aku juga sangat mencintaimu." Balasnya, tak lupa memberi kecupan pada kening Naruto yang terlindung oleh helaian pony. Rambutnya mulai memanjang sekarang.
"Ahh! Kimochi~"
Sakura melotot. Naruto tertawa geli. Harusnya volume laptop dikecilkan, memalukan kalau terdengar sampai sekeras itu.
Tangan kokoh milik lelaki pirang itu memanjang. "Hihihihi~" Terdengar kikikan geli dari sang Istri setelah ia menyetel volume menjadi bisu. "Lihat gambarnya saja sudah cukup kok~" Kata perempuan itu.
"Hmm..." Kedua tangan Naruto menangkup pinggul Sakura. "Kalau di rumah tidak masalah, 'kan?"
Kepala pink itu menggeleng kecil. "Sama sekali tid-"
"Namikaze-san, bisa kita langsungkan rapat hari ini?"
Tiba-tiba Sasuke muncul di depan pintu yang ternganga. Sakura lupa menutupnya tadi, karena kelalaian itu membawa Sasuke bertemu dengan Naruto.
Keduanya sama-sama terkejut. Terkejut bukan kepalang. Sakura langsung shock setelah menoleh kan kepala ke belakang, di pintu masuk ruangan ini terdapat Sasuke sedang berdiri kaku sembari membawa beberapa dokumen di lengan.
Sementara itu, bagaikan tersambar petir yang Sasuke rasakan pada saat melihat Sakura sedang duduk dalam pangkuan seorang lelaki yang merupakan klien Uchiha.
"Tentu saja... kita bisa langsung memulai rapat sekarang juga."
Naruto menjawab usai sepuluh detik berlalu dalam keheningan. Akhirnya Sakura beranjak- meninggalkan pangkuan, berdiri di dekatnya lalu membenahi letak baju tanpa ekspresi di wajah.
Sasuke masih terpaku bak patung. Tak henti menatap Sakura terkadang Naruto dengan manik kelam yang ia miliki.
Yang tadi terlihat cukup membuktikan bahwa kedua sejoli itu memiliki hubungan khusus. Sasuke menyadari adanya hubungan spesial antara Sakura dan direktur pirang itu.
Mungkin 'kah...?
Pikiran Sasuke mulai berkecamuk.
...dia Suami Sakura?
x X x
Perempuan itu menerima uang kembalian belanja sambil tersenyum. "Terimakasih Paman." Ucapnya.
"Terimakasih kembali Nona." Lelaki setengah baya itu balas tersenyum, sebelum kemudian si pembeli berbalik badan.
Sakura langsung berjalan menuju tempat parkir, tentunya setelah ia mendapatkan apa yang diinginkan. Permen gulali yang ia dan si jabang Bayi idamkan. Kelihatannya lezat dan menggoda.
"Oh, belum kembali rupanya."
Sayang, setelah kembali Sakura belum mendapati kehadiran Narito di tempatnya berdiri. Pria itu masih berada di tiolet umum.
"Hmm... lama sekali."
Sakura menggerutu. Lima menit bukan waktu yang cukup bagi Naruto untuk menyelesaikan ritual dalam toilet, padahal sekedar buang air kecil.
Berbicara soal air kecil, mendadak saja ingatan Sakura terkotori oleh hal yang berbau mesum. Naruto buang air kecil saja lama, apalagi mengeluarkan cairan kental.
"Kyaaaa! Dasar mesum!"
Inner Sakura memekik histeris. Ia akui saja, semenjak rahimnya berisi ia selalu membayangkan hal-hal kotor tentang Naruto, dan ujung-ujungnya berakhir di tempat tidur. Tapi setelah Naruto berada di rumah, di sanalah kesempatan Sakura untuk dimanjakan sampai puas.
Sejak mengandung, hormon Sakura kerap sekali bergejolak. Tampaknya ia akan mengatakan soal kehamilan secepatnya kepada sang Suami.
"Sakura."
Panggilan itu!
Sakura terjekut dengan suara barusan. Itu bukan suara Naruto, melainkan Suara...
"Sasuke!?"
Dia adalah Sasuke Uchiha, yang saat ini berdiri tak jauh dibelakang Sakura, sedang menatapnya dengan mata sendu dan berkaca. Ia meneguk ludah dengan berat melihat kehadiran lelaki raven itu.
"Sudah pasti dia akan mencariku, dan..."
"Jadi dia Suamimu?"
"Bertanya tentang Suamiku."
"Ya."
Kepala Sasuke langsung pusing usai mendapat jawaban dingin tersebut.
"Dia klien kerjaku."
"...aku baru tahu soal itu, jika saja tahu sejak awal, aku tak kan diam saja Suamiku menjalin hubungan kontrak dengan orang seperti kalian."
Sasuke tertohok. Segera ia menghampiri Sakura, kemudian langsung mencekal lengan kurus itu. "Apakah cintamu terhadap sudah benar-benar pudar?"
"Lebih dari pudar." Sakura mencoba melepaskan celakan Sasuke. "...aku bahkan telah membencimu." Ia kesulitan melepaskan diri. Sasuke terlalu memaksa. "Lepaskan aku."
"Berikan dulu penjelasan mutlak alasan kau tak mencintaiku lagi."
Sakura mendelik. Perlakuan Sasuke benar-benar menguras emosinya. Ia ingin sekali menjambaki rambut berjambul ayam itu hingga rontok tak tersisa. Sasuke memang pantas memdapat pelajaran seperti itu.
"Jawab aku."
Terdengar hembusan nafas kasar. "...karena kau mencampakan aku begitu saja. Kau perlakukan aku seperti sampah!" Sakura menunjuk-nunjuk wajah dingin Sasuke, sementara gulali milliknya tadi terjatuh sia-sia disemen penuh debu. "...kau dan keluargamu."
"..." Tudingan Sakura membuat Sasuke terhenyak.
Tanpa mereka sadari dengan keberadaan Naruto di dalam mobil, telah mendengar semua tentang mereka berdua. Sekarang Naruto sudah tahu siapa mantan kekasih Sakura. Seorang lelaki yang pergi tanpa tanggung jawab. Banci!
Sama halnya dengan Sakura, Sasuke pun juga tak kalah terkejut saat tiba-tiba saja Naruto muncul dari celah pintu mobil. Entah ekspresi seperti apa yang dia pajang saat ini, yang pasti perasaan Sakura mulai tidak enak setelah melihat gelagat Naruto.
Sesuatu yang buruk akan terjadi.
Lelaki pirang itu lekas menghadapkan tubuh setelah benar-benar meninggalkan mobil, dan kini tatapan menusuknya tertuju pada Sasuke, begitu beralih pada Sakura tatapan penuh akan kekecewaan yang ia tunjukan.
"N-naruto." Sakura gelagapan dan panik. "S-sejak kapan kau di s-sana?"
"Sejak kau kembali dari membeli permen kapas."
Sakura makin terkejut. Kali ini tiada alasan untuk tutup mulut. Naruto terlanjur tahu semuanya, termasuk tentang lelaki dimasa lalunya.
Naruto berada di mobil tepat setelah Sakura membeli permen gulali. Kala itu ia kembali dari toilet dan langsung menuju mobil, begitu tak mendapati Sakura ia pun memutuskan hendak mencari, namun niatnya urung dengan segera karena Sakura tampak baru muncul dari salah satu tenpat yang dirundungi anak-anak, kemudian langsung berjalan menuju mobil mereka terparkir.
Mata biru milik Naruto terus mengamati Sakura dalam melangkahkan kaki. Ia tak ingin menyusul, cukup menunggu sang Istri datang padanya sembari duduk manis dalam mobil.
Dan ternyata, baru saja Sakura tiba di mobil, saat itu Sasuke datang tanpa melewatkan kesempatan karena sebelumnya ia tak mendapati keberadaan Naruto di manapun. Ia pikir Sakura sendirian di taman sore ini, dan ia pikir Naruto masih di kantor hingga malam sebab ia tahu benar bahwa malam ini sang Namikaze ada meeting dengan perusahaan dari luar kota.
Tapi siapa sangka, saat ini Naruto hadir dihadapan mereka berdua. Di depan mata mereka, dan sudah mengetahui semua.
Sakura tak berkutik melihat Naruto berjalan melalui dirinya, dan berhenti setelah tiba di hadapan Sasuke. Pria bermata biru itu menatap bengis pada Sasuke. Menjelaskan melalui tatapan bahwa ia benci orang berambut raven itu.
"Kontrak kita batal."
Singkat namun jelas, tak ayal membuat Sasuke terkejut. Pupus sudah harapan Uchiha corp satu-satunya, tinggal menunggu waktu kebangkrutan.
Uchiha corp dilanda kerugian besar, beruntungnya sang Namikaze tak menolak saat diajak bekerja sama mengenai salah satu proyek, di situlah kesempatan untuk bangkit kembali didapat oleh Sasuke, namun lihatlah yang terjadi sekarang.
Semua tak sesuai harapan.
Naruto menekan telunjuknya pada dada Sasuke. "Jauhi Istriku, atau kuhabisi kalian." Kecamnya. Mirip seperti ancaman. Sasuke diam tanpa kata, cukup mendengarkan dan tentunya.
"Baiklah."
...melakukan apa yang diinginkan oleh Naruto. Yaitu menjauhi Sakura. Berhenti menganggu Sakura. Berhenti hadir dalam kehidupan mereka berdua.
Sasuke berani bersumpah setelah yang terjadi hari ini ia tak kan lagi memunculkan diri di depan mata Sakura mau pun Naruto. Ia akan lenyap selamanya, dan fokus pada keluarga yang jelas sekali bahwa saat ini sangat membutuhkan dirinya.
x X x
"Anata, dengarkan aku dulu."
Sakura terus melangkah mengikuti Naruto yang kini sedang berjalan laju di depan sana, sementara dirinya sering kali dibuat tertinggal di belakang.
"Aku mohon..."
Naruto langsung berhenti lalu membalik badan. "Sudah berkali-kali aku katakan bahwa aku tidak butuh penjelasan apa-apa. Tahu saja sudah cukup, jadi berhenti memaksaku untuk mendengarkan semua penjelasan-penjelasan itu."
Sakura terhenyak. Ia tahu Naruto kecewa, sangat tahu, namun sikap Naruto yang seakan menjauhi dirinya yang membuat ia keberatan. Jika terima harusnya Naruto bersikap biasa saja, bukan seperti ini.
Sepasang mata biru nan indah itu memancarkan sorot kekecewaan, pasalnya Sakura enggan berkata jujur jika selama ini dia masih diganggu oleh mantan tunangannya dulu.
Naruto merasa bahwa dirinya wajar untuk kecewa. Tidak ada yang bisa menghentikan dirinya agar tidak kecewa.
Sakura menutup mata sejenak, sementara Naruto berlalu begitu saja setelah menunjukan kekecewaan. Ia menghela nafas pasrah dan gusar.
"Bukan soal itu yang ingin aku jelaskan."
Sejak tadi Naruto tak henti-henti bersikap tidak perduli, membuat Sakura uring-uringan tak tentu karenanya. Padahal ada hal lain yang ingin disampaikan, mengenai Sasuke sama sekali tidak penting. Lelaki itu hanyalah orang asing dalam hidup Sakura.
Dengan angkuhnya Naruto meninggalkan Sakura tanpa rasa peduli. Di depan sana sudah terlihat pintu rumah, beberapa detik lagi waktunya istirahat namun tentunya setelah mandi.
"Aku hanya ingin mengatakan kepadamu bahwa saat ini aku sedang Hamil."
Tak ayal, pernyataan Sakura barusan berhasil menghentikan Naruto. Di mana saat ini lelaki pirang itu tengah berdiri membatu bak patung usai mendapat kabar bahagia yang sejak lama ia nantikan.
Kepala Sakura menunduk. Berpura-pura sedih. "Tapi sepertinya kau tak mengharapkan kabar in-"
Brukh!
Sakura terkejut saat tiba-tiba Naruto langsung mendekapnya dengan erat. "Aku sangat menginginkannya." Dan akhirnya, ia pun tersenyum penuh kelegaan mendengarnya.
Rencana Sakura untuk memberi kejutan kepada Naruto di hari pernikahan terpaksa batal. Daripada Naruto mengambek berkepanjangan, lebih baik ia ungkapkan rahasia tentang kehamilannya sekarang agar Naruto tidak terus terpukul pasal gangguan dari Sasuke.
Dengan senyum ceria di wajah, Sakura lekas mendekap punggung kokoh Naruto, cara ia membalas pelukan kasih dari sang Suami.
"...akhirnya." Terlampu bahagia, hingga akirnya tanpa disadari lagi oleh Naruto bahwa ia telah meneteskan air mata. "Terimakasih..." Ucapnya, tak lagi merasa kecewa melainkan bahagia.
Sakura menyudahi pelukan mereka usai berlalu selama beberapa menit. Ia dapat melihat bekas air mata di pipi Naruto. Terkekeh geli, iapun menyeka jejak air mata di pipi lelaki itu, lalu menangkupnya penuh cinta.
"Masih mau marah lagi?"
Kepala berambut pirang itu menggeleng kecil. Lagi-lagi Sakura harus terkekeh. "Maaf." Ucap Suami nya itu setelah tadi memberi jawaban dengan gelengan kepala.
Sakura tertawa kecil. "Tidak apa-apa sayang..." Ia menarik tengkuk Naruto, membawa kepala pirang itu merunduk hingga kening mereka saling bertaut. "...tak lama lagi kita berdua akan menjadi orang tua." Katanya.
Kali ini Naruto mengangguk setuju. "Ayah dan Ibu akan menjadi Kakek dan Nenek." Balasnya.
Sakura terkikik. "Ibu dan Nenek Tsunade sudah tahu."
Mendengarnya membuat Naruto langsung menggembungkan pipi. "Aku yang terakhir." Protesnya.
"Tidak... tidak." Sakura menyela. "Ayah dan Nenek Chiyo belum tahu soal kehamilanku ini, itu artinya kau orang ketiga setelah Ibu dan Nenek."
Terdengar dengus geli yang menandakan ketidak persetujuan. "Walau bagaimanapun tetap saja aku yang berhak tahu lebih dulu."
Sakura menyahut dengusan Naruto tadi. "Aku ingin bilang tahu, tapi kau malah menghilang hingga berhari-hari. Kepada Ibu dan Nenek, aku tak mengatakan apa-apa. Mereka tahu dengan sendirinya setelah melihat kondisiku."
Mimik wajah Naruto tampak sedih. "Maaf." Katanya sekali lagi.
Mana mungkin Sakura bisa marah kepada Naruto. "Tidak apa-apa lagi sayang..." Ia mencubit gemas kedua pipi Naruto, kemudian berlanjut memeluknya lagi.
Bahagia tak tanggung-tanggung yang saat ini Sakura rasakan, tidak berbeda pula dengan Naruto. Perasaan mereka sama, karena sebenarnya hati dan perasaan mereka sudah saling terikat. Mereka saling terhubung dengan berbagai macam perasaan.
Lembut sekali cara Naruto menyentuh perut Sakura yang masih rata. Ia elus-elus dengan penuh kelembutan permukaan baju berlapis rompi merah itu.
Sakura meletakan telapak di punggung tangan Naruto. Membantu sang Suami mengelus calon buah hati mereka yang saat ini sedang berkembang dalam rahimnya.
Naruto tertawa kecil dengan rasa bahagia. "Hihihi... ayo kita masuk." Ia langsung merangkul Sakura untuk mengajak masuk, dan tentunya tak mau melepaskan tangan dari perut berisi Istri nya. Setia mengusap.
Biarkan mereka memasuki rumah dengan Naruto terus mengusap-usap lembut perut Sakura. Beberapa bulan lagi akan membesar, saat itulah Naruto merasa nyaman mengusap Bayi nya dari perut buncit sang Istri.
x X x
Sedikit lagi terlihat sempurna. Hanya perlu memperbaiki letak dasi kupu-kupu warna hitam itu, setelahnya semua persiapan selesai.
Yang harus dilakukan segera ditindaki. Naruto menata letak dasi yang meliliti lehernya serapi mungkin, dan tentunya perlu diamati sebaik mungkin agar benar-benar sempurna saat bersanding dengan pempelai wanita.
Usai menarik kerah jas, maka selesai sudah aktifitas Naruto dalam mendandani diri. Ia rasa sudah cukup sempurna, oleh karena itu inilah saatnya ia turun.
"Cantik sekali..."
Sakura tersenyum dengan wajah bersemu mendengar pujian yang dilontarkan dari bibir Kushina.
Wanita setengah baya itu gemas sendiri melihat kecantikan Sakura. Rambut merah mudanya disanggul tinggi, lalu di telinganya terdapat anting mutiara, kalungnya pas sekali meliliti leher. Perfect.
Kushina menyentuh kedua bahu Sakura. "Turun sekarang?" Tanyanya seraya menatap sang menantu dari pantulan cermin, dan ajakannya mendapat persetujuan melalui anggukan kepala. Ia tersenyum puas lalu berdiri setelah tadi sempat membungkuk disebelah Sakura.
x X x
Kali ini berbeda dari sebelumnya. Jika dulu Naruto menyambut kedatangan Sakura tanpa senyum di wajah, maka kini ia lakukan hal sebaliknya dengan menyambut kedatangan Sakura sambil mengurai senyum begitu lebar hingga semakin menyipitkan kedua mata yang ia miliki.
Sakura tersipu malu. Naruto menatapnya genit, membuatnya harus mengulum senyum selama menggandeng lengan Sasori. Selain Sasori, Chiyo juga tidak ketinggalan hadir dalam acara pernikahan ini.
Sasori menghela nafas pendek. "Sejujurnya, aku masih belum mengerti resepsi dari pernikahan kalian yang kedua. Kuharap setelah ini kalian akan menjelaskan semuanya kepada kami."
Ungkapan Sasori direspons dengan tawa cekikikan, membuatnya mendengus antara sebal bercampur bahagia melihat Sakura tidak sesuram dulu saat pertama kalinya menikah dengan lelaki berambut pirang itu.
"Syukurlah kau hidup dengan bahagia..."
Kushina merona tak tentu saat melihat Naruto menyambut kedatangan Sakura dengan uluran tangan, senyum manis dan sikap romantis. Ia dibuat manyun sendiri karena iri melihat kemesraan kedua sejola di altar sana.
Minato menoleh guna menatap Kushina, kala itu juga ia menyadari keirian sang Istri terhadap anak-anak mereka. Ia terkekeh lalu berkata.
"...aku tidak keberatan kalau kita menikah lagi seperti mereka."
Kushina tercengang. Minato tertawa geli.
Kebetulan saat itu Chiyo duduk dibelakang sepasang Suami dan Istri itu, secara kebetulan pula mendengar bisikan mereka berdua. Hanya menggelengkan kepala yang ia lakukan.
Biarpun sudah tua tetapi hubungan mereka harmonis sejak lama. Itulah yang Chiyo pikirkan, sementara tak tahu apa-apa terhadap masa lalu Minato dan Kushina.
"Malaikatku."
Panggilan lembut Naruto tadi membuat Sakura makin malu. Sulit mengendalikan diri, serasa hendak pingsan namun ditahan sebisa mungkin agar tak merusak moment indah mereka.
Tapi...
Sakura menggigit bibir kuat-kuat. Berusaha menahan diri ketika dirasa hendak jatuh pingsan. Ia akan terus berjuang sampai pertukaran cincin ini selesai.
"Aku mencintaimu."
Mata Sakura tidak lagi dapat menatap wajah Naruto dengan jelas. Semua terlihat rabun.
"...aku juga mencintaimu."
Selanjutnya, riuh dari tepuk tangan para tamu menggema dalam gedung megah tersebut. Mereka menyambut kedatangan kedua sejoli di altar sana. Meramaikan hari membahagiakan ini dengan cara saling menyahutkan tepuk tangan.
Tapi sayang, sekuat apapun menahan diri tetap saja Sakura kalah oleh rasa bahagia. Terlampau bahagia memberi dampak pada perutnya, dan akhirnya ia tak sadarkan diri lagi usia bertukar cincin. Untungnya masih sempat.
Kesigapan Naruto dalam menyambut berhasil menggagalkan Sakura terbaring di lantai. "Sakura!" Panggilnya panik, samar-sama dapat di dengar oleh yang dipanggil.
Dengan pandangan kabur, Sakura mengamati wajah cemas Naruto. Ia masih sempat tersenyum dalam waktu singkat.
Beberapa detik selanjutnya, Sakura tidak sadarkan diri lagi sepenuhnya. Gedung langsung ramai oleh kerumanan. Para keluarga segera menaiki altar- menghampiri Sakura yang tiba-tiba pingsan di atas pangkuan Suami nya.
"Sakura sayang... kau kenapa?"
Naruto berusaha menyadarkan Sakura dengan usaha sendiri. Ia panik setengah mati saat ini, dan berharap tidak ada lagi kabar buruk yang datang pada keluarganya setelah sekian lama melalui hari-hari buruk.
x X x
"Enghhh..."
Pancaran dari sinar matahari menyilaukan mata Sakura. Ia tertanggu oleh pancaran tersebut, membuatnya menggeliat malas di tempat tidur sambil mengerang.
Sakura kalah. Pada akhirnya ia membuka mata, memilih bangun dari tidur panjangnya sejak sore kemarin. Seingatnya kemarin ia tertidur bergitu saja usia berkutar cincin dengan Naruto. Bodoh sekali.
Begitu Sakura membuka mata sepenuhnya, di depan wajahnya terdapat wajah Naruto yang kini sedang mengamati dirinya sambil tersenyum-senyum sendiri.
"Ehh... Naru?"
Tak menjawab, Naruto malah memanjangkan tangan lalu menyentuh dahi lebar Sakura. "Selamat pagi, cinta." Sapanya sembari mengusap lembut kening sang Istri.
Sakura langsung merona. Baginya ini sangatlah memalukan. Tidur sejak kemarin siang dan baru pagi ini bangun kembali, persis pula seperti putri tidur.
Wanita itu menarik selimut sehingga hanya bagian mata yang terlihat. "Selamat pagi juga." Balasnya.
Naruto mengangkat kepala sejenak, lalu menjadikan lengan sebagai bantal. "Bagaimana tidurmu? Apakah begitu nyenyak setelah membuatku cemas setengah mati?"
Mata Sakura melirik ke sana kemari dengan gelisah. Menghindari tatapan lekat yang dikerahkan oleh Naruto. "Maaf." Cicitnya.
Lelaki itu tertawa geli. "Baka." Ejeknya, lalu segera menarik Sakura untuk ia dekap. "...saat kau tak sadarkan diri kami memanggil Dokter, tapi kata Dokter kau baik-baik saja, kau hanya pingsan karena terlalu lelah, apalagi kau sedang mengandung." Jelasnya dengan rinci disela mengelus-elus pucuk kepala sang Istri.
"Saat itu aku benar-benar lelah... juga bahagia. Karena tidak sanggup lagi menahan diri, aku pun ambruk begitu saja. Maaf ya sayang telah membuatmu tidak tenang."
"Hm." Naruto mengangguk. "Tidak apa love , yang paling terpenting kau dan Bayi kita baik-baik saja. Aku sangat bersyukur."
Sakura mendongakan kepala. Menatap Naruto dari bawah. "Di mana semuanya?"
"Mereka sudah pulang sejak kemarin. Aku menyuruh pulang karena tidak ingin merepotkan lagi, mereka sempat menolak tapi akhirnya luluh setelah melihatmu terlelap pulas di kamar. Mungkin tidak ingin menganggu Istriku yang sedang tidur."
"Ohh... begitu ya."
"Hm."
"..." Kini Sakura sudah tidak lagi menatap wajah Naruto. "Kalau kita cuma berdua, itu artinya tidak akan ada yang tahu apa saja yang kita lakukan sekarang." Gumamnya sambil memainkan telunjuk di permukaan dada polos Naruto. Suami nya itu tidak memakai baju atasan, maka ia jadi tergoda dan menginginkan belaian.
"Ya, tentu saja mereka tidak tahu." Naruto mengecup lama pucuk kepala Sakura. Kedua matanya terkatup untuk menikmati kecupan yang ia beri kepada sang Istri.
"Narutoh~"
Sakura memanggil dengan rengekan manja. Naruto yang mengerti segera berhenti mengecup kening perempuan itu, bangkit lalu duduk diantara kedua kakinya. Ia menekukan kaki Sakura, kemudian melucut celana dalam merahnya dan hanya menyisakan tank top putih sebagai atasan.
Selimut tebal bewarna coklat tadi sudah tidak lagi digunakan oleh Sakura. Ia sia-siakan begitu saja disamping tubuh.
Usai melucut celana dalam, Naruto lekas bertindak tanpa memulai pemanasan dengan ciuman bibir. Sakura langsung mengerang pelan saat mendapat serangan di bawah sana.
Naruto sangat tidak sabaran sekali ingin menikmati keseluruhan tubuh Sakura. Selalu menyerang dadakan.
x X x
Aroma ini lezat sekali, dan sangat menggoda. Ino yang sedang terlelap dibuatnya terbangun karena terganggu dengan aroma masakan dari seseorang. Gangguannya membuat perut menjadi lapar.
Perempuan pirang itu meringis merasakan pedih terhadap lambung. Ia merasa sangat lapar sekarang, terlebih semalam ia tidak makan apa-apa karena merasa kurang enak badan.
Ino terus berjalan menyusuri apartement nya yang memiliki panjang beberapa meter. Dari kamar hingga dapur, dan di dapurlah ia mendapati keberadaan seseorang.
Orang itu sedang sibuk memasak. Ke sana dan kemari mengambil bahan serta wadah, lalu kembali ke hadapan kompor dan mengaduk tumisan.
Dia begitu lihai mengerjakan tugas dapur.
Setelah menyalin tumisan ke dalam piring, tubuh tinggi Gaara berbalik, dan seketika itu pula ia dibuat terkejut dalam diam dengan adanya kehadiran Ino di dekat pintu dapur.
"..."
Mereka saling bertukar pandang satu sama lain, dan tentunya dalam keheningan.
Gaara yang sejak tadi diam akhirnya menghela nafas. "Selamat pagi." Sapanya, lalu tersenyum hangat kepada Ino.
Wanita di sana membalas senyuman Gaara. "Selamat pagi." Ia baru ingat, kemarin sore Gaara datang setelah ia kirim pesan singkat mengenai keadaan. Ia pikir Gaara tak kan perduli, tapi ternyata.
"Sebentar lagi sarapannya selesai. Aku tinggal menggoreng omlet dengan daging kesukaanmu." Gaara kembali berkutat dengan teflon. Mengocok telur dalam mangkuk, setelah itu ia tumpahkan ke teflon berisi minyak panas.
Ino terdiam di tempatnya berdiri. Ia pikir dirinya wanita beruntung dicintai oleh pria seperti Gaara, dan ia rasa Gaara juga lelaki yang tepat menjadi pengganti Naruto.
"...meski tidak sebaik Naruto."
Inner Ino berkata demikian.
CTEK!
Tepat saat Gaara mematikan kompor, kala itu juga Ino sudah memeluk dirinya dari belakang. Tubuhnya langsung kaku mendapat perlakuan tersebut.
"Terimakasih." Bisik perempuan itu sembari menyandarkan wajah di punggung lebar Gaara.
Gaara berkedip tanpa bergerak. Selama bertahun-tahun mereka bersama dan saling mengenal, baru pertama kali ini Ino memeluk dirinya dengan keinginan sendiri, maka ia anggap ini sebagai sinyal.
Ino mungkin sudah membuka pintu hati untuk menerima cinta lain yang bukan dari Naruto. Gaara sama sekali tidak keberatan mendaftarkan diri untuk mengisi hati Ino.
Mulai hari ini kehidupan baru mereka akan dimulai dengan lembaran kosong.
.
.
.THE END