Mulut itu telah dengan santai menuai kalimat tajam— setajam ujung pedang.
"Naruto ada?"
Sakura tersentak. Pertanyaan tadi telah mengembalikan keadaan dirinya yang sempat hilang kesadaran. "A..ada." Ia terbata. Perasaan yang bercampur aduk membuat dirinya linglung.
Ino melenggang. Ia melalui Sakura untuk masuk ke dalam rumah, sudah terlampau merindukan Naruto sehingga menghilangkan kesopanan terhadap sesama.
"My beloved...!"
Kepala pirang itu lekas memutar arah karena suara familiar tadi. Sontak, kedua mata Naruto langsung membulat ketika mendapati kehadiran Ino disini.
Naruto berdiri. "Kau..."
Greph.
Tidak ada kesempatan untuk melontarkan kata-kata, Ino segera menyela bibir eksotis itu dengan cara memberi pelukan.
"Aku sangat merindukanmu, Naru..." Ino menikmati pelukan sebelah pihak mereka, namun tidak dengan Naruto.
Lelaki blonde itu mengangkat kedua tangan diudara. Terlihat seperti menyerah usai menjatuhkan senjata.
Sakura shock berat menyaksikan yang dilakukan oleh wanita asing itu terhadap Suami tercintanya.
Lancang!
"Hey hey!" Naruto berusaha menjauhkan Ino melalui dorongan di bahu. "...lepaskan aku!" Sialnya, pelukan Ino erat sekali. Seperti magnet raksasa.
Sembari mengerucutkan bibir Sakura melangkahkan kaki. Ia menghampiri mereka dengan hati dongkol. "Lepaskan Suamiku!" Begitu tiba ia langsung menarik-narik gaun ungu milik Ino.
"Hhmm~" Ino menggerunum tidak jelas. "...wangi tubuhmu tetap sama. Aku suka." Mendengarnya membuat Sakura meradang berat.
"DASAR GILA!"
Naruto bergidik. Menyeramkan melihat emerald
indah itu berkilat seperti mata pisau.
"Ino, menjauhlah!" Naruto tak pernah tahu akan sesulit ini melepaskan diri dalam pelukan Ino.
Padahal cuma pelukan.
Tentu saja Naruto tidak menyerah, tapi pelukan erat itu berhasil lepas berkat keinginan dari hati Ino sendiri. Bahkan tarikan Sakura sama sekali tidak mempan.
"Bagaimana kabarmu?" Keberadaan Sakura terabaikan.
"...baik-baik saja." Mau tak mau terpaksa Naruto meladeni.
Ino meraih tangan kanan milik Naruto. "Kau semakin tampan saja." Pipinya bersemu. Sungguh, pria dihadapannya itu benar-benar tampan.
Seperti Pangeran berkuda putih dalam cerita dongeng.
Naruto mendekatkan Sakura pada dirinya. "Ino, perkenalkan ini Istriku." Ia harap dengan cara memperkenalkan Sakura dapat menjauhkan Ino darinya. "Sakura Namikaze."
Perempuan merah muda itu tersenyum-senyum sendiri.
Ino melirik Sakura dengan sinis. Ia tatap sosoknya mulai dari puncak kepala hingga ujung kaki, lalu melakukan sebaliknya lagi. "Wanita ini Istrimu?" Naruto mengangguk semangat. Ino memutar mata. "...yang benar saja."
"Sudah lama kami menikah." Sakura menimbrung.
"Aku tak mengakui dirimu sebagai Istri Naruto." Ino mengaitkan tangan di lengan Naruto. "...pria ini hanya milikku seorang." Lanjutnya.
Sakura mendelik. "Enak saja. Kau siapa? Kekasih bukan, Istri apalagi." Tentu saja ia tak mau kalah. Naruto sudah resmi menjadi miliknya setelah mereka mengikat benang merah beberapa bulan lain. "Menjauh dari Suamiku!"
Mendadak kepala Naruto pusing.
"Tidak!" Ino bersikeras. "Naruto milikku!"
"Kenapa dengan wanita ini?"
Batin Sakura bertanya-tanya. Orang aneh tidak tahu malu, datang-datang memeluk Suami orang di depan Istri nya.
"Mana buktinya!?" Cara tepat untuk memenangkan posisi.
"Buktinya aku tahu semua tentang Naruto." Ino berkacak pinggang. "...aku yakin kau pasti tidak mengenal Naruto sejauh aku mengenalnya."
"Sembarangan!" Tidak sedikitpun Sakura sudi melepas genggaman pada tangan Naruto, terlebih genggamannya mendapat balasan.
Ino menyingkap pony pirang miliknya. Ia selipkan kebelakang telinga agar dapat memerhatikan perempuan merah muda dihadapannya.
"Mana mungkin Naruto mau menikahi wanita sepertimu. Secara, kriteria Naruto itu sangat jauh diatas dirimu."
Sakura tertohok. Blak-blakan sekali.
"Wanita type Naruto itu punya puyadara, cantik, kulit putih seperti salju, tinggi dan rambut panjang."
Sakura membuang arah wajah. Ia benci dengan perempuan blonde itu yang menilai rendah dirinya.
"Sedangkan kau kurang putih. Ukuran badanmu masih kurang, serta rambut anehmu itu juga kurang panjang dan kau tak punya DADA!"
Ino menunjuk ke arah dada Sakura.
"FLAT!"
"Cukup Ino!"
"Diam Naruto." Bibir tipis lelaki itu mendapat sentuhan dari telunjuk lentik milik Ino. "...harus aku katakan semua agar dia sadar diri lalu mencukupi kekurangannya sebagai seorang wanita.
"Anata." Panggilan Sakura mendapat tatapan. "...apa yang kau cintai dari diriku?"
Naruto tersenyum. "Semuanya yang ada pada dirimu aku cintai. Rambutmu, payudaramu dan tubuhmu." Dengan jawaban seperti ini sudah cukup membuat Sakura puas. Ia yakin Ino kalah telak.
Namun siapa sangka dugaan Sakura meleset. Tak semudah itu seorang Ino Yamanaka kalah.
"Sebagai Istri Naruto, memangnya apa saja yang kau ketahui tentang dia? Apa yang dia benci? Apa yang dia suka? Apa yang dia takuti?" Ino ingin mengalahkan Sakura dengan mempergunakan kebiasaan Naruto. Sudah pasti dirinya yang akan menang sebab mereka sudah lama saling mengenal.
Sejak remaja, bahkan saat itu mereka menuntut ilmu di gedung Sekolah yang sama. Bersama Gaara mereka menghabiskan waktu saat-saat remaja.
"Aku tahu semuanya!" Sakura tidak mau kalah. Tentu saja ia akan berjuang demi Naruto.
"Oh ya?" Bibir tipis milik Ino membentuk segaris senyum angkuh. "Apa kau tahu kalau Naruto takut terhadap..."
Pukk.
Naruto terlonjak, membuat Sakura kebingungan karena reaksinya barusan. Wajahnya langsung memucat.
Jari-jemari lentik itu meremas daging padat yang berkumpul dibawah pinggang Naruto. "..sentuhan di bokong."
"Ino!" Naruto melesat cepat— kembali ke sofa. Ia menyembunyikan bokong dengan cara mendudukan diri.
Ino tertawa geli mendapat respons tadi. "Jangan bilang kau tidak tahu soal ini..." Giliran dirinya mengalahkan Sakura.
Penyakit aneh Naruto sudah menjadi rahasia umum, untuk saat ini hanya tersisa Ino dan Gaara yang mengetahui kegelian Naruto terhadap sentuhan di bokong.
Sakura terdiam buruk. Ternyata dirinya tidak terlalu mengenal Naruto sejauh Ino Yamanaka. Ia menatap ke arah Naruto, seketika membuatnya mengutuk diri saat mendapati Suami nya tengah bergidik ngeri usai mendapat sentuhan pada bokong seksinya.
"Sudah kuduga... masih terlalu awam buatmu mengenal Naruto." Ino menghela nafas. Hanya dirinya yang pantas memiliki Naruto.
"Dasar tolol!" Makian yang terlontar khusus untuk Ino.
"Aku juga mencintaimu sayang." Wanita itu tersenyum genit.
Naruto merinding. Pikirannya kacau setelah mendapat remasan di bokong, di tambah lagi dengan pernyataan Ino.
Gelinya berlimpat ganda.
Sakura menghentakan kaki lalu mendudukan diri disebelah Naruto. "Jangan ganggu Suamiku." Ia memeluknya tepat dihadapan Ino.
"Naruto bukan milikmu."
Kepala bermahkota merah muda itu menggeleng keras. Membantah perkataan Ino. "Tidak. Naruto milikku, Suamiku dan segalanya bagi diriku."
Ino turut mendudukan bokong. "Kau tidak layak untuk Naruto, jadi berhentilah menjadikan dirimu sebagai seseorang yang istimewa dalam hati Naruto." Sulit baginya untuk merelakan Naruto jatuh ke tangan wanita lain.
Karena seorang Ino Yamanaka akan selalu mencintai Naruto.
Very in love, very very and very.
x X x
Tas selempang yang tak berdosa itu dilemparkan asal-asalan, sekaligus melampiaskan rasa kesal. Berulang kali Ino mendesah sebal karena ingat kejadian sore tadi.
Wajar saja kesal, jauh-jauh datang dan susah-susah meluangkan waktu hingga rela melarikan diri dari pekerjaan, saat bertemu sang pujaan hati Ino tak disambut dengan layak, justru diusir.
Menyebalkan.
"Haahh!"
Brukh.
Tubuh dengan body sempurna itu ambruk diatas kasur. Sembari memikirkan Naruto, pandangan Ino terpusat pada langit-langit kamar.
"Apa hebatnya wanita itu?"
Ino pikir fisik Sakura jauh lebih buruk pada dirinya. Bahkan tidak sebanding.
Sejak kapan selera Naruto mengenai tubuh wanita berubah?
"My beloved Naruto sudah berubah."
Perempuan blonde itu menelungkupkan tubuh, lantas merogoh ponsel dalam tas selempang yang secara kebetulan ia lemparkan di kasur.
"Naruto sayang, kembalikan seleramu yang dulu."
Setahu Ino, jika Naruto yang dulu jangan harap wanita seperti Sakura terpilih sebagai pasangan. Wanita kriteria Naruto itu seksi, feminim dan berpayudara menggoda.
Bisa-bisanya Sakura— si dada rata itu menjadi pemenang hati Naruto, bahkan sudah menjadi seorang Istri yang secara otomatis semakin mempererat hubungan mereka.
Ino mengacak rambut frustasi. Pikiran kacau membuatnya tidak konsentrasi, sampai-sampai melupakan niat ketika menyalakan ponsel.
"Tadi aku ingin ngapain ya?"
Berikan kesempatan kepada dirinya untuk mengingat yang sempat terlupakan.
"Ahh! Gaara." Akhirnya.
Ino langsung mengutak-atik layar ponsel, membuka aplikasi kontak untuk mendapatkan nomor ponsel milik Gaara.
Gaara, siapa nama Istri Naruto?
Bahkan sekedar nama tidak Ino ketahui. Keributan telah membuat pikirannya blank.
Sialnya, bermenit-menit menunggu tampaknya orang diseberang sana tak sudi merespons. Keangkuhan Gaara membuat Ino mendengus sebal.
Wanita itu kembali membuat pesan teks.
Dia bukan kriteria Naruto, lalu bagaimana mereka bisa menikah?
Sementara itu, Gaara sudah membaca pesan kiriman dari Ino namun hatinya tak berniat untuk membalas. Biarpun hanya pesan kosong.
Terlampau malas meladeni si bule sesat. Pikirnya begitu.
Ino sengaja menghempas ponsel di kasur lalu meraih guling untuk memeluknya. Tak diragukan lagi, putih tulang putih mata Gaara tak kan merespons dirinya.
"Sebagai wanita tercantik dan terseksi sejak duduk di bangku Sekolah, sampai saat ini gelar itu masih aku sandang, aku malu dikalahkan dengan wanita sesederhana Istri Naruto."
Biarkan wanita itu menggerutu dengan meratapi nasib.
Selera Naruto menurun drastis.
Jangan salah mengira. Lama menetap di New York telah mengharumkan Ino Yamanaka, tentu saja sebab disana ia bekerja sebagai model terpanas.
Semua lelaki sangat menggilai seorang Ino Yamanaka, dan itu sudah menjadi tabiat sejak dulu sampai kini. Hanya Naruto yang sulit di taklukan.
Mengenai Gaara.
Dulu pria itu pernah menyimpan rasa kepada Ino, tetapi enggan mengutarakan karena sadar diri bahwa perempuan yang di inginkan mencintai lelaki lain yang tak lain tak bukan adalah Naruto.
Saudara angkat Gaara.
Terlebih, sejak awal Ino hanya menginginkan Naruto seorang, jangan pikir mudah membuat dia berpaling karena jika melalukannya maka itu sama saja dengan menguras lautan menggunakan ember.
Mustahil.
Ino menghempas kepala pirang miliknya diatas bantal. "Naruto..." Perlahan-lahan kelopak putih miliknya menutup.
Tidak butuh waktu lama untuk melihat
aquamarine milik Putri bungsu Yamanaka tersimpan dibalik kelopak yang terkatup.
x X x
Hiashi Hyuga tengah merutuk kesal. Berminggu-minggu— si pembunuh bayaran melanjalankan misi namun hanya mendapat kegagalan yang tak menghasilkan apa-apa.
Minggu ini ingin menjalankan rencana, sialnya yang menjadi incaran pergi keluar kota bersama si Istri.
Mereka pergi ke Tokyo untuk bulan madu dan hingga saat ini mereka belum kembali.
Kiba tidak mau mengambil resiko dengan melenyapkan nyawa seseorang di kota yang bukan tempat dirinya. Tugas yang ia jalani tidak jauh dari Konoha, sementara di luar kota sendiri ia lebih memilih angkat tangan.
"Kau payah." Hiashi memandang rendah sosok Kiba yang berdiri dihadapannya. "...aku menyesal pernah memanggilmu kesini." Terang saja, ia benci kalau terlalu lama mengulur waktu.
Kesempatan untuk menghabisi nyawa Naruto kerap terlewatkan begitu saja.
Sia-sia.
"Maaf." Hanya ucapan singkat dan dingin.
Kepergian Naruto hanya menjadi sebuah alasan untuk Kiba. Ia tak ingin melenyapkan nyawa Naruto Namikaze, karena dulunya ia pernah di tolong oleh pengusaha muda itu.
Pertolongan yang tak terlupakan serta masih teringat hingga detik ini, hanya saja tanpa sengaja pernah melupakan paras sang malaikat.
Jasa yang kembali Kiba ingat setelah sempat melupakannya.
"Bocah, kenapa kau menangis?"
Kepala bermahkota coklat itu mendongak. Menatap orang yang baru saja mengajukan pertanyaan mengenai tangisan dirinya.
"Anjing kesayangku Kak."
Remaja pirang itu berjongkok dihadapan bocah jabrik berkulit tan. "Kenapa dengan anjing kesayanganmu?"
Kiba kembali menundukan kepala untuk menatap si hewan kesayangan berbulu putih dan bersih. "Akamaru lapar tapi kami tidak punya makanan."
Naruto ingat dengan anak kecil itu. Dia yang kemarin pernah diusir oleh penjaga resraurant
karena meminta-minta sembari membawa seekor anjing.
"Jadi seperti ini nasibnya..." Batin pria itu.
"Bukannya kakak yang kemarin memberiku uang seratus yen..." Kiba juga ingat dengan pemuda pirang yang mengenakan segaram Sekolah Konoha Senior High School itu.
"Kau benar, dan sekarang aku akan memberikan uang kepadamu lagi." Naruto merogoh kantung segaram miliknya. "Ambil ini." Ia menyerahkan kotak bekal di tangan kepada Kiba. "...dan ini." Lalu dua lembar uang kertas.
"Kakak bersungguh-sungguh?" Kiba tahu yang dia berikan itu sangatlah banyak. Makanan serta uang.
"Lihat wajahku." Kiba mematuhinya. "Apa aku terlihat seperti seorang pelawak?"
Alis pirang itu bertekuk dengan kening menyerngit. Tak sedikitpun terlihat sisi lucu di wajah tampan pemuda itu.
Akhirnya Kiba menggelengkan kepala setelah ia perhatikan lama wajah Naruto sementara tidak menemukan sisi lucunya.
"Wajah kakak datar, aku tidak bisa membaca isi hati kakak kalau pasang wajah seperti itu."
Naruto tersenyum puas. "Pintar juga kau." Ujarnya lalu mengacak rambut jabrik Kiba.
Kejadian itu sudah lama sekali berlalu, saat Naruto masih remaja dan Kiba sendiri hanya seorang bocah ingusan berusia sepuluh tahun.
Dua kali mendapat pertolongan yang menyelamatkan nyawa, Kiba sadar benar akan kebaikan Naruto terhadap dirinya yang membuat hatinya memberontak keras untuk menghambisi sang penyelamat.
Perbuatan terkutuk membalas kebaikan seseorang dengan cara mencabut nyawa. Kiba tidak ingin menjadi seseorang yang kelewat kejam hingga membutakan mata batin.
Naruto Namikaze orang yang terlalu baik. Dia tak pantas di bunuh, pantasnya di hormati dan disegani.
Kiba tak mengatakan apa-apa, namun setelah mengembalikan uang yang pernah di terima ia langsung mengambil langkah. Ada baiknya meninggalkan ruangan ini.
Sedikit lagi mencapai pintu, tetapi sesuatu yang tak terduga memunda pencapaian Kiba.
DORR!
Hashi langsung melemparkan senjata api di tangannya kepada si pemilik. "Aku tak butuh senjata itu." Pemberian Kiba yang ia kembalikan, namun setelah memuaskan hasrat dengan cara melepas satu tembakan.
Senjata api terlempar di dekat Kiba yang tengah berlutut. "Ughh..." Ia mengerang. Peluru menembus lengan kanannya, memberi rasa sakit yang amat luar biasa.
Hiashi meraih telepon kantor. "Suruh Neji datang ke ruanganku sekarang!" Tanpa basa-basi ia memerintahkan bawahan sekaligus melampiaskan kekesalan.
Pemilik Hyuga corp itu kembali meletakan telepon kantor dengan hempasan keras. Seolah hendak merusaknya dengan tinju penghancur.
x X x
Sakura tak pernah menyangka hidupnya berakhir bersama Naruto. Padahal sejak awal mereka memulainya dengan bibir bungkam dan kesuraman, namun siapa sangka endingnya akan sebahagia ini.
Naruto dulunya orang yang menyebalkan. Dia pendiam, pelit kata dan acuh terhadap apapun, tapi sekarang lihatlah.
Belum lama Sakura minta bulan madu ke Tokyo, tak perlu mengulur waktu Naruto langsung membawa dirinya ke kota yang diimpikan, namun setelah menyelesaikan proyek.
Dua hari sudah mereka menetap di Tokyo, dan saat ini Sakura sedang memberesi barang-barang milik mereka, entah itu baju atau alat-alat lainnya yang diperlukan untuk bekerja.
Sekalipun cuti lama tetap saja pekerjaan tidak Naruto tinggalkan. Tipikal Suami rajin.
Sakura menyiapkan kemeja beserta celana blazer bewarna hitam untuk Naruto kenakan hari ini. Ia tahu kesukaan Naruto ialah mengenakan kemeja dengan warna putih.
Sementara itu, Naruto sendiri baru selesai melaksanakan ritual sore di kamar mandi. Sebelumnya mereka mandi berdua, namun Sakura yang selesai duluan sebab ingin menyiapkan baju untuk mereka.
"Sudah dua hari kita di Tokyo. Kau suka disini?" Naruto mengajukan pertanyaan.
Sakura menatap sosok tinggi dihadapannya. "Aku tak pernah tahu akan semenyenangkan ini berlibur ke Tokyo.." Ia tersenyum sembari terus memerhatikan body Naruto.
Pria itu berbalik untuk mengambil celana yang sudah dipersiapkan, lalu kembali membelakangi Sakura. Ia mengenakan celana lebih dulu.
"Kalau libur panjang kita bisa jalan-jalan ke kota suma, tapi disana tempatnya sangat panas karena terdiri dari padang pasir. Gersang."
Lama semakin lama Naruto tidak lagi mengirit kalimat.
Dia juga bisa bicara panjang lebar.
Sakura hanya mendengarkan penuturan tadi tanpa berkomentar, namun selama menyimak
emerald miliknya tak pernah luput dari body Naruto. Ia mengamatinya lama-lama.
Aneh juga mendengar seorang pria tampan sangat takut terhadap sentuhan di bokong, kalau bukan Naruto pasti suka.
Sungguh lucu.
"Kau mau?" Naruto mengeringkan rambut menggunakan handuk yang melilit bagian bawah pinggangnya tadi.
"...mau." Sakura beranjak. Meninggalkan tepian ranjang lalu mendekati Naruto.
"Aku tentukan dulu wak—" Kalimat Naruto tersela ketika tiba-tiba bokongnya mendapat sentuhan.
Lagi-lagi Sakura melakukannya.
"Anata, kenapa kau takut ketika bokongmu disentuh?"
Naruto berusaha menahan diri. "Ka-karena masa la-lalu." Tubuhnya bergidik.
Baru sekarang Sakura bertanya, itupun setelah berkali-kali menyentuh bokong Naruto hingga kerap membuat lelaki itu merinding geli.
Mata sipit Naruto melotot. "Saku, jangan lakukan itu!" Ia histeris ketika mendapat remasan. Jari-jemari itu bergerak nakal.
Naruto membalik badan secepat mungkin, lantas memperlihatkan wajah memerahnya kepada Sakura. Percaya atau tidak, karena ulah Sakura tadi telah membuat jantungnya berdegub liar.
Jarang sekali dapat melihat kulit eskotis itu menimbulkan rona. Sakura suka melihat wajah memerah Naruto, yang membuat wajah tampan itu tampil manis dan menggemaskan.
"Kenapa dengan masa lalumu?"
Gerakan cepat Naruto langsung mendaratkan bokongnya pada tepian ranjang. "Di Sekolah aku pemilik bokong yang paling seksi, karena keseksian bokongku membuat tangan-tangan jahat mereka gemar menyentuh dan kadang-kadang meremas bokongku." Jelasnya sambil sesekali bergidik.
Naruto Namikaze terkenal sebagai pemilik bokong terseksi. Senior, Junior bahkan Guru, mereka sangat suka bermain dengan bokong Naruto, namun hanya bagian wanita.
Kebiasaan yang menjadikan Naruto geli bila mendapat sentuhan pada bokong, karena itu perbuatan lancang yang menggelikan.
Mengenai keseksian, Sakura tak bisa membantah kenyataan tersebut. Naruto memang seksi, terumata pada bagian bokong. Ia tak pernah menyentuh bokong Suami nya karena suka memandangi dengan mata.
"Aku juga suka dengan bokongmu."
Tapi sekarang, setelah pernah menyentuhnya saat pertama kali telah memberi kebiasaan buruk kepada Sakura. Bagi Naruto itu memang kebiasaan buruk yang tidak pantas dipergunakan.
Sejak awal Sakura sudah jatuh cinta dengan bokong seksi Naruto, hanya saja lebih senang memerhatikan, namun sekarang rasa ingin menyentuh dan meremas telah menguasai nafsu.
Sering kali Sakura ingin menyentuh bokong Naruto. Kalau bukan karena ketakutan Naruto, pasti akan selalu ia lalukan setiap hari.
"Aku ingin membantumu terlepas dari kebiasaan aneh itu." Sakura mengambil tempat duduk disebelah Naruto. Ia menyentuh pergelangan kokoh pria itu sembari menatapnya dengan senyum lebar.
"It-itu tidak perlu!" Terang saja Naruto menolak. Ia paling takut apabila bokong seksinya disentuh, apalagi sampai di pijat-pijat.
Bayang-bayang dari tangan jahat mereka kembali bergentayangan dalam benak Naruto setelah sekian lama terlupakan. Ini gara-gara Ino.
"Harus donk sayang..." Mata Sakura berkedip-kedip genit, tanda bahwa ia sudah sangat menginginkan sang Suami. Terutama dalam memijat bokongnya. "Agar tidak menjadi kelemahanmu lagi." Imbuhnya— membujuk.
Naruto merinding. "TIDAK!"
x X x
Hubungan mereka benar-benar berakhir sejak beberapa bulan lalu. Sakura telah pergi meninggalkan Sasuke, itupun karena kesalahan Sasuke sendiri.
Sasuke— si pengingkar janji telah mendapat hukuman, ialah dengan perginya Sakura dari dalam hidupnya. Sang kekasih telah jatuh kepelukan orang lain tanpa memandang kebelakang.
Tersisa kenangan manis, sementara yang membuat luka tak pernah lagi terlihat hadir di depan mata. Sosoknya menghilang seperti di telan bumi.
Sasuke kehilangan jati diri semenjak kepergian Sakura. Ia tak pernah lelah berharap Tuhan sudi memberi kesempatan kedua untuk memperbaiki hubungan mereka, jika memang bisa maka ia pastikan kesalahan seperti waktu itu tidak terulang lagi.
Uchiha bungsu tersebut mendongkan kepala. Menatap langit malam yang penuh dengan bintang-bintang kecil apabila diamati dari bawah.
Hembusan nafas Sasuke menciptakan kepulan asap dari belah bibir serta hidung. Cuaca malam ini dingin sekali. Jelas saja, sekarang di Tokyo sedang turun salju yang mengharuskan orang-orang menggunakan syal dan pakaian penghangat.
Sasuke Uchiha menyusuri pinggiran Toko dengan tubuh berbalut mantel tebal, syal yang meliliti leher agar lebih menghangatkan lagi.
Ada pertemuan penting di Tokyo, untuk itu Sasuke terlihat di Ibukota Jepang selama beberapa hari terakhir.
Pada intinya Sasuke datang sebelum mereka.
Naruto dan Sakura.
Onyx kelam tersebut melebar. Sasuke melihatnya! Sudah pasti tidak salah lihat mengenai sosok merah muda yang ada disana.
"Sakura!?"
Perempuan itu terlihat sedang memberi selembar uang kepada penjaga Toko cake, dan dia sedang bersama seorang lelaki yang tidak dapat Sasuke lihat wajahnya.
Cukup menebak saja bahwa lelaki yang bersama Sakura merupakan Suami nya.
Sasuke berlari kecil untuk menyusul mereka. "Sakura...!" Ia panggil wanita itu dari kejauhan.
Sakura menerima uang kembalian dari si pemilik Toko. "Terimakasih Paman." Ucapnya yang kemudian mendapat senyum ramah.
"Kita beli kopi?" Tawar sang Suami.
"Cappucino !" Jawaban itu terlontar cepat.
Naruto tertawa. "...sejak kapan kau suka minum kopi?" Sudah menjadi kesenangannya menggoda sang Istri.
Keduanya meninggalkan Toko usai membeli makan ringan. Di Tokyo terdapat danau indah, tempat yang akan menjadi tujuan mereka malam ini untuk menikmati kebersamaan.
Sakura memeluk lengan Naruto. "Sejak bersamamu sayang." Ia terkikik. Yang dikatakan memang fakta, sejak bersama Naruto telah memberi banyak kebiasaan baru kepada dirinya. Termasuk kebiasaan aneh.
"Apa hidup bersamaku membuatmu bahagia?"
Sakura memaksa mereka berhenti melangkah sesaat. "...lebih dari bahagia." Lantas ia memberi kecupan di pipi Naruto sebagai bentuk rasa cinta, setelah itu perjalanan mereka berlanjut.
"Sakura...!"
Sama-samar merasa namanya dipanggil, keanehan itu membuat Sakura mengerutkan jidat lebar miliknya. Suara familiar itu berasal dari arah belakang, maka dari itu ia menolehkan kepala untuk mengetahui si pemanggil.
Sontak saja, keberadaan Sasuke seperti objek yang menyihir Sakura. Matanya membulat sempurna melihat sang mantan berada di kota yang sama dengan mereka.
"Sasuke!?"
Batin Sakura menyebut nama laki-laki emo disana.TO BE CONTINUE...