Jasad?
Mendengar itu Sakura dibuat membantu. Tubuhnya kaku seperti menderita penyakit aneh yang dinamakan Autoimun.
"Ti...tidak mungkin."
Sakura melesat cepat meninggalkan tempatnya tadi, menyerukan nama Naruto sepanjang jalan menyusuri tepi jurang. Angin lautan berhembus begitu kencang, dingin menerpa kulit wajahnya dan ia terus berlari sampai akhirnya tiba di tempat tujuan.
Perempuan itu mematung dengan mata melebar sempurna. Tubuhnya kembali kaku setelah benar-benar melihat jasad Naruto, dan memang sudah tak bernyawa lagi.
"TIDAKKK!"
Teriakan panjang dialam mimpi membangunkan Sakura di dunia nyata. Ia mematung seperti mimpi tadi, terdiam selama beberapa detik untuk mencerna yang telah terjadi.
Kejadian tadi tidak nyata. Hanya mimpi buruk belaka.
Sakura langsung bangun setelah kesadarannya pulih. Di sekitar sini tidak terlihat keberadaan manusia, maka ia anggap ini adalah kesempatan untuk menyusuri pesisir lautan.
Tidak satupun ada yang melihat kepergian Sakura, biarpun Sasori sedang berjaga di sisi kiri, sementara Tim Sar lainnya sedang berpencar di setiap tempat dan sampai pukul empat pagi ini mereka belum juga kembali membawa kabar.
Kushina terlelap di dalam mobil, sama sekali tidak mengetahui kepergian Sakura. Ia terlalu lelah selama empat harian ini hanya bisa tidur dalam waktu dua atau tiga jam, membuatnya tertidur dengan lelap disebelah bekas tempat Sakura.
Kini perempuan merah muda itu telah tiba di tepian laut. Ia nekat turun dalam kesulitan, satu persatu menginjak batu-batu agar tidak langsung terjatuh.
"Jangan takut sayang, aku akan datang untukmu. Kita pasti akan bersama selamanya... kita tak kan pernah terpisahkan sekalipun maut. Kau dan aku satu untuk selamanya. Tunggu kedatanganku sayang. Aku pasti datang untukmu."
Sakura meracau disela-sela perjuangannya untuk turun ke dasar lautan. Ia tergelincir, namun masih bisa bertahan berkat pegangan tangan terhadap batu-batu kecil.
Wanita itu ingin tiba di lautan dengan cara yang tidak menyakitkan. Kasihan Bayi nya.
"Sakura..."
Panggilan lembut tersebut menghentikan niat Sakura ketika hendak terjun, padahal tinggal sedikit lagi. Ia berhenti karena kenal benar dengan suara tadi.
"Naruto, kau kah itu!?" Sakura menatap ke atas tebing.
"Sakura."
"Naruto..."
secepatnya Sakura memanjati tebing untuk kembali ke atas sana, beruntungnya jarak lautan dan tebing tidak begitu jauh. Hanya beberapa langkah namun karena tumpukan batu yang membuat kesulitan ketika turun ataupun naik.
Sakura berhasil tiba di atas. Ia mengulas senyum lega dan haru kala mendapati sosok Naruto sedang duduk tenang di atas batu raksasa, namun dalam keadaan membelakangi dirinya.
"Sayang, kau kembali."
Sakura melangkah mendekati Naruto yang tampak enggan menampakan rupa.
"Ya..." Jeda sejenak. "...aku pasti akan kembali."
Sakura terkesiap. "Naruto..."
Akhirnya kepala pirang itu bergerak walau sedikit, lalu Sakura mendapat lirikan penuh kasih dari bola mata indah di sana. "Aku sangat mencintaimu." Senyumnya terlukis.
Perlahan-lahan cahaya yang melingkupi tubuh Naruto semakin menebal, sedikit demi sedikit menghilangkan sosoknya. Melihat itu Sakura tersentak dan mencoba mengejar Naruto dengan cara berlari di atas hamparan batu.
Wanita merah muda itu tampak kesulitan melalui kerikil. Telapak kakinya sakit dan mungkin luka-luka karena saat meninggalkan mobil ia tidak mengenakan sepatu atau sandal, melenggang begitu saja.
"Tidak Naruto. Kau tak boleh pergi!"
Sia-sia saja. Panggilan Sakura tidak didengarkan, sekian detik berlalu sosok Naruto benar-benar hilang diselimuti oleh cahaya putih, tak menyisakan apapun di tempatnya duduk tadi.
"NARUTO...!"
Naruto sudah menghilang. Sakura terjatuh pasrah dan menangis di sana. Kehilangan Naruto membuat hidupnya hancur berkeping-keping. Ini jauh lebih menyakitkan daripada masa lalu.
Wanita itu tampak tak berdaya. Di sudut matanya tak pernah berhenti air mata mengalir. "Hiks hiks, Naruto..." Ia terisak di tempatnya terjembab, hanya mengepalkan tangan erat-erat untuk menahan perih di dalam hati. Kelewat perih.
x X x
Lelaki dengan style rambut klimis itu linglung. Sejak diajak pergi ia memang sudah curiga, dan ternyata benar saja tujuan mereka ialah ke kantor polisi. Ia tak salah menduga bahwa mereka berdua komplotan polisi.
"A-ada apa ini?" Pria itu tergagap. Terang saja takut, saat tidak punya salah apa-apa mendadak saja diseret ke kantor polisi. Siapapun orangnya pasti takut.
Nagato segera duduk dihadapan saksi mata yang di bawa oleh Yahiko dan Konan. Ia tatap lekat sepasang bola mata ungu di depan sana. "Malam sabtu sekitar pukul sembilan pas, ada di mana kau saat itu?"
"Aku?" Hidan menunjuk diri sendiri, hanya tatapan datar yang didapat. Ia tersenyum kikuk. "Oh ya, malam itu aku masih di kantor, tapi sudah keluar karena saat itu aku mau pulang."
Tatapan mengimintidasi tertuju pada sosok Hidan. Nagato menyipitkan mata hingga menajamkan pandangan. "Kau bertemu dengan orang aneh di halam parkir, benar 'kan?"
Hidan mengerutkan kening tebal-tebal, mencoba mengingat kembali kejadian lima hari yang lewat. "Umm..." Kecemasan tak lagi melingkupi dirinya. Ini hanya sebuah pertanyaan. "Nah, sekarang aku ingat!" Ia membenarkan posisi duduk lalu melanjutkan cerita. "Malam saat kejadian Boss Naruto kecelakaan tanpa sengaja aku menubruk orang aneh berbadan besar dan tinggi ketika sedang berjalan menuju barisan mobilku."
"Kau melihat wajahnya?"
"Yah, aku melihatnya. Jelas sekali."
"Bagaimana parawakannya? Bisa kau jelaskan?"
Hidan mengangguk. "Tentu... tentu..." Katanya dengan semangat. Semangat ingin segera pergi dari tempat ini.
"Sai, siapkan keperluannya."
"Baik Pak." Sai mengangguk hormat, setelah itu meletakan sebuah buku gambar di meja dekat sebelah Hidan duduk. Terdapat pensil di tangannya, alat-alat untuk membuat sketsa tentang si pelaku pembunuhan.
Nagato kembali menatap Hidan lalu mengangguk satu kali. "Ceritakan."
Hidan memutar mata untuk memulihkan ingatan tentang sosok misterius kemarin. "Wajahnya lonjong..." Kelopaknya tertutup selama sesaat. "Dagu rata, hidung mancung."
Dengan begitu cekatannya Sai membuat goresan di atas kertas kosong. Memulai dari lingkaran agak lonjong, lalu bagian bawah ia bikin rata sekitar sepanjang beberapa centi. Setengah dari jari kelingking.
"Matanya hijau terang tapi tidak ada pupil, sklera merah seperti orang penyakitan." Hidan menjeda sejenak kalimatnya, dan lagi-lagi untuk mengingat. "Mulutnya dijahit dari sisi kiri dan kanan... panjangnya jahitan sampai mengenai pipi, lalu rambutnya panjang dan warnanya coklat."
Coretan di kertas Sai mulai terbentuk, melihat itu iapun mengernyitkan kening karena merasa familiar dengan wajah tersebut.
Nagato terus mengamati wajah konyol Hidan. Mencermati setiap kata yang terlontar dari bibir pucat tersebut.
"Badannya kekar, tinggi sekitar 185 cm."
"P-pak komandan..." Yahiko dan Nagato menatap Sai. "I-ini."
Dengan cepat Nagato menarik buku gambar milik Sai, dan setelah melihat sketsa tersebut ia pun langsung shock. Yahiko tak kalah shock darinya.
"Dia..." Konan terpaku dengan mata membulat. "Kakuzu."
Kakuzu seorang buronan yang diincar oleh polisi sejak beberapa tahun lalu. Penjahat kelas atas yang telah banyak melenyapkan nyawa pengusaha, bahkan Presiden yang memimpin Negara Jepang mati di tangannya.
Hasirama Senju seorang Presiden di Negara Jepang, Istri nya bernama Mito Uzumaki merupakan Nenek dari Kushina dan Nagato yang telah lama tiada setelah pasca penyerangan di gedung Presiden.
Nagato menggeram. "Sial, ternyata dia masih hidup dan sekarang berkeliaran di Konoha." Ia pikir Kakuzu sudah mati pada saat melarikan diri ke kota Kiri, tapi ternyata perkiraan mereka salah besar.
Hidan melongokan kepala untuk ikut melihat. "Wah, benar ini dia orangnya." Ujarnya membenarkan sketsa yang dibuat oleh Sai. "Lukisanmu sangat bagus, seperti 3D." Pujinya.
Mereka berbondong-bondong menontoni sketsa yang dibuat oleh Sai, tidak dengan Nagato. Komandan muda itu tengah berpikir keras, mencari cara untuk menangkap Kakuzu.
"Kali ini kau pasti tamat, Kakuzu."
x X x
Semilir angin menghembus lembut sosok Sakura yang saat ini sedang duduk dalam keadaan lemah diantara dua makam. Sepasang tangan kurus miliknya menyentuh batu nisan dikedua makam tersebut, yang bertuliskan nama Kizashi Haruno dan Mebuki Haruno.
Sakura berkunjung ke makam kedua orang tuanya. Kalau dalam keadaan terpukul ia pasti datang ke tempat ini untuk mengadu kepada mereka, dan itu sudah menjadi kebiasaan sejak kecil dulu.
"Ayah... Ibu..."
Suara parau Sakura menyertai gemersik aneh yang terdengar dari pepohonan karena dihembus angin. Kini ia mengusap nisan tersebut secara bersamaan.
Wanita itu duduk bersimpuh di sana. "Bisa 'kah kalian menolongku?" Air matanya tak pernah lelah merembes. Sepanjang hari ia terus menangis. "...tolong suruh Suamiku kembali. Katakan kepada Suamiku kalau di sini aku selalu menunggu kepulangannya. Kami berdua... aku dan Bayiku."
Satu kali Sakura pernah mengajak Naruto ke makam mereka. Lelaki itu tidak menolak, justru saat diajak dia terima dengan senyum cerah di wajah dan anggukan semangat. Orang tuanya pasti kenal dengan Naruto.
Sakura tersenyum miris bila mengingat moment manis mereka. "Iya Ibu. Lelaki berambut pirang itu Suamiku, dia tampan dan baik... Ibu pasti sudah mengenalnya kan? Aku pernah mengajaknya ke sini waktu itu."
Jemari lentik Sakura mengusap lembut nisan milik Ibu nya, lalu bergantian nisan Ayah nya. Ia sangat menyayangi mereka berdua meski hanya sebentar dapat merasakan kasih sayang dari mereka.
"Ayah juga pasti kenal dengan Suamiku." Senyum Sakura tertuju kepada makam Kizashi Haruno.
Sakura menggigit bibir. Ini terlalu menyakitkan, rasanya ia ingin mati saja. Ingin menyusul Ayah dan Ibu nya di sana.
"Aku mohon hiks hiks..."
Sakura meringkuk— menyembunyikan tangis beserta suara. Ia tersedu-sedu karena lagi-lagi mengingat keadaan Naruto. Pasti belum mati. Suami nya pasti baik-baik saja disuatu tempat.
"Sakura."
Akhirnya. Akhirnya. Akhirnya setelah sekian lama tak berjumpa, kini suatu kebetulan Sasuke datang ke pemakaman Kakek dan Nenek nya lalu bertemu dengan Sakura.
Lama sekali pria itu memendam rindu.
Terang saja sapaan dingin tadi mengganggu ketenangan Sakura. Kini ia tengah mendongakan kepala dan menatap sosok gestur tinggi yang kini sedang berdiri tegap dihadapannya.
Sasuke melangkahkan kaki menuju ke tempat Sakura. Dengan senyum begitu tipis ia menghampiri perempuan itu.
Sakura terkesiap. "Kau..." Harusnya mereka tidak bertemu lagi setelah memutuskan untuk berpisah. Ia tak menginginkan kehadiran Sasuke. Sangat tidak ingin.
Mereka bertemu di tempat pemakaman, membuat Sasuke berpikir yang Sakura tangiskan tak lain tak bukan adalah makam kedua orang tuanya. Ia tahu karena dulu Sakura kerap melakukan itu bersamanya di sini.
"Bagaimana kabarmu?" Sasuke berbasa-basi. Keadaan mereka canggung sekali, karena Sakura terlihat tidak ingin membuka mulut. Ia bingung harus melakukan apa.
"..." Mata membengkak Sakura terus menatap Sasuke.
"Maaf." Pria itu menundukan kepala setelah berjongkok dihadapan Sakura. "Maafkan aku." Dengan lancang ia langsung meraih kedua tangan Sakura lalu digenggam erat. "...kumohon maafkan Sakura. Maafkan aku."
Sakura diam tak bergerak. Terlalu lemah untuk meninggikan suara, maka ia biarkan Sasuke berbuat seperti itu.
"Berilah satu kesempatan saja kepadaku. Kembalilah Sakura... kembalilah." Sasuke rela menjadi pengemis demi Sakura, daripada dirinya hidup dalam penderitaan tiada akhir. "Aku janji akan mempertahankanmu... aku akan menjaga dan melindungimu dari apapun, sekalipun keluargaku."
"..." Sungguh, Sakura benar-benar tak berdaya. Kehilangan Naruto membuat hatinya tidak utuh lagi.
Kini Sasuke menaikan pandangan dan menatap wajah sembab Sakura dengan wajah bertekuk sedih. Ia bahkan tidak malu memperlihatkan tangis, karena pada dasarnya pria sejati juga bisa menangis.
"Kembalilah kepadaku... aku akan menerima dirimu apa adanya."
Bibir pucat Sakura membentuk seulas senyum tipis. Sangat tipis. "Tapi aku sudah tidak suci lagi. Aku sudah ternodai oleh pria yang mau menikahiku padahal tahu yang terjadi waktu itu cuma salah paham." Sindirnya.
Sasuke menggeleng. "Tidak masalah bagiku... apapun kekuranganmu bisa aku terima asal kau kembali kepadaku."
Mendadak tangis Sakura terhenti berkat kedatangan Sasuke kemari. "...aku sedang Hamil, apa kau tidak keberatan?"
"Tidak. Sama sekali tidak. Aku ingin menjadi Ayah dari anak yang kau kandung, dan aku akan mencintai kalian segenap jiwa ragaku."
Kini senyum Sakura benar-benar diperlihatkan. Sasuke dapat melihat senyum penuh makna tersebut dengan mata hitam miliknya. "Tapi aku keberatan, karena aku sudah tidak mencintaimu lagi. Sekarang aku hanya mencintai Suamiku. Hidup dan matiku hanya dia satu-satunya pria yang paling aku cintai, kuharap kau mengerti dan berhenti menganggu hidupku."
Sasuke terdiam bak patung. Onyx kelam miliknya menampakan keterkejutan yang sangat, sampai-sampai lidahnya kelu untuk sekedar memberi sepatah kata saja.
Sakura melepaskan genggaman Sasuke dari tangannya, kemudian ia beranjak dari sana. "Kau menjijikan." Sedikit menghina lebih dari cukup memuaskan hatinya. Ia tersenyum penuh keangkuhan lalu pergi dari hadapan Sasuke. Meninggalkan lelaki itu dalam keterpurukan.
Sasuke tak berkutik. Kata-kata Sakura begitu tajam dan menyakitkan. Mengemis dan bersujud tak menghasilkan buah manis, justru hinaan yang didapat, ia merasa rendah sekarang.
Harga diri Sasuke Uchiha yang berdiri menjulang tinggi bak gunung kini runtuh setelah dihina tanpa perasaan oleh wanita sesederhana Sakura.
Kau menjijikan , kalimat pendek yang menusuk hati dan sampai detik ini masih terngiang dalam benak Sasuke. Terus mengiang seperti bisikan iblis.
Kau menjijikan...
Kau menjijikan...
Sakura baru saja hendak masuk ke dalam, tiba-tiba ponselnya yang tersimpan di dalam jaket berdering. Segera ia merogoh jaket kulit tersebut— barang milik Naruto yang ia kenakan, lalu menjawab panggilan dari nomor yang bernama Ibu .
"Hallo Ibu."
"Sakura-Chan, kau ada di mana sekarang?"
Wanita itu tersenyum getir. "Di pemakaman Ayah dan Ibuku." Setelah itu sang Ibu berkata lagi dengan menyuruh dirinya lekas pulang karena untuk bepergian kesuatu tempat, ketika ia bertanya ingin tahu, maka beliau memberi jawaban mengejutkan yang membuat ia terkejut bercampur lega mendengarnya.
"Naruto baik-baik saja."
x X x
"Berapapun yang kau inginkan... kau pasti puas menjadi klienku."
Shiro Aburame tengah mengobrol dengan dengan seseorang melalui panggilan telepon. Mata hitam miliknya menatap lautan manusia dan kendaraan dari atas gedung, sesekali tersenyum kecil ketika orang dis seberang sana membalas perkataan.
"Siapa yang harus kulenyapkan?"
Lelaki itu menatap ke belakang sesaat, kemudian kembali seperti sedia kala. "Choza Amakichi, pemilik perusahaan keripik kentang terbesar di Jepang." Orang di seberang sana diam mendengarkan. "...aku ingin dia lenyap dalam waktu dekat ini."
Kakuzu menyeringai keji. "Mudah saja." Jawabnya tidak keberatan dengan tawaran kerja tersebut.
"Untuk bayaran muka silahkan temui aku di mar—"
"Tidak!" Kakuzu menolak bertemu.
Shiro mengernyit heran. "Apa maksudmu?"
"Aku tidak akan keluar... supaya aku percaya sebaiknya kau sendiri yang datang." Kakuzu sangat berhati-hati dengan kasus penipuan. "Kalau kau setuju akan kukirimkan alamatnya via pesan." Bahkan Hiashi Hyuga datang sendiri padanya setelah menelfon, Shiro Aburame juga harus seperti Hyuga.
"Well. Apapun itu aku setuju saja asal kau nyaman."
"Hn, baiklah."
"Sampai nanti."
Tut.
Shiro menatap layar ponsel untuk memastikan panggilan mereka benar-benar sudah berakhir. Ia tersenyum puas, lalu menyimpan ponsel tersebut ke dalam saku celana.
Lelaki berambut jabrik itu menyudahi membelakangi orang-orang. Ia membalik badan hingga kembali berhadapan dengan mereka.
"Bagaimana, Pak Nagato?"
Nagato duduk disebelah Choza yang juga menyaksikan serta mendengarkan pembiacaraan mereka. Speaker ponsel dinyalakan tadi pada saat keduanya ngobrol.
"Kerjamu bagus, Tuan Shiro Aburame." Ini adalah sebuah konsporasi antar Polisi dan pengusaha, dilakukan untuk melaksanakan penangkapan seorang pembunuh bayaran.
Sudah lama Nagato mengincar Kakuzu. Ia pikir Kakuzu tewas dalam kecelakaan pesawat pada saat dalam penerbangan menuju ke kota Kiri, namun rupanya Kakuzu memalsukan identitas dan melarikan diri ke kota Iwa selama beberapa tahun.
Tak pernah Nagato sangka bahwa Kakuzu akan kembali lagi, dan lagi-lagi mengincar nyawa dari salah satu anggota keluarganya. Sudah tiga korban, sekarang Nagato sangat ingin menghabisi Kakuzu dengan tangannya sendiri.
"Pembunuh keparat."
Nagato mengepalkan tangan erat-erat, begitu dendamnya ia kepada Kakuzu— si buronan polisi. Dia cukup cerdik, bahkan Tentara kesulitan menangkapnya.
"Aku bersumpah kali ini aku akan mati. Kau akan mati di tanganku, Kakuzu brengsek!"
Nagato membuat janji dengan sendiri. Ia pastikan Kakuzu akan mati, kalau tidak mati lebih baik dirinya sendiri yang mati. Sangat memalukan sebagai anggota kepolisan tidak bisa menuntaskan kasus ini. Sebagai yang teratas ia akan berusaha lebih dari kemampuan.
Tri-Tone!
Ponsel Shiro berdering singkat. "Ini pasti dia." Segera ia mengeluarkan ponsel tadi dan langsung membuka pesan yang baru beberapa detik dikrim oleh seseorang.
Kakuzu mengirim alamat lengkap kepada Shiro. Tempat pertemuan mereka berbeda dari yang pernah Hiashi injak dengan kakinya.
"Kompleks block B." Shiro mengungkapkan.
"Aku akan menyiapkan pasukan untuk berjaga-jaga di area kompleks." Nagato mentap Choza. "...dan Anda Tuan Choza." Pria itu membalas tatapan darinya. "Mohon menetap di dalam rumah sampai Kakuzu berhasil diringkus. Ini demi keselamatan Anda Tuan."
Choza tersenyum sangat lebar. "Baik Pak Komandan." Suara beratnya terdengar.
Inilah rencana Nagato. Menjebak Kakuzu dengan bantuan Choza dan Shiro.
x X x
Aoba yang bertugas mengawal setiap kepergian Sakura kini telah selesai dalam bertugas dengan tibanya mereka tempat tujuan. Setelah mobil yang dikendarai berhenti Sakura langsung keluar dengan tergesa, bahkan lupa menutup pintu.
"Nyonya, ada yang bisa saya lakukan lagi?"
Langkah Sakura tertahan karena kesetiaan Aoba. "Tidak, terimakasih. Kau boleh pulang." Katanya kemudian melenggang, tak memberi kesempatan kepada Aoba untuk berterimakasih.
Aoba menghela nafas. "Semoga Big Boss baik-baik saja." Siapa saja selalu mendo'akan yang terbaik untuk Naruto.
Begitu cepat dan lihainya Sakura menampaki setiap lantai yang menjadi tempatnya berpijak, dan ketika tiba di depan pintu raksasa dua orang penjaga bertubuh kekar mempersilahkan dirinya masuk. Mereka membungkuk— menghormati.
Mansion yang Sakura masuki begitu megah dan mewah, sedikit berbeda dari kediaman milik Minato. Kali ini lebih besar, luas dan banyak hiasan-hiasan seharga jutaan yen. Uzumaki keluarga yang terkenal akan kekayaannya, karena Uzumaki keturunan dari Presiden Hasirama Senju yang cukup lama memimpin Negara mereka.
Sakura linglung. Ketika masuk ruangan sepi yang tersuguhi, dan ia bingung mencari keberadaan mereka. Kushina menyuruhnya datang ke tempat ini bersama Aoba, tapi mereka malah tidak kelihatan.
"Oh, kau sudah datang."
Suara tegas mengintrupsi kesibukan Sakura. Kepala merah mudanya menoleh ke belakang, dan di sana ia mendapati kehadiran seorang wanita pirang dengan pony berbelah tengah.
Tsunade tersenyum simpul sebagai sambutan hangat atas kedatangan orang baru dalam keluarga mereka. Ia mendekati Istri dari Cucu pirangnya itu.
"Di mana Naruto?" Dalam pikiran Sakura tidak terlintas untuk mengajak berkenalan atau sekedar membalas sapaan tersebut, ia langsung pada intinya. Ingin bertemu dengan Naruto.
Kushina muncul dibelakang Tsunade. "Ah, Sakura-Chan." Sapanya lalu tersenyum lepas. Tidak ada lagi beban dipundaknya. Naruto baik-baik saja di sini.
Telapak tangan milik Tsunade menangkup pucuk kepala Sakura. "Kau boleh menemui Naruto, tapi cukup melihat. Jangan ganggu tidurnya karena dia baru beberapa menit tadi tidur setelah aku beri obat tidur." Bahkan Kushina hanya melihat Naruto yang terlelap pulas, tidak diizinkan untuk membangunkan. Ia melarang mereka dengan peringatan keras.
Sakura mengangguk patuh. "Baiklah... apapun larangannya akan aku turuti asalkan aku bisa melihat Suamiku." Ucapnya sambil tersenyum haru, antara sedih dan bahagia.
"Yamato, tolong antarkan wanita ini ke kamar Naruto."
Lelaki bermata menyeramkan itu segera mematuhi. Ia menuntun Sakura dan membawanya naik ke lantai atas.
Kushina menatap Tsunade. "Bibi, kau belum cerita apa-apa kepadaku tentang keadaan Naruto sampai terdampar disini."
Tsunade yang awalnya memerhatikan Sakura kini melirik Kushina melalui ekor mata. "Naruto yang tahu keseluruhan ceritanya, aku hanya sebagian." Ujarnya.
"Tidak apa-apa." Kushina menyetuh lengan Tsunade, membuat wanita pirang itu menghela nafas. Helaan yang menandakan persetujuan.
"Ikut aku." Tsunade melangkah menuju letak sofa, segera diikuti oleh Kushina.
Ceklek.
Sakura menggigit bibir sangat kuat. Air matanya memaksa keluar, dan ia tak sanggup lagi menahannya. Membiarkan dirinya menangis dalam diam sambil terus memerhatikan punggung lebar di sana.
"Si baja itu sehat-sehat saja."
Wanita itu mengumpat kesal dan bahagia. Akhirnya ia bisa tersenyum lega setelah mengetahui keadaan Naruto. Lihatlah, Suami pirang tercintanya itu baik-baik saja. Sehat sentosa seperti biasa. Tidurnya begitu lelap dengan keadaan membelakangi pintu.
Sakura memasuki kamar tersebut. Menyusurinya dengan langkah tanpa suara, kemudian menyudahi langkah setelah tiba didekat Naruto. Tepat dihadapan lelaki itu ia berdiri.
Hanya ada beberapa perban yang meliliti anggota badan Naruto. Lengan, kepala dan dada. Sepertinya luka-luka kecil, dan untungnya tidak ada patah tulang.
Sakura mengambil tempat duduk di tepi ranjang. Tangan kurusnya bergerak, lalu menyentuh wajah damai Naruto. Sudah tujuh hari menghilang, seperti inilah keadaan Suami nya sekarang.
Seperti kata Kushina. Naruto baik-baik saja.
x X x
Dua unit mobil hitam berhenti melaju tak jauh dari letak perumahan kompleks. Pintu terbuka cepat, beberapa orang berpakaian serba hitam keluar dari dalam sana dan masing-masing dari mereka membawa senjata.
Sudah berhari-hari menantikan hari ini, maka tibalah saatnya bertindak untuk membekuk Kakuzu. Nagato begitu benci dan menyimpan dendam kesumat kepada pembunuh bayaran itu. Ia muak melihat wajah jeleknya.
Yahiko mengatur posisi. Satu diantara mereka ia perintah untuk menjaga sebelah barat, timur, selatan dan utara. Semua sudah di kunci oleh mereka, tinggal menjalankan rencana selanjutnya.
Nagato menghampiri Shiro. "Untuk antisipasi, kalau dia menyerang jangan ragu-ragu menghabisi." Ia memberikan senjata api kepada Shiro, sebuah senjata mematikan.
Shiro mengangguk tanda mengerti. "Baik Pak, terimakasih." Ucapnya.
Lelaki berambut merah itu tersenyum. "Selamat bertugas. Percayakan semuanya kepada dirimu sendiri, kami pasti setia bersamamu untuk membantu." Ia menepuk pelan bahu Shiro.
Mereka datang saat senja, saat sedang sepi-sepinya kompleks dari perkumpulan warga. Disini tempatnya kumuh, banyak sampah dan berbau tak sedap, sangat cocok mengadakan pertemuan rahasia di tempat-tempat seperti ini.
Nagato menarik lambaian ke arah belakang, memberi perintah kepada Yahiko untuk meletakan salah satu polisi dipertengahan. Dari kejauhan tampak Yahiko menganggukan kepala, lalu mengacungkan jempol ke arahnya.
"Sekitar empat jam lagi." Shiro menatap alorji bermerk miliknya, dan jarum pendek menunjuk pada angka enam lewat tiga puluh menit. Ada baiknya mengepung sekitar kompleks dari sekarang.
"Kembalilah masuk ke dalam mobilmu, dan tunggu kabar kedatanganya. Ingat!" Nagato menatap tajam mata hitam Shiro. "Jangan gegabah. Jangan berberilaku aneh yang dapat membuat dia curiga, tetap dingin dan santai. Kau harus rileks, kalau ketahuan dia bisa kapan saja melenyapkanmu."
Shiro menenguk ludah. Tak ia sangka sebegitu berbahayanya Kakuzu. "Aku pasti bisa melaluinya... percayalah." Agak menakutkan, tapi dalam hati ia berseru. PASTI BISA.
Nagato mengangguk. "Goog luck, Tuan Shiro."
Yahiko sudah menyerbakan pasukan ke setiap sudut tempat. Semua menggunakan senjata berupa pisau, pistol dan tak lupa mengenakan rompi anti peluru maupun ujung pisau.
"Sai."
Pemuda berwajah pucat menghampiri Konan saat mendapat panggilan. "Siap!" Ia tegak hormat dihadapan sang pemimpin.
"Pastikan pasukan kita menjaga ketat keamanan keluarga Amakichi. Jangan pernah lengah, Kakuzu sangat berbahaya."
"Siap laksanakan!"
Sai langsung bertindak cepat. Menyampaikan pesan Konan melalui suara radio, dan perlu menggunakan beberapa kata sandi yang hanya di mengerti oleh mereka.
Nagato yakin semua akan selesai malam ini juga. Kakuzu pasti jatuh ke tangannya, dan sudah menjadi keharusan karena kalau pasti tidak terlalu menjamin.
Kakuzu harus mati. Nagato bersumpah akan memisahkan kepala Kakuzu dari tubuhnya.
x X x
Dari sore sampai malam Sakura tak lelah memandangi wajah Naruto. Setia duduk di depan Naruto bersama senyum bahagia, sesekali tertawa pelan disaat Suami nya itu mengubah posisi tidur dan mendengkur.
Lucu sekali. Kebiasaan Naruto kalau tidur pulas pasti bibir tipisnya memberi celah untuk melancarkan pernafasan, dengkuran halus selalu terdengar. Sama sekali tidak berubah.
Sampai saat ini Naruto masih terlelap. Dia tidur memeluk guling, tidak pakai baju dan hanya bagian bawah pinggang yang diselimuti. Selalu malas tidur pakai selimut, kecuali kalau cuaca benar-benar dingin seperti saat mereka berada di Tokyo.
Ceklek.
Kushina membuka pintu kamar dengan pelan, kemudian kepala merahnya menyembul ke dalam. "Sakura-Chan..." Panggilnya.
Sakura tersentak. Ah, bisa-bisanya ia melamun. Ia tidak menyahut, namun segera meninggalkan tepian ranjang dan menghampiri Kushina.
"Ada apa Ibu?" Setelah berdiri dihadapan Kushina barulah Sakura mengajukan pertanyaaan. Niatnya tidak menyahut agar tidur Naruto tidak tergugah.
"Nenek memanggil, ada hal penting yang harus dibicarakan." Kushina meraih tangan Sakura. "Ayo kita ke dapur." Ia menggandeng menantu cantiknya itu dan langsung mengajaknya pergi ke dapur.
Tsunade Uzumaki sedang menunggu mereka.
"Bagaimana Naruto bisa sampai di sini?"
Kushina tersenyum. "Itulah yang ingin Bibiku bicarakan kepadamu... ada hal lain juga." Jawabnya disela-sela melangkah bersama Sakura yang terus patuh.
Tsunade duduk sendirian di meja makan, tengah menunggu Sakura dan Kushina tiba. Ia menyanggah dagu sembari berpikir soal keadaan Naruto. Ini genting sekali.
"Bibi." Kushina menyapa setibanya mereka di dapur.
Wanita pirang itu mamantapkan tatapan mata ke arah kursi yang terletak diseberangnya. "Sekarang kalian sudah di sini."
Sakura kebingungan. Bagaimana tidak, di atas meja kaca tersebut disajikan berbagai macam makanan berserat. Kalau ada rundingan tidak perlu dibicarakan di depan makan, bukan?
"Kau lihat semua makanan itu, Sakura?"
Ada sushi, sashimi, takoyaki dan makanan manis - asin lainnya. Sakura tidak bisa menyebutkan nama-nama semua makan tersebut, maka ia hanya mengaggukan kepala sebagai jawaban.
Tsunade menaikan kedua alis sedetik. "Sekarang makanlah semua itu. Habiskan sampai benar-benar kenyang."
Sakura cengo. "A-aku?" Ia memastikan sekali lagi sambil menunjuk diri sendiri.
"Benar kau..." Tsunade mendatangi Sakura kemudian menekan kedua bahu perempuan itu, dan mendorongnya ke bawah sampai terduduk dibangku. "Aku dapat melihatnya dari caramu bernafas." Kini ia menyentuh dagu lancip Sakura. "...kau sedang mengandung calon."
Sakura tertegun. Wanita itu...
Tsunade tersenyum. "Sekarang makankanlah semua makanan-makanan sehat ini. Janinmu butuh nutrisi agar pertahanannya kuat."
Kepala merah muda tersebut mengangguk dengan begitu semangatnya. Segera Sakura melahap potongan sushi, lalu melahap lagi yang lainnya sampai memenuhi mulut. Bersusah-susah payah ia mengunyah makan tersebut, ketika menelan butuh perjuangan keras.
Kushina dan Tsunade terawa melihat keunikan Sakura.
Dia lucu, bukan?
Untungnya kandungan Sakura baik-baik saja sehabis terpeleset di kamar mandi. Sampai kini janin tersebut terus tumbuh, perlahan-lahan mulai membentuk dari ujung kepala.
Semua akan berubah setelah bulan tua nanti.
Ini makanan terakhir yang Sakura telan, sehabis itu ia tidak sanggup lagi melanjutkan makan malam. Kapasitas perutnya tidak memadai. "Hal penting apa yang ingin dibicarakan?" Ia bertanya setelah meneguk air mineral dan menatap Tsunade serta Kushina malalui seberang meja.
Tsunade memejamkan mata lalu menghembuskan nafas sebelum berkata. "Seseorang menginginkan kematian Naruto."
Sakura dan Kushina terkejut. Mata bulat mereka terbuka lebar karena pernyataan Tsunade tadi.TO BE CONTINUE...