Terimakasih

3.7K 203 1
                                    


"K-kumohon." Wanita muda itu berlutut dihadapan mereka.
"Apa yang kau laku—"
"Kali ini saja bantu aku untuk membuat Naruto bahagia, walau kebahagiaan itu hanya sesaat." Sakura menyela protes Kushina dengan permohonan.
Minato tertegun, sama halnya dengan Kushina.
Sakura menekukan dahi pada permukaan lantai. "Aku mohon kepada kalian." Demi Naruto ia rela bersujud di kaki mereka— para orang tua.
Kushina berjongkok, sementara Minato hanya diam dan menyaksikan. "Sakura-Chan, apa yang kau lakukan ini salah." Ia membangunkan sang memantu dari sujudnya tetapi Sakura menolak.
"Berdamailah demi Naruto, Ibu."
Tak hanya Sakura, Minato sendiri juga mengharapkan hal yang serupa. Berharap suatu saat Kushina berhenti membenci dirinya dan mulai mencintai dirinya dari perlahan-lahan menjadi sepenuh hati.
"Maaf, Sakura-Chan." Kushina menggigit bibir.
Tak memudah meninta ini, perlu meneteskan air mata sebagai bentuk dari perjuangan. Tapi inilah kenyataannya, dimana Sakura tengah menangis demi membahagiakan Naruto.
Istri mana yang sanggup bila melihat Suaminya hidup dalam keterpurukan? Sakura akui dirinya benar-benar tak sanggup.
Sakura memelas dengan wajah sembabnya. "Paling tidak cobalah untuk bersandiwara..." Ia tak kan menyerah sebelum mereka sudi mengalah demi Naruto. Dirinya rela mengalah, lalu kenapa mereka tidak?
Minato ikut berjongkok disebelah Kushina. "Sakura, aku sangat bersyukur Naruto memiliki dirimu." Ia menyentuh puncak kepala Sakura "...kau tidak akan pulang dengan membawa perjuangan yang sia-sia.
Kushina menatap lelaki pirang disebelahnya.
"Biarpun hanya sandiwara, demi mengahargai perjuanganmu aku rela memenuhi apa yang kau inginkan dari kami berdua." Akhirnya senyum itu melengkung di bibir ranum Sakura. "Kebahagiaan Naruto juga menjadi kebahagiaanku."
Sakura menyeka wajah lalu menundukan kepala. "Terimakasih." Ia merasa sangat bahagia. "...terimakasih banyak." Kebahagiaan ini akan di bagi dengan Naruto.
Minato menoleh ke arah Kushina, kala itu juga mempertemukan kontak mereka. "Mau tidak mau kita harus melalukan ini demi Naruto." Ia harap Kushina tak menolak. "Lagipula kita hanya perlu bersandiwara. Setidaknya Naruto bahagia walau cuma beberapa saat."
"Tapi..."
"Aku mohon." Minato menundukan kepala. "Setelah ini kau boleh melakukan apa saja, sekalipun akan membenciku hingga seumur hidupmu." Kini giliran dirinya yang memohon.
"Izinkan Suamiku merasakan kebahagiaan ketika bersama kalian." Sakura membantu Minato untuk membujuk Kushina. "...kali ini saja." Lanjutnya. Ia tak mau menyerah. Liquidnya yang lagi-lagi menetes menandakan kesedihan serta kebahagiaan yang berpadu menjadi satu. Keduanya langsung Sakura rasakan secara bersamaan.
Tangan Kushina bergerak guna menyeka air mata dipipi. Tanpa sadar ia menangis. "Baiklah." Akhirnya ia menyetujui rencana Sakura. Sekali saja mereka akan membuat Naruto bahagia seperti keluarga pada umumnya.
Rasa bahagia itu membuat Sakura reflek lalu memeluk Kushina. Ia lakukan dengan erat, seolah sedang membagikan yang saat ini tengah dirasakan olehnya.
Cinta dan kasih sayang.
Kushina dapat menerima perasaan yang dikirim Sakura untuknya. Seperti perasaan Naruto yang diwakilkan oleh Istri merah mudanya.
Naruto beruntung memiliki Sakura.
Malaikat dengan rambut permen kapas yang turun ke bumi untuk merapatkan kerenggangan dalam hubungan mereka. Mendamaikan Minato dan Kushina juga termasuk dalam kategori tugas yang harus Sakura selesaikan. Untuk mereka, untuk Naruto dan untuk dirinya sendiri.
Kebahagiaan ini akan dipersembahkan untuk mereka bersama.
x X x
Jade pucat milik Putra Sabaku membulat dengan sempurna ketika mendapati seorang wanita di depan pintu. Tamu jauh datang mengunjungi kediamannya seorang diri.
"Kau..."
Pemilik iris aquamarine itu tersenyum riang. "Hello." Sapanya sembari melambaikan tangan.
"Kapan kau kembali?" Gaara tak menawarkan jasa, karena ia tidak ingin perempuan itu menginjakan kaki di dalam rumahnya. Cukup berdiri di depan pintu.
Sialnya, tanpa merasa malu dia memasuki kediaman Gaara dengan gayanya yang santai dan acuh terhadap apapun.
"Last night." Jawab wanita itu— membawa bahasa asing ke negara mereka.
"Lalu apa yang kau inginkan dariku?" Gaara tahu bila dia datang maka sudah pasti ada yang di inginkan olehnya.
Aquamarine tersebut melirik ke arah Gaara tengah berdiri. "My love Naruto Namikaze." Hatinya yang menjawab. Ia tersenyum penuh cinta.
Gaara sudah menduganya. Pasti dia menginginkan Naruto. "Berhenti mengganggu Naruto... sejak dulu hingga kini dia bukan milikmu."
Perempuan itu mengangkat bahu tanda acuh. "I don't care."
"Naruto sudah menjadi milik orang lain."
"...are you serious!?"
"Lebih dari serius. Sekarang dia sudah menikah dengan seorang wanita yang jauh lebih baik daripada dirimu." Penjelasan yang menohok di hati.
"Apa!?" Sia-sia dirinya datang bila yang di inginkan sudah mengikat benang merah bersama yang lain. Ini tidak adil.
"Naruto sudah menikah." Gaara pikir dengan memberi jawaban ulang dapat membuat dia mengerti.
Terdengar desisan tajam. "Damn!" Umpatnya.
"Menyerahlah."
Dia seorang wanita yang amat menggilai Naruto. Jika bukan demi sang kakek, tentu dia tak kan pernah sudi beranjak meninggalkan kota Jepang dan berpisah dari Naruto.
Tapi apa hasilnya? Kepergian perempuan itu selama dua tahun ini sama saja memberi kesempatan kepada mereka yang menginginkan Naruto. Benar-benar sialan.
"Tidak akan pernah!" Sama seperti dulu. Dia terlalu gigih dalam menginginkan Naruto, hal itu sering kali membuat Gaara mendesah pasrah.
Perempuan pirang itu mengurungkan niat untuk duduk setelah tadi mendengar pernyataan Gaara. Ia kembali ke pintu.
"Berikan alamat tempat tinggal Naruto padaku."
Pria muda itu tersenyum simpul. "...sayang sekali aku tidak punya alamatnya."
"Bohong!"
"Aku tak memaksamu untuk percaya."
Perempuan itu menatap Gaara dengan mata berkilat. Saat ini ia tengah geram. "Cepat berikan alamatnya!" Oktafnya meninggi.
"Sekian lama tinggal di New York, apa sekarang kau tidak mengerti lagi dengan bahasa kami?" Gaara mencekal lengan perempuan itu. "...aku tak punya alamat rumah Naruto." Ia sengaja mengeja kalimatnya agar dia mengerti. "Sekarang kau boleh pergi."
Tubuh molek itu terdorong keluar dari pintu. Gaara mengusirnya secara paksa namun dengan cara yang halus.
Mahluk blonde itu bersikeras memaksa. "Aku tak kan pergi sebelum kau memberikan alamat tempat tinggal Naruto padaku." Ia tahu sejak lama kedekatan mereka yang sudah seperti saudara, alasan Gaara sangatlah tidak masuk akal bila tak tahu alamat kediaman Naruto.
"Whatever."
BLAM!
Pintu bermotif bunga mawar itu di tutup oleh Gaara, bahkan tak segan ia kunci dari dalam demi menghindarkan keributan. Kalau wanita pirang itu masuk lagi hanya akan membuat kekacauan.
"Cih!" Bibir mungil itu mendecih. "...dasar payah." Percuma juga menunggu disini, sementara Gaara sendiri sangat tidak sudi dengan kehadiran dirinya disini. Jalan satu-satunya terpaksa menghubungi orang-orang terdekat Naruto untuk mendapatkan alamat rumahnya, namun pastinya perjuangan itu tidak akan mudah untuk dilalui.
Lebih lebih lagi ada Gaara yang menghalangi.
Sejak dulu Gaara sudah seperti pengawal pribadi Naruto, satu penghalang yang menyulitkan Putri kesayangan Yamanaka untuk memenangkan Naruto yang dianggap Pangeran pirangnya.
Apapun alasannya, larangan, rintangan atau penghalang. Yamanaka bungsu itu akan tetap berjuang demi mendapatkan Naruto. Mau masih lajang, sudah menikah bahkan duda sekalipun.
Asalkan dia Naruto Namikaze, maka tiada kata tidak sudi untuk menerimanya menjadi pendamping hidup.
Kesalahan yang sama sudah pasti tidak terulang lagi, karena kali ini perempuan itu akan berjuang keras hingga titik darah penghabisan. Larangan dan teguran tidak ia indahkan, siapapun orang itu.
Bukan sekedar janji melainkan tekad yang kuat.
x X x
Sekian lama terlelap hingga matahari merangkak diatas kepala, baru sekarang Naruto membuka mata setelah melalui tidur panjang bak Snow White .
Erengan kecil terdengar. Rasa pusing menyerang kepala, dan itu membuat pandangan Naruto rabun dan berat, namun untunglah hanya berlangsung selama sesaat.
Lelaki tanpa busana itu segera bangun, lantas mengedarkan pandangan ke sekitar ruangan. Ada perubahan mencolok dalam kamar ini, tetapi ia tidak terlalu menyadari perubahan tersebut dikarenakan sesuatu yang membuat terkejut.
Shappire tersebut melebar. Tempat tidur yang di duduki olehnya tampak lusuh tak terbentuk, bahkan sprai kasur ini awut-awutan seperti tumpukan kain, dan yang pasti terdapat bercak-bercak kering di tilam.
Naruto meraba tubuh, kala itu juga membuatnya terkejut lebih dari sebelumnya. Tidak ada kain selain selimut, segera saja ia memusatkan pikiran kepada masa-masa yang sudah terlewatkan sejak semalam.
Masih teringat dengan jelas olehnya, setelah membagi penderitaan dipundak dengan curhatan panjang lebar, Naruto menangis lagi dalam pelukan Sakura dan setelah itu saling berbagi kehangatan di tempat tidur. Bukan hanya berbagi kesedihan.
Pada akhirnya Naruto yang merenggut kesucian Sakura.
Seingat Naruto mereka bercinta tanpa paksaan, namun tetap saja hatinya merasa kurang nyaman. Bisa saja Sakura terpaksa dalam hati, dan melakukannya demi memenuhi tugas sebagai seorang Istri.
Tentunya Naruto tidak ingin membuat Sakura risih setelah apa yang mereka lalui sepanjang malam.
Suara-suara alat dapur terdengar dari ruangan tempat Naruto berdiri. Menarik nafas sejenak, lalu ia melangkahkan kaki menuju dapur. Sudah pasti Sakura sedang sibuk memasak makanan untuk makan siang mereka.
Naruto berjalan menuju dapur tanpa baju, cukup mengenakan celana santai setengah tiang, sehingga memamerkan tubuh topless- nya secara cuma-cuma.
Toh, Istri sendiri yang melihat tidak akan menjadi masalah bukan. Entahlah kalau dia— si Yamanaka.
Sakura terlihat sibuk dengan masakan, ketika membalik tubuh untuk menaruh nasi yang sudah disalin ke mangkuk kac, ia langsung mendapati kehadiran Naruto tak jauh dari meja.
Senyum lebar menyambut kedatangan lelaki pirang itu.
"Ah, kau sudah bangun." Sakura melanjutkan kesibukan. Meletakan mangkuk nasi tadi ke meja makan.
"Ya." Hanya kalimat khas yang menjadi respons.
"Aku sudah mengabari Gaara kalau hari ini kau cuti, jadi kau bisa menenangkan diri menjelang besok." Wanita itu mematikan kompor gas lalu mengangkat panci panas yang berisi sup sayur-sayuran.
Naruto mengusap dada polosnya yang bidang. Tiba-tiba saja terasa gatal. "Sepertinya aku tertidur sangat lama." Ucapnya— sekedar melepas kecanggungan.
"Setara dengan fisik dan hatimu yang kelelahan." Kini Sakura menyusun dua buah gelas di dekat piring. "...kau masih butuh istirahat, Anata."
Kalimat terakhir Sakura membuat Naruto tertegun. "..." Bibirnya terkunci, tapi sesaat kemudian ia tersenyum sebagai bentuk dari rasa bahagia.
Naruto melangkah dengan cepat, ketika sampai ke tempat tujuan tanpa aba-aba lagi ia segera memeluk tubuh sang Istri dari belakang. Menempelkan tubuh mereka tanpa memberi celah.
"Terimakasih." Bisikan lembut menggelitik telinga Sakura.
"Untuk apa?" Sesekali Sakura ngin menggoda Suami pirangnya itu.
Naruto menempelkan bibir pada pipi Sakura. "Untuk kehadiranmu disini." Jawabnya lalu membuat kecupan singkat disana hingga menimbulkan suara khas.
Sakura terkekeh geli. "Kalau mau bilang terimakasih, katakanlah kepada Tuhan." Sikap Naruto benar-benar berbeda dari sebelumnya, dan ia sangat mensyukuri perubahan dalam diri Naruto.
"...terimakasih Tuhan."
"Terimakasih Tuhan." Sambung wanita itu. Tak hanya Naruto saja, dirinya juga harus mengucapkan terimakasih kepada Tuhan yang telah menyatukan mereka.
Kejadian pada malam itu membawa mereka pada cinta yang sesungguhnya. Sakura pikir dirinya beruntung tidak jadi menikah dengan Sasuke, dan berakhir dalam pelukan Naruto.
Bukan kebetulan, tetapi sebuah kesengajaan.
Setelah malam itu berlalu hubungan mereka masih berlanjut dengan hati yang dingin, dan mulai menghangat secara perlahan-lahan dari hari ke hari hingga menjadikan hubungan serius dengan ikatan yang kuat.
Jiwa mereka telah menjadi satu. Sakura adalah Naruto dan Naruto adalah Sakura, begitulah keadaan mereka saat ini.
Saling melengkapi satu sama lain.
Menyadari Sakura hendak pergi, Naruto segera menghentikannya melalui cekalan di tangan. "Disini saja." Pintanya sambil tersenyum. Yang pasti bukan senyum kaku.
"Aku akan duduk di bangku yang lain." Sakura sendiri tidak tahu maksud dari Naruto yang menginginkan dirinya tetap tinggal. Yang paling utama sudah menyiapkan makan untuk Naruto di mangkuk lain.
Naruto menggeleng tanda ia menolak. "Tidak usah pakai bangku yang berbeda, kau hanya perlu duduk disini." Ia menepuk kedua paha yang dimaksud. "...duduk diatas pangkuanku."
Permintaan Naruto membuat tawa geli Sakura lolos dari belah bibir. "Aku bukan anak kecil lagi, Naru."
"Jangan menolak, cukup lakukan perintahku."
Sakura menggembungkan pipi. Kalau begini caranya sudah pasti ia kalah telak, lantas mau tak mau dengan terpaksa mendudukan bokong diatas pangkuan Naruto.
Ada-ada saja yang Naruto inginkan.
Mendadak wajah Sakura bersemu. Duduk diatas pangkuan lelaki itu mengembalikan ingatan yang ia miliki pada kejadian tengah malam tadi yang sudah terlewatkan sepanjang pagi.
Mereka berbagi kehangatan melalui kecupan dan dekapan.
Sakura ingin mengulanginya lagi, tetapi setelah hari ini berlalu. Masih ada kejutan untuk Naruto, dan kali ini kejutan darinya akan berjalan lancar.
Dapat Sakura yakinkan sendiri.
x X x
Kushina kesulitan menutup resleting gaun yang ia kenakan untuk malam ini. Bersusah payah mencoba dengan usaha sendiri, namun tetap tidak berhasil. Letak resleting itu terlalu jauh di bawah pinggang.
Tak disangka banya demi menampilkan diri agar terlihat sempurna akan sesulit ini. Kalau bukan untuk Naruto dan Sakura yang sudah berjuang keras, jangan harap ia sudi menyusahkan diri seperti saat ini.
Jika sudah begini, mau tak mau terpaksa Kushina mengurungkan niat untuk mengenakan gaun bewarna biru kepucatan itu. Tampaknya ia harus mencari busana yang lain lagi.
SREK.
Kushina tidak harus ganti busana, sebab sudah ada Minato yang membantunya memecah masalah.
Ketika melihat Kushina sedang dalam kesulitan, tanpa basa-basi Minato yang secara kebetulan melintasi kamar sang Istri langsung melangkah masuk. Bukan untuk berbuat macam-macam, tetapi hanya memberi sedikit bantuan. Kushina terlihat kewalahan dengan busananya sendiri, alasan yang membuatnya masuk tanpa berkata apa-apa.
"Jangan sungkan minta bantuan dariku jika kau dalam kesulitan."
Kushina terkesiap dihadapan cermin, sementara itu Minato sendiri kembali keluar setelah membantu dirinya lolos dari masalah kecil.
Setelah pertengkaran terakhir sejak disaksikan oleh Sakura, sikap Minato mendadak berubah drastis. Jika sudah selesai dengan urusan kantor, dia akan langsung pulang ke rumah, kalau hari biasa selalu pulang dini.
Paling lama pulang pagi dan paling cepat tengah malam.
Kalau sekarang minimal jam pulang Minato pukul sembilan malam, lebih dari dua jam waktu paling lama.
Ada perubahan semenjak kehadiran Sakura dalam hidup Naruto, termasuk hubungan mereka. Kushina sadar benar akan hal tersebut.
"Sudah siap?" Minato bertanya mengenai dandanan Kushina disela kesibukannya dalam mengenakan alorji di pergelangan tangan.
Kushina tersenyum tipis. "Beberapa menit lagi." Namun sang Suami tak menyadari terciptanya senyum di bibir. Ia sengaja tidak memperlihatkannya kepada lelaki pirang itu.
Kali ini kesibukan Minato fokus pada dasi. "Ingat pesan Sakura, kita berdua harus bersikap biasa saja saat di depan Naruto." Ia hanya mengingatkan, kali saja Kushina lupa.
"Aku masih ingat kok." Jawaban itu terdengar ketus.
Minato tertawa kecil. "...siapa tahu kau lupa."
"Usiaku tidak terlalu tua untuk menjadi seorang yang pelupa secepat itu." Kushina pikir masih terlalu dini untuk menjadi wanita tua, berbeda jika mendapatkan seorang Cucu.
Mengungkit soal Cucu, tiba-tiba saja hati Kushina mendabakan kehadiran Namikaze Junior dalam keluarga mereka. Tampaknya perlu menagih Cucu kepada Sakura. Anggap saja sebagai bayaran setelah sandiwara yang mereka lakukan dihadapan Naruto.
x X x
Segelas jeruk alami disajikan secara khusus oleh Sakura. Minuman segar kesukaan Naruto, dan untuk menyajikannya tidak diperlukan tambahan gula, sebab Naruto tidak terlalu menyukai manis-manisan. Cukup manis alami bawaan dari buah segar itu sendiri.
Usai menyajikan minuman pendingin, Sakura putuskan untuk mendudukan diri disebelah Naruto. Pria itu sendiri terlihat sibuk dengan laptop apple miliknya.
"Sketsa gedung yang indah."
Karya dari seorang arsitek mendapat pujian. Naruto tersenyum. "Hasil gambaran dari tangan Gaara." Beruntung ia belum bertemu dengan lelaki bermata panda itu, memberi dia kesempatan untuk hidup lebih lama.
Lagipula, kemarahan Naruto mengenai kecoa pada hari itu sudah reda. Berkat Sakura kemarahannya musnah begitu saja.
"Aku tak pernah tahu kalau Gaara punya bakat yang menganggumkan."
Pujian Sakura membuat wajah tampan Naruto berganti ekspresi. "Jangan memuji Gaara. Dia hanyalah orang terjail yang pernah aku kenal." Ia cemburu karena pujian Sakura untuk Gaara.
Sakura menatap ke arah Naruto sesaat, kemudian mendekatkan diri kepada lelaki pirang itu. "Tetap saja Suamiku yang terhebat." Lengan kokoh itu ia peluk, sekaligus menyandarkan kepala disana.
"Aku cemburu."
Rupanya Naruto bisa mengambek, dan Sakura baru tahu mengenai sifat tersembunyi dalam dirinya.
"Cium aku sebagai bayaran."
Tak cuma pengambekan, dia juga mesum.
Dalam seharian ini Naruto selalu mengingikan ciuman, entah dia yang mencium Sakura atau terkadang sebaliknya. Selalu menagih kecupan mesra, kalau tidak dipenuhi dia akan mengecurutkan bibir.
Sakura tidak pernah tahu bahwa dibalik sikap dingin Naruto selama ini tersimpan sifat-sifat aneh yang belum pernah diperlihatkan kepada siapapun.
Naruto sangat ahli menyembunyikan jati diri dibalik topeng datar yang dibuat sendiri olehnya.
Lagi-lagi Sakura yang dapat melihat sisi beda dalam diri Naruto.
Seperti sebuah fenomena yang langka, namun inilah kenyataannya.
Klik.
"Hallo?"
Dering panggilan menjadi penyela antara bibir mereka. Dengan malas-malasan Naruto memisahkan diri untuk menerima panggilan tersebut, sementara menyisakan Sakura dengan bibir basah menggoda.
"Dari siapa?" Pertanyaan yang Sakura lontarkan bentuk dari ketidaksabaran. Tak sepantasnya orang itu menelfon disaat mereka hendak memadu kasih.
Naruto perlu menjauhkan ponsel sebelum menjawab pertanyaan tadi. "Izuna-san, klienku." Setelah memberi jawaban ia kembali berbicara dengan orang yang ada jauh diseberang sana.
Sakura tidak tahu menahu dalam urusan kerja Naruto, hanya saja untuk nama Izuna ia seperti pernah mendengarnya tetapi lupa dimana, kapan dan dengan siapa.
"Sketsa itu sudah ada padaku, kita hanya perlu melakukan satu kali pemeriksaan lagi sebelum menyerahkannya kepada mereka."
Perempuan bubble gum itu tidak tahu pasti, namun cukup menebak bahwa arah pembicaraan mereka tertuju pada sketsa yang di gambar oleh Gaara. Ia hanya mendengarkan jawaban demi jawaban yang Naruto lontarkan untuk si pemanggil.
Mengenai Izuna, Sakura benar-benar tidak ingat dengan pemilik nama itu. Jelas-jelas ia memang pernah mendengarnya tapi sudah lama sekali berlalu.
Naruto tidak mengenal siapa mereka, Uchiha yang mengajukan kerja sama dengan perusahaan miliknya. Ia hanya membutuhkan untung, dan untuk mendapatkannya tidak perlu mengenal orang-orang itu.
Cukup tahu nama perusahaan mereka. Toh, mereka sama-sama asli orang Jepang, terlebih lagi Uchiha Corp lumayan tersohor di negeri sakura ini.
Mana Naruto tahu salah satu dari keluarga Uchiha pernah menjalin hubungan dengan Sakura, yang membuat Istri merah mudanya itu terhina habis-habisan di mata mereka. Kalau tahu tentu saja Naruto tidak sudi menerima pengajuan kerja sama dari mereka, sebab ia hanya tahu dulunya Sakura memiliki seorang kekasih.
Tidak pasti juga, entah kekasih atau cuma teman, atau bahkan mantan. Yang pasti hingga detik ini Sakura hanya setia kepada satu lelaki, yaitu Suami yang telah dinikahi sejak beberapa bulan lalu.
"Baiklah, terimakasih atas kerja sama Anda."
Ucapan terakhir sebelum menutup panggilan, setelah itu Naruto menyentuh tombol merah dan meletakan kembali ponsel miliknya diatas meja.
Naruto mengembalikan hak kuasa Sakura atas dirinya. "Ngomong-ngomong, biacara soal bulan madu apa kau tidak ingin pergi ke suatu tempat?" Sudah lama menikah, bukan ide buruk mengajak sang Istri pergi berbulan mau.
Sakura tak menyangka Naruto akan mengajukan pertanyaan ini. "Sudah lama aku ingin pergi ke suatu tempat, tapi masih termasuk dalam negara kita." Ia meresponsnya dengan sangat antusias.
"Di tempat mana yang kau inginkan? Katakanlah."
"Tokyo." Permintaan yang begitu sederhana. "Sejak kecil aku ingin menginjakan kaki di Tokyo, tapi sampai sekarang tiak pernah tercapai." Kehidupan yang menyulitkan diri Sakura menikmati hidup di dunia ini.
Naruto menyentuh kepala Sakura lalu membawanya bersandar di dadanya. "Selesai proyek ini kita langsung berangkat ke Tokyo." Ia mengecup puncak kepala sang Istri. Warna merah muda yang terlihat unik di matanya.
TING TONG.
Suara bel menimbulkan kerutan di dahi Naruto. "Bukan 'kah terlalu malam untuk menerima tamu?" Terang saja begitu, sebab belum pernah ia kedatangan tamu tak diundang di jam segini.
Bila ada perlu dari kantor selalu bertanya melalui panggilan telepon sebelum datang, kali ini cukup membuat heran dengan datangnya tamu saat malam hari secara tiba-tiba.
Naruto tidak tahu berbunyinya bel telah memberi secercah harapan bagi Sakura. "Biar aku yang buka pintunya." Wanita itu menghentikan dirinya yang tadi hendak beranjak.
"Emm, baiklah." Lelaki itu patuh.
Naruto menunggu Sakura kembali masuk membawa tamu, tapi sambil menunggu alangkah baiknya ia membereskan laptop terlebih dahulu.
Cukup menutupnya lalu disingkirkan ke tepi meja, setelah itu beres. Selang beberapa saat tamu sudah masuk ke dalam rumah bersama Sakura sebagai penyambut.
"Naruto..."
Kontan saja, panggilan dari suara yang terdengar sangat tidak asing di telinga membuat Naruto tersentak lalu menolehkan kepala kebelakang, dan membulatkan kedua mata sipit miliknya begitu melihat si tamu.

TO BE CONTINUE...

Day by Day by Hikari Cherry Blossom24Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang