Kontan saja, panggilan yang terdengar sangat tidak asing di telinga membuat Naruto tersentak lalu menolehkan kepala kebelakang, detik itu juga membulatkan mata sipit miliknya.
Kedatangan mereka tidak di undang.
"Ayah... Ibu."
Hendak menyalahkan Sakura atas kedatangan mereka, tapi Naruto sadar ia tak punya bukti, terlebih lagi saat mendapati wajah lugu yang ditampilkan oleh si pemilik paras manis itu.
"Siapa yang memberikan alamat rumahku?" Tidak ada basa-basi biarpun sekedar sapaan sederhana.
"...seseorang." Kushina menghampiri Naruto, lalu duduk disebelah sang Putra untuk mendekapnya. "Ibu sangat merindukanmu sayang."
Naruto mendorong lengan Kushina. "Siapa orang itu?" Ia butuh mengetahui pelaku yang sudah berani-berani menyerahkan alamat tempat tinggalnya kepada mereka.
Sebelumnya Naruto sudah mengingatkan kepada siapa saja, bagi orang yang berani memberitahukan alamat rumahnya kepada Minato ataupun Kushina, maka ia tak kan pernah mengampuni orang itu.
"Tidak penting untuk kau ketahui." Kushina tersenyum. Ia menyentuh pipi halus Naruto lalu mengecup keningnya, membuat Sakura tersenyum melihatnya.
Siapa sangka seorang wanita yang begitu membenci Suami sendiri bisa menyayangi sang Putra lebih dari apapun.
Naruto menyingkir dengan segera. Ia tak suka diperlakukan layaknya anak kecil, sementara perhatian mereka kepada dirinya tidak pernah kompak.
Minato ingin Naruto seperti ini, tetapi Kushina inginnya yang seperti itu. Ujung-ujungnya perdebatan mereka menjadi pertengkaran panjang, sebagai korban sering kali Naruto ketakutan sembari duduk meringkuk disudut ruangan.
Sejak kecil sangat jarang Naruto tidak menyaksikan pertengkaran hebat antara kedua orang tua, dan mereka tidak tahu sama sekali bahwa perilaku tersebut telah memukul mental Naruto cilik.
Jika saja saat itu tidak ada sang Nenek, bisa dipastikan sisa hidup Naruto dihabiskan dalam sebuah ruangan khusus dari Rumah Sakit Jiwa. Sayang sekali beliau telah meninggal dunia sejak beberapa tahun lalu karena diagnosa menderita leukimia stadium akhir.
Naruto tidak mengatakan apa-apa, sekian lama bungkam ia langsung membawa diri meninggalkan tempat ini yang mendadak terasa panas.
"Naruto...!" Tentu saja Sakura tak membiarkan Naruto sampai pergi, bisa gagal total rencananya. "Anata, setidaknya hargai kedatangan Ayah dan Ibu. Pasti tidak mudah untuk mereka berhasil mendapatkan alamat ini." Ia menahan lengan sang Suami guna menghentikan langkahnya.
"Aku tidak mau."
Kushina mendunduk sedih karena mendengar jawaban tersebut. Dirinya tidak berarti apa-apa bagi Naruto.
"Kau tidak boleh bersikap seperti ini! Mereka orang tuamu Naruto!" Pertama kali Sakura memarahi Naruto seperti anak kecil.
Hanya usia dan tubuh yang membuat Naruto terlihat dewasa, jika soal perasaan dia sama seperti anak kecil. Haus akan kasih sayang, perhatian serta cinta dari kedua orang tua yang kompak.
"Jangan paksa aku."
Sakura bersikeras dalam menahan Naruto. Sebisa mungkin ia berusaha. "Kau harus mau." Ia bisa memaksa lelaki itu.
Menatap sang Istri sesaat, dan hasilnya Naruto tetap gigih menolak kehadiran mereka. Ia mencoba membebaskan diri tanpa menyakiti Sakura, maupun hanya kata-kata.
Minato tersenyum. Ia percayakan keadaan ini kepada Sakura.
Jangan harap Sakura menyerah dengan mudah. Naruto keras kepala maka ia lawan dengan kegigihan berlipat ganda. Ia tahu Naruto hanya bersikap munafik, yang sebenarnya ingin bepura-pura menolak.
Keteguhan Naruto tidak akan bertahan lama lebih dari lima menit.
x X x
"Ada yang bisa saya bantu?" Seorang karyawan wanita dengan meja yang terletak dekat ruang kerja Naruto mendapat kedatangan tamu.
Sang tamu melepas kacamata hitam miliknya. "Aku butuh alamat rumah Naruto Namikaze." Ucapnya langsung pada intinya.
"Maaf Nyonya, data pribadi Naruto - Sama tidak boleh diserahkan kepada sembarang orang."
Wanita blonde itu menggebrak meja. Tidak terima atas penolakan mentah-mentah tadi. "Aku bukan orang asing! Sekarang cepat berikan alamat kediaman Naruto." Ia memaksa.
"Maaf Nyonya, saya tidak bisa lakukan itu."
Rahang perempuan itu terkatup rapat. Menyimpan rasa geram disana. "Cari mati ya?" Ancamnya. Seperti kekanakan.
Kebetulan Gaara datang ke kantor, lantas mendapati wanita pirang kemarin disini. Dirinya tahu apa yang di inginkan oleh wanita gila itu.
"Dia orang asing, seberapa keras kau jelaskan dia tak kan mengerti dengan bahasa kita." Datang-datang Gaara langsung menyudutkan wanita itu dengan ejekan. "Bule sesat." Ia tertawa- meremehkan.
Kontan saja, ejekan Gaara telah menyulutkan api amarah seorang Putri Yamanaka. Ia mencekal kemeja lelaki panda itu lalu menatapnya dengan
aquamarine yang berkilat tajam.
"Tutup mulutmu!" Gaara hanya menghela nafas. Wanita ini jago juga. "...kedatanganku kesini bukan untuk dirimu, jadi berhentilah ikut campur. Sebaiknya urusi hidupmu sendiri daripada menguntitku seperti orang bodoh." Sudah cukup dipermainkan, sekarang ia tidak akan tinggal diam seperti sebelumnya.
Gaara menyingkirkan cekalan dari tangan mulus itu dengan sentuhan pelan. Ia hanya tak ingin bersikap kasar kepada kaum hawa. "Urusan Naruto juga menjadi urusanku."
Wanita itu mendecih muak. "Kau memang menyebalkan!"
Keributan mereka disaksikan oleh beberapa karyawan kantor, namun keduanya tampak acuh dengan keadaan disekitar. Gaara tahu yang mereka pikirkan saat menyaksikan adegan ini.
"Berhenti mengejar Naruto karena dia tak pernah mencintaimu, Ino." Sekali lagi Gaara mengingatkan, berharap banyak dia sadar saat ini juga lalu berhenti mendambakan Naruto.
Ino Yamanaka mendengus. "Kau tidak akan tahu isi hati Naruto." Gaara terlalu sok tahu. Menurutnya. "...kau tak tahu apa yang Naruto rasakan padaku, atau apa yang sudah kami lakukan. Pokoknya semua itu sudah menjadi rahasia kami berdua."
Gaara tersenyum sebagai tanggapan darinya. "Kau tak berubah." Ia mengusap tengkuk kemudian memasukan tangan kiri dalam saku celana. "...masih suka mengarang cerita." Lanjutnya- menuntaskan kalimat yang sempat terhenti.
Ino mengibas rambut panjang miliknya. Kali ini ia kuncir tinggi hingga terlihat seperti ekor kuda. "Kau juga tidak berubah..." Ia menyentuh permukaan bibir Gaara lalu mengedipkan sebelah mata. "...terlalu over protective kepada Naruto, tapi apalah bedanya dengan diriku."
Sekarang hanya tersisa mereka berdua, satu orang lagi yang tadi menjaga kasir. Karyawan lainnya sudah menyelesaikan pekerjaan lalu pulang ke rumah masing-masing untuk mengistirahatkan tubuh. Tak penting menontoni aduan argument mereka.
Ino bersedekap santai. "Kita berdua mencintai Naruto." Ia tertawa geli. Ini hanya candaan semata, karena sebenarnya Gaara sudah mempunyai tunangan. Sekitar dua bulan lagi mereka akan menikah. Ino tahu sebab ia kenal dengan kekasih Gaara, seorang gadis tomboy berambut pendek namun sangat centil.
"Sebaiknya kau pergi dari sini." Gaara rasa sudah cukup Ino menyerocos panjang lebar. Menuai kata-kata konyol yang tidak ia sukai.
Ino mengedip-ngedipkan mata kepada Gaara seperti kucing.. "Alamat Naruto dulu, teman." Ia sangat membutuhkan alamat itu, karena tidak mudah mendapatkannya untuk bertemu dengan sang pujaan hati.
"Cari sendiri, dasar bule sesat." Kemudian Sabaku Gaara melenggang usai mengolok kaum hawa bermata biru tanpa pupil itu. Yamanaka tunggal itu mendengus sebal. Sejak kembali dari New York sudah menjadi kegemaran Gaara menyebut dirinya sebagai bule sesat .
Menatap karyawan yang menolaknya tadi sesaat, kemudian ia membalik badan dengan gaya angkuhnya. "Naruto saja bisa aku dapatkan, apalagi kalau cuma alamat rumah." Cerocosnya. Percaya kepada diri sendiri.
Karyawan wanita itu menggelengkan kepala melihat kelakuan aneh Ino, dan berpikir si blonde berparas cantik itu sedikit tidak waras.
Sangat disayangkan.
x X x
Dengan ogahnya Naruto meninggalkan kamar ketika mendapat panggilan. Ia malas sekali untuk makan malam, karena sudah terlanjur menerima paksaan Sakura makanya ia sudi.
Sakura berhasil mengalahkan Naruto hingga membuatnya mau bergabung makan malam dengan mereka- Minato dan Kushina.
Meski awalnya memutuskan menunggu persiapan makan malam di dalam kamar, pada akhirnya dipaksa keluar lalu antara mau dan tidak mau ia terpaksa keluar.
Sakura terlalu pandai memaksa.
Shappire indah itu berputar malas. Lihatlah Sakura, setelah apa yang dilakukan olehnya tadi sekarang dengan wajah lugu tanpa dosa ia menggandeng lengan sang Suami untuk mengajaknya ke dapur.
Sikap Sakura lah yang membuat Naruto tak berdaya. Wanita itu mampu mengalahkan dirinya hanya dengan tatapan, cara dan tindakan.
Bagi Naruto dia bermain curang.
"Makan malam sudah siap..." Sakura tampak riang ketika memperlihatkan hidangan istimewa di meja makan.
Mereka mengolah masakan sendiri, tentunya dengan bantuan Kushina. Hasilnya, berbagai macam makanan khas mereka tersaji manis disana.
Tidak ada ramen, sebab ini makan malam spesial yang mengharuskan Naruto untuk menyantap nasi seperti mereka. Sakura melakukannya supaya adil.
"Aku tidak lapar." Naruto hendak kembali ke kamar, namun gerakan cepat Sakura menghentikan niatnya. Ia menghela nafas.
Sakura tidak mengatakan apa-apa, hanya perlu menarik salah satu kursi lalu memaksa Naruto duduk disana.
Kushin tersenyum menyaksikan cara Sakura memperhatikan Naruto.
Usai mendudukan Naruto layaknya seorang anak, giliran Sakura mengambil tempat duduk. Mereka saling berhadapan dengan Minato dan Kushina.
"Anata, kau ingin makan apa?"
"Apa saja." Lagi-lagi jawaban dingin, bahkan Naruto enggan menatap kedua wajah orang tuanya. Sejak tadi ia terus menatap ke bawah, asal tidak bertemu pandang dengan mereka.
Biarlah tidak menatap wajah mereka, paling tidak Naruto sudi ikut bergabung dalam acara makan malam khusus keluarga ini.
"Selain ramen kau juga suka ini..." Kushina menyumpit udang goreng lalu ia letakan dalam mangkuk nasi milik Naruto yang sudah disediakan oleh Sakura.
"Putraku juga suka makan ini." Kini giliran Minato, tapi kali ini dengan lauk yang berbeda. Ia menyendokan tumisan jamur untuk sang Putra.
Sementara Naruto sendiri yang mendapat perhatian kompak terharu dalam diam. Ia tak ingin terlihat lemah dihadapan mereka, membuat ia bersusah payah menahan diri.
Melihat kedekatan mereka membuat senyum Sakura merekah lebar. Saat ini ia tengah bahagia, seperti sungguhan biarpun nyatanya kebahagiaan ini hanyalah sandiwara semata.
Cukup Naruto menikamti kebersamaan mereka tanpa harus tahu kisah dibalik layar. Ini hanyalah skeanero.
Sakura menyiapkan sumpit. "Ittadakimasu..." Sepanjutnya mereka memulai makan malam bersama-sama.
Naruto makan dengan kepala yang tertunduk. Wajahnya sengaja disembunyikan dari mereka, namun bisa bertahan sampai berapa lama ia bertingkah seperti itu sementara yang baru terjadi membuatnya menaikan pandangan untuk melihat ke depan.
"Minato, jangan makan jamur. Kau alergi." Secepatnya Kushina menahan tangan Minato ketika dia hendak menyuapkan sepotong kecil jamur ke dalam mulut.
Gara-gara jamur pernah membuat Minato di rawat di Rumah Sakit, dari sanalah Kushina tahu makanan yang tidak cocok dengan tubuhnya.
"Kelihatannya lezat, aku jadi ingin mencicipi jamur tumis buatanmu." Lelaki jabrik itu tersenyum.
Kushina bersikeras. "Toak boleh. Masih ada yang lain, kau tinggal pilih saja asal bukan jamur." Ia tak ingin mengambil resiko gara-gara jamur. Cukup satu kali Minato pernah keracunan dan membuatnya kerepotan sendiri.
Seingat Sakura, adegan jamur tumis tidak tertulis dalam naskah mereka. Ini sedikit melenceng dari yang sudah ditentukan.
"Tapi kan..."
Minato hendak protes namun berkat kecepatan suara, Kushina berhasil menyela kalimatnya. "Kau suka makan telur gulung." Ia menyuapkan potongan telur ke dalam mulut Minato, karena itu mau tidak mau akhirnya tetap dikunyah olehnya.
Sakura pikir ini rencana mereka berdua, mungkin agar terlihat sejuk di mata Naruto. Tapi boleh juga akting mereka.
Naruto terpaku di tempat duduknya. Tengah menatap kedua orang tuanya yang baru kali ini ia lihat berdamai setelah puluhan tahun hidup dalam kebencian.
Terang saja, ini malam pertama mereka berkumpul seperti saat ini. Jika hari-hari biasanya cuma ada Minato dan Naruto di meja makan, terkadang Kushina dan Naruto. Mereka tidak pernah berkumpul layaknya keluarga, satu alasan yang membuat Naruto terharu setengah mati dengan keadaan mereka saat ini.
"Jadi seperti ini rasanya punya keluarga yang utuh?"
Batin Naruto bertanya kepada diri sendiri.
"Aku tak pernah tahu akan sebahagia ini yang dirasakan."
"Makannya pelan-pelan." Minato mengusap sudut bibir Kushina dari sebiji nasi yang tertinggal disana. "...kau terlihat seperti anak kecil yang belum menyentuh makanan selama dua hari." Ejeknya lalu tertawa geli, membuat pipi tirus itu menggembung sebal.
"Kau mengolokku di depan anak-anak." Kata wanita itu. Ia malu kepada Naruto dan Sakura.
"Untuk apa malu, ini keluarga kita kok."
Sakura setuju dengan jawaban tersebut. "Benar." Deretan giginya tertampil bersama senyum bahagia. "...kita keluarga."
Sempat tertegun, hingga akhirnya Kushina turut tersenyum tanda setuju. Ia menyentuh punggung tangan Minato yang terletak diatas meja. Mereka memang sengaja memperlihatkan kemesraan di depan mata Naruto, namun bukan kesengajaan yang direncanakan sejak awal.
Ide itu datang setelah mereka berkumpul, langsung Kushina pergunakan untuk membuat Naruto yakin bahwa mereka telah berubah.
Sentuhan Kushina mendapat balasan. Minato menyematkan jemari mereka dan membentuk sebuah genggaman erat.
"Kita keluarga." Minato melanjutkan setelah Sakura.
Naruto terdiam membisu. Ia harap ini bukan mimpi melainkan kenyataan manis yang menyinggahi hidupnya bersama sang Istri.
Terlampau bahagia, hingga tidak sanggup lagi menahan diri kemudian Naruto memilih kembali menundukan kepala. Disela menyuap makanan air mata terus mencoba memenangkan peran, hingga kemudian ambang kebatasan sudah mengacaukan pertahanan dirinya.
Suara isak terdengar di tempat makan, sontak saja menarik mata mereka untuk mengarahkan tatapan kepada seseorang.
Naruto terisak akan tetapi tidak menghentikan suap demi suap. Sakura menggeser kursi ke dekat, lalu mengusap punggung lebarnya dan berharap dengan bantuan kecil ini cukup membuat perasaan Naruto lega.
Melihat Naruto menangis membuat Sakura tak berdaya. Ia menggigit bibir keras-keras demi terlihat kuat serta layak menjadi pelindung untuk Naruto.
Minato mengeratkan genggaman terhadap tangan Kushina. Tak pernah ia tahu Naruto serapuh ini, seperti manusia yang tercipta dari selembar kertas.
Kushina menatap Minato dengan mata berkaca-kaca. Jika ini yang Naruto inginkan, kedamaian serta saling mencintai maka akan ia coba mengabulkan keinginan tersebut. Sudah saatnya mencintai setelah sekian lama rasa benci meliputi hati. Sekarang Kushina mendambakan kehidupan yang layak demi Naruto, demi Sakura serta demi mereka semua.
Tidak sulit untuk merubah diri selama ada yang sudi menuntun.
Minato akan dengan senang hati menerima sikap baru Kushina setelah bertahun-tahun hidup bersama layaknya orang asing. Untuk kali ini hingga seterusnya mereka akan melakukan yang terbaik untuk Naruto.
x X x
Bibir mungil itu membentuk senyum lebar ketika mendapati punggung kokoh Naruto. Pria itu terlihat sedang memerhatikantan taman belakang rumah dengan senyap.
Sakura lekas mendatanginya lalu begitu tiba ia langsung melingkarkan kedua tangan disekeliling pinggang Naruto.
Kontan saja, kedatangan senyap Sakura membuat Naruto tersentak dalam lamunnya. "Sedang lihat apa, hm?"
"Masa depan kita." Naruto berbalik sembari membawa Sakura hingga kemudian pelukan mereka bertukar.
Awalnya Sakura tapi kini Naruto yang bergantian memeluk wanita itu dari belakang. Melingkarkan tangan di bawah dadanya, menepatkan hidung serta bibir di leher jenjang itu.
Mata sayu dan menggigit bibir, yang Sakura lakukan ketika satu dari tangan lebar Naruto menangkup payudara miliknya. "Saku, aku ingin Bayi." Pipinya sudah merona karena perlakuan Naruto, dan bertambah pekat lagi kala mendengar permintaan tadi.
Naruto melesakan bibir dan hidung semakin dalam ke balik leher Sakura. Menyesap wangi khas sang Istri yang baru-baru ini ia nikmati, lantara sebelumnya mereka tidak selengket ini.
Sakura mengerang lembut. "...tidak sekarang Naru, disini masih ada Ayah dan Ibu." Telapak tangan miliknya menangkup pipi Naruto.
Pria itu tak mendengarkan, bahkan semakin menjadi-jadi. Menelusupkan tangan ke balik baju Sakura untuk meraba payudaranya lebih dalam lagi.
Hanya menyentuh sudah senikmat ini, membuat Naruto ingin langsung melahap tubuh sang Istri. Ia lapar dan sangat membutuhkan makan malam sebagai penutup.
"Naruto..." Sakura mencoba menghentikan melalui panggilan halus, tapi tetap saja Naruto tidak berhenti. Dirinya terlampau diinginkan.
Tok tok.
Dengan cepat keduanya memisahkan diri karena ketukan tersebut.
"Sakura-Chan." Itu suara Kushina.
Sakura menatap Naruto dengan wajah yang memerah. "Sudah kubilang 'kan." Ucapnya kemudian meninggalkan pria itu di kamar ini untuk menemui Kushina.
Dalam perjalanan masih sempat bagi Sakura untuk menata busana. Tadi Naruto menyingkap bra yang ia kenakan, itulah yang ia tata kembali seperti sedia kala.
Naruto mengusap tengkuk. Bukan disaat yang tepat menginginkan Sakura selama mereka masih disini.
"Dimana Naruto?" Kedatangan Kushina ke kamar ini serta tanpa sengaja menjadi pengganggu hanya ingin menemui Naruto.
"Ada di dalam, ayo masuk Ibu." Sakura lekas menarik tangan Kushina. Ia gandeng lalu mengajaknya masuk ke dalam kamar.
Tidak ada lagi meja khusus tempat minum anggur, sekalipun botol-botol anggur yang pernah ada dibalik lemari kaca. Kamar ini telah menjadi kamar layak pada umumnya, dan Naruto tidak bisa memprotes karena semua sudah terlanjur terjadi.
Entah dikemanakan oleh Sakura botol-botol anggur milik Naruto, padahal ia beli tidak dengan harga yang murah. Memerlukan jutaan yen untuk mengoleksi semua minuman-minuman itu.
Naruto sudah bertanya, tapi sama sekali tidak di jawab oleh Sakura. Biarlah menjadi rahasia alam.
"Ibu?"
Kushina menghampiri Naruto. "Ibu akan pulang..." Ucapnya.
Lelaki pirang itu terkejut. "Pulang? Kenapa cepat sekali?" Ia tidak terlalu menyetujui keinginan sang Ibu. Terlalu cepat mengakhiri kebahagiaan ini.
"Kau tidak ingin Ibu pulang sekarang ya?" Kushina terkekeh.
Naruto diam sesaat, tapi kemudian ia meraih kedua tangan Kushina. "Menginaplah disini bersama Ayah." Baru kali ini ia bisa bersikap lembut kepada wanita merah marun itu.
"Apa kami tidak mengganggu?"
Kepala pirang itu menggeleng keras sebagai jawaban. "...sama sekali tidak, justru kehadiran kalian berdua sangat aku butuhkan." Ia tersenyum hingga menyipitkan kedua mata, dan lagi-lagi hal pertama yang pernah dilakukan kepada Kushina.
Rencana mereka berhasil membuat Naruto bahagia.
Demi Naruto, Kushina akan mengalah. Untuk kali ini ia menyudikan diri tidur bersama Minato di kamar sebelah yang sudah dipersiapkan oleh Sakura.
x X x
"Ada yang bisa saya bantu?"
Seseorang mengeluarkan buku kecil bersama pulpen. "Tolong catat alamat rumah Namikaze -
Sama disini, ada yang harus saya antarkan." Ia menyerahkan buku tersebut kepada karyawan yang menolak Ino semalam.
"Ada perlu apa Anda membutuhkan alamat Naruto - Sama ?" Gelagat orang itu cukup mencurigakan.
Pria bertopi itu menunjukan sebuah bingkisan. "Naruto - Sama dapat kiriman paket dari seseorang."
"Apakah Anda tidak punya alamat rumah Naruto - Sama ?" Jangan pikir mudah mendapatkan alamat rumah Naruto. Sulitnya sama seperti menjebloskan diri dalam ruang interogasi.
"Kalau saya punya lalu untuk apa jauh-jauh datang kesini."
"Sebelumnya tidak ada temu janji?"
Sulit sekali, dan itu membuat si pengantar barang berpikir bahwa kantor ini bukan tempat sembarangan. Orang-orang elit berkumpul di gedung pencakar langit ini.
"Kalau saja dikatakan sejak awal, saya tak perlu merepotkan diri untuk menyampaikan paket ini tanpa harus meminta alamat Naruto - Sama . Pengirim paket ini berada jauh dari Konoha."
"Maaf atas ketidak nyamana Anda Tuan, saya hanya melaksanakan tugas." Akhirnya karyawa itu menerima buku kecil tadi.
Bukan bermaksud menolak atau lain-lain, hanya saja setelah keributan semalam Gaara meninggalkan pesan agar tidak memberikan alamat rumah Naruto kepada sembarangan orang.
Menunjukan alamat rumah Naruto sama saja merusak masa depan, sebab PHK adalah hukumannya. Begitu ancaman Gaara sebelum meninggalkan kantor.
Selesai mencatat alamat kediaman Naruto, karyawan tadi segera menyerahkan buku kecil milik si pengantar barang.
"Terimakasih banyak."
Senyum ramah menjadi tanggapan atas ucapan tersebut.
Pengantar barang tadi bergegas melenggang usai mendapatkan apa yang dibutuhkan. Saat sampai di luar gedung- tepatnya di dalam lorong jalanan, ia mendatangi sebuah mobil ungu mengkilap yang terterpakir di tempat sepi ini.
Tok tok.
Jendela kaca itu terbuka. Seseorang dari dalam pelakunya.
"Bagaimana?"
Si pengantar barang mengeluarkan buku kecil dari saku seragam. "Berhasil Nyonya, ini alamatnya." Ia menyerahkan selembar kertas yang sudah disobek. Terdapat alamat rumah Naruto dalam kertas tersebut.
Ino Yamanaka tersenyum puas begitu menerima kertas penting di tangan. "Kerja bagus." Pujinya lantas memberikan imbalan yang sudah dijanjikan. "...setelah ini jangan pernah lagi menampakan batang hidungmu." Amplop tebal ia serahkan kepada laki-laki bertopi itu.
"Baik Nyonya."
Secara tidak langsung demi mendapatkan alamat rumah Naruto, Ino perlu membelinya dengan bayaran yang tidak murah.
Sudah dua hari menunggu Naruto datang ke kantor, namun selama menunggu tidak ada tanda-tanda pria itu akan datang, hingga kemudian seorang security mengatakan bahwa Naruto cuti kerja selama beberapa hari.
Terlalu lama kalau memunggu lagi, maka Ino putuskan untuk menggunakan cara licik. Yaitu menyewa seorang pengantar paket untuk mendapatkan apa yang menjadi keinginannya sejak awal.
Gaara memang pintar, namun Ino jauh lebih pintar. Licik lebih tepatnya.
Ino mengecup kertas di tangan sembari tersenyum bahagia. "Tunggu kedatanganku, Naruto sayang..." Ia bersumpah akan mendapatkan Naruto. Persetan dengan status, Istri atau bahkan anak. Sejak dulu Naruto memang miliknya.TO BE CONTINUE...