"Selamat tinggal." Sakura membalik tubuh— hendak meninggalkan ruang sunyi ini, namun langkahnya dihentikan oleh seseorang dibelakang. Ia menoleh lantas mendapati Sasuke disana.
"Apa ini?" Sasuke masih setia mencengkeram tangan Sakura agar empunya tidak pergi.
"Bukti yang selama ini kau dan Ayahmu inginkan."
Fugaku terkejut. Nekat sekali perempuan itu membuktikan dirinya tak bersalah.
"Apa maksudmu?"
Sudut dari bibir mungil itu tertatik ke atas, kala itu juga memperlihatkan senyum angkuh yang terulas tipis menemani paras manis Sakura.
Sasuke terkesiap mendapat senyuman angkuh tersebut.
"Kau terlihat bodoh dengan berpura-pura tidak tahu." Sakura menyentuh tangan Sasuke. Bukan sentuhan cinta melainkan sentuhan jijik, seakan menyentuh sesuatu yang tidak layak disentuh. "...hentikan sandiwaramu. Kau tetap terlihat buruk di mata Tuhan."
"CUKUP!" Ini penghinaan nama baik.
Fugaku memukul permukaan meja dengan keras, sontak saja ulahnya itu membuat mereka yang menyaksikam keributan disini terlonjak kaget, tak terkecuali Sasuke dan Sakura.
"Hentikan omong kosongmu!"
Hanya lirikan yang menjadi tanggapan atas kemurkaan Fugaku. Sakura tampak acuh.
"Setelah ini jangan cari aku lagi." Sasuke tak berkutik ketika Sakura mengatakan hal tersebut. "...jangan menggaggu kebahagiaanku." Tangannya terkulai lemah.
Berakhir sudah semuanya. Hubungan yang sudah lama terjalin dan memerlukan begitu banyak pengorbanan harus berakhir dalam hitungan detik.
Sakura pergi dari sana. Meninggalkan Sasuke yang lemah tak berdaya serta Fugaku yang diabaikan begitu saja.
Kemarahan tiada guna.
Sasuke tersadar dari alam diamnya, lantas segera ia membongkar amplop yang diberikan oleh Sakura. Ketika membaca setiap kalimat yang dihasilkan oleh mesin ketik, kenyataannya langsung membulatkan kedua mata Sasuke.
Kertas itu hasil test keperawanan milik Sakura.
Tidak ada pengkhianatan, buktinya setelah nyaris satu bulan menikah hingga saat ini kesucian Sakura masih terjaga. Tanggal dan waktu yang membuktikan, tidak hanya menuai omongan belaka seperti yang dilakukan oleh Fugaku.
Kini Sasuke sadar yang selama ini mereka lakukan kepada Sakura ialah memfitnahnya. Kesalahan terbesar yang tak termaafkan seumur hidup.
Sakura bukan wanita murahan. Fugaku telah salah melecehkan seorang wanita, dengan begini Sasuke sendiri yang menderita akibat memfitnah orang yang jelas-jelas tidak melakukan kesalahan apapun.
Kejadian pada malam itu sama sekali tidak disengaja. Sakura sudah mencoba untuk menjelaskan namun dia tak diberi kesempatan membuka mulut selagi bukti tidak tangan.
Sekarang sudah terbukti bahwa Sakura tidak bersalah.
Tiba-tiba Fugaku berdiri lantas merampas kertas dalam genggaman Sasuke. Ia meneliti setiap huruf yang berjejer rapi dalam kertas tersebut, lalu matanya membulat sempurna saat menemukan satu kalimat pendek yang menyatakan kesucian Sakura masih utuh.
"...yang berlalu biarlah berlalu." Ucap sang kepala keluarga. Toh, ini sudah menjadi keinginannya sejak awal. Perpisahan mereka.
Sasuke menggigit bibir dengan kuat. Hatinya ngilu, dan berpikir entah kenapa dirinya setega itu meragukan kesetiaan Sakura. Pantas bila wanita itu marah dan merasa terhina.
Sikap mereka kepada Sakura sudah sangat keterlaluan.
Harusnya tidak sekarang baru Sasuke sadari, jika ia percaya dengan Sakura sejak kejadian hari itu maka hubungan ini tak kan kandas bersama perjuangan selama ini yang tersia-siakan begitu saja.
Hak Sakura untuk menyudahi segalanya.
x X x
Hari semakin pentang. Perlahan-lahan matahari mulai menyembunyikan diri dibalik langit yang mulai gelap, bergantian berjaga bersama bulan setelah seharian ini menerangi bumi.
Para pengendara menyalakan lampu headlamp, entah itu mobil atau sepeda motor. Cuaca saat ini masih terbilang senja namun kerena perbuatan langit mendung yang menjadikan bumi gelap gulita jika tanpa bantuan cahaya lampu.
Jalanan mulai sepi dengan berangsurnya tetesan air hujan. Mendaratkan butiran-butiran bening tersebut ke atap-atap gedung, rumah, jalanan dan apa saja bahkan manusia.
Sakura Namikaze menyusuri trotoar tanpa peduli terhadap apapun, bahkan diri sendiri. Sepanjang jalan ia terus meneteskan air mata— seperti beradu tanding dengan air hujan.
Hidup yang dijalani terlalu pahit. Sepahit empedu. Sakura menyesal untuk semuanya. Menyesali karena mengenal Sasuke, berjuang demi laki-laki berwajah datar itu, lantas menangis gara-gara dia juga.
Untuk apa saling mencintai jika pada akhirnya berpisah. Datang untuk singgah sebentar lalu pergi setelah membuat si tempat singgah merasa nyaman dan tak ingin kehilangan.
Kejam!
Tak semua cinta membuat bahagia, justru sering terjadi sebaliknya. Dimana seseorang hancur karena cinta.
Sakura korban dari salah satu orang tersebut. Cinta telah membuat hidupnya hancur berkeping-keping, lantas menyisakan hati yang menganga lebar karena luka.
Hati yang terluka tak sesakit saat fisik yang terluka.
Langkah Sakura terhenti. Jalanan sudah benar-benar sepi, hanya ada beberapa kendaraan yang dapat dihitung sedang berlalu di jalan raya— menerobos hujan secara paksa.
Tangis alam menghujami sekujur tubuh Sakura, membuatnya basah kuyub hingga ke dalam. Dirinya yang lemah tak berdaya terjatuh pasrah dijalanan sepi. Ia berlutut dibawah guyuran air hujan.
Kepala merah muda yang telah basah itu mendongkak ke atas. Menatap langit mendung yang menjatuhkan jutaan air seperti shower raksasa.
Kelopak putih milik wanita itu menutup. Cara ia menikmati air sejuk yang membasahi sekujur tubuh, namun tak menghentikan liquid yang mengalir dari sudut mata.
Sakura menggaruk permukaan aspal, kemudian membentuk kepalan erat dari jari-jemari kurus miliknya. Ia menggigit bibir kuat-kuat agar tak meloloskan tangisan kencang.
"AKU MEMBENCIMU...!"
Sembari menadahkan kepala Sakura melantangkan suara. Meneriaki orang yang sangat ia benci dalam hidup ini. Seseorang yang telah menorehkan luka dalam hatinya.
JDARRR!
Gemuruh dari atas sana seakan menyampaikan perasaan Sakura yang tersakiti. Menyambar-nyabar seperti hati Sakura saat ini.
Petir menggelegar seakan hendak membelah bumi yang menjadi tempat para manuisa hidup. Angin kencang meniup pepohonan yang tak berdosa.
Sakura menundukan kepala. Ia tak lagi meredam tangis, sebab tangisnya telah reda berkat bantuan amarah dan dendam.
"Kaulah satu-satunya orang yang aku benci di muka bumi ini."
Cinta tak hanya menjadikan kebencian, namun juga dendam.
Jangan salahkan Sakura bila ia memendam kebencian kepada Sasuke dan berambisi ingin membuatnya terluka agar dapat merasakan apa yang kini tengah ia derita.
Sekarang Sakura sadar. Sasuke pria terburuk yang pernah ada.
Seluruh kerluarga Uchiha sangatlah buruk!
Mereka kejam, angkuh dan tak berperasaan.
Sakura benci kepada mereka, termasuk Sasuke yang dulu pernah ia cintai. Kebencian dalam dirinya sudah abadi, akan ia bawa hingga ke liang kubur sekalipun.
Mereka terkutuk!
Bersusah payah Sakura bangkit untuk berdiri. Sudah cukup ia menangisi Sasuke— tapi kali ini tangisan benci. Ia bersumpah kelak mereka akan menerima ajab yang lebih pedih daripada yang dialami olehnya saat ini.
Karma pasti berlaku.
Tuhan maha adil.
x X x
Ting tong!
Bel berbunyi tanda kedatangan seseorang. Naruto beranjak dari duduknya untuk membuka pintu sembari berharap Sakura lah yang menekan bel tadi.
Di luar sedang hujan sejak senja tadi, dan sampai saat ini Sakura tak kunjung pulang. Biarpun tidak mencintai namun walau bagaimanapun Naruto seorang Suami, wajar bila ia cemas terhadap Istri sendiri.
Bisa saja laki-laki yang datang tadi pagi menyakiti Sakura, atau melakukan hal buruk tanpa diketahui.
Naruto pikir Sakura keluar bersama orang yang tadi, alasan yang membuat ia enggan mengganggu kebersamaan mereka melalui panggilan atau sekedar pesan.
Ketahuilah, bukan gaya hidup seorang Naruto Namikaze mendesak wanita, biarpun wanita itu Istrinya sendiri. Entahlah kalau ia mencintai Sakura.
Pintu terbuka, kontan saja membuat Naruto terkejut saat mendapati Sakura dalam keadaan basah. Dia terlihat pucat dan kedinginan. Tubuh kurusnya menggigil.
"Ka-kau..." Naruto terbata. Antara terkejut, panik dan cemas karena melihat keadaan Sakura saat ini.
Sakura ambruk, namun sebelum tubuhnya sempat mendarat di lantai gerakan cepat Naruto menjeda yang nyaris terjadi. Dengan sigap ia menyerahkan tangan untuk menahan dada Sakura.
"Apa yang terjadi!?" Keadaan Sakura membuat Naruto marah.
Perlahan Sakura mendongakan kepala. Gerakannya terpatah-patah efek menggigil. "Di-dingin..." Ia tak menjawab pertanyaan Naruto tadi.
Bibir tipis itu membungkam, namun melalui gerakan empunya segera membawa Sakura masuk ke dalam. Naruto menutup pintu lantas membopong Sakura untuk ia bawa ke kamar.
Pastinya kamar perempuan itu sendiri.
Rasa iba membuat Naruto sedih. Keadaan Sakura sungguh sangat mengenaskan.
"Ganti bajumu." Naruto meletakan daster merah di tepi ranjang, tempat Sakura duduk lemah.
Sakura mencoba berdiri namun tak mampu, untuk itu sembari duduk ia berusaha membuka baju dengan Naruto yang memunggungi dirinya.
Enggan melihat tubuh telanjang sang Istri.
Wanita itu menggigit bibir. Berdiri sudah tidak mampu, giliran ganti baju ia seakan tidak memiliki kekuatan lagi. Hanya duduk yang bisa dilakukan.
"Ti-tidak bisa..."
Naruto berbalik setelah mendengar keluhan Sakura. Ia menatapnya selama beberapa detik, kemudian dengan berani mendekati sang Istri untuk membantunya.
Tanpa ragu, tanpa menutup mata, Naruto langsung membantu Sakura melepas baju basah yang masih melekat, bahkan ia buka seluruhnya hingga tak menyisakan apapun di tubuh tersebut.
Samar-samar Sakura dapat melihat keseriusan di wajah tampan Naruto, membuat bibir mungil miliknya membentuk segaris senyum tipis.
Paling tidak masih ada yang peduli kepada wanita malang itu.
Sakura memaksa berdiri. Untuk berusaha sampai berhasil maka ia menggunakan lengan kokoh Naruto sebagai pegangan, hingga setelah berhasil ia langsung memeluk tubuh tegap sang Suami dalam keadaan polos.
Naruto terkesiap mendapat perlakuan tersebut.
Dapat Sakura rasakan kehangatan nyata ketika mendekap Naruto. Nyaman dan terlindungi.
"Izinkan aku melakukan ini."
Pelukan pada tubuh Naruto bertambah erat, hingga dapat ia rasakan tubuh dingin Sakura. Padahal terhalang oleh kaos putih yang dikenakan olehnya tapi tetap berhasil menembus hingga ke dalam.
Tak perlu menjawab, cukup menunjukan sikap pasrah bahwa Naruto mengizinkan Sakura memeluk tubuhnya. Awalnya ragu untuk balas memeluk, namun akhirnya ia hanya mau menyentuh kepala Sakura.
Cukup mengelus rambut merah muda itu daripada disebut lancang ketika balas memeluk, terlebih saat ini Sakura sedang telanjang.
"Apa yang terjadi?"
Sakura mencengkeram baju dibagian pinggang Naruto seerat yang ia bisa. "Aku rindu Ayah dan Ibu."
"Besok kita temui mereka." Naruto tersenyum. "...dimana Ayah dan Ibumu sekarang?"
Kelopak putih itu terpejam. "Mereka sudah di Surga."
Naruto terpaku. Jadi kedua orang tua Istrinya itu telah tiada. "Maaf." Ia turut bersedih.
Sakura mengembuskan nafas. "Sayangilah kedua orang tuamu sebelum mereka pergi." Izinkan dirinya mengingatkan sang Suami sebelum terlambat lalu menyesal di kemudian hari.
"Kau tidak tahu apa-apa, Sakura."
"Aku tahu." Wanita itu berusaha keras hanya demi menaikan pandangan. "...biar bagaimanapun mereka tetap menyayangimu. Hargailah kasih sayang mereka." Ia tersenyum kecil.
Wajah tampan itu jarang sekali menampakan ekspresi. "Kau dan aku berbeda."
"Tapi kita bisa saling melengkapi."
Lelaki muda itu melepas pelukan Sakura kemudian ia pasangkan daster merah di tangan ke tubuh sang Istri. Tak membutuhkan waktu lama, hanya beberapa detik semua beres.
Tidak cukup sampai disitu, kini Naruto menggunakan handuk kecil yang ia bawa tadi untuk mengeringkan rambut Sakura. Ia lakukan dengan gerakan terlatih agar empunya merasa nyaman.
"Kau tidak ingin bertanya apa yang aku lalui selama ini?" Terang saja Sakura menikmati perlakuan Naruto. Sungguh, selama bersama Sasuke ia tak pernah merasa senyaman ini.
"...jelaskanlah."
Sakura menyentuh tangan Naruto, membuat aktifitasnya terhenti. "Kaulah yang menjadi pemisah antara aku dan Sasuke." Naruto terpaku mendengarnya. "...tapi aku bersyukur, berkat kejadian ini aku sadar bahwa dia sangat tidak pantas untukku."
"Apa yang kau rasakan?"
"Sedih, benci, dendam." Jawab wanita itu. Ia tersenyum bengis.
Naruto melanjutkan kembali aktifitasnya. Mengeringkan rambut merah muda milik Sakura.
"...cintaku berubah menjadi kebencian."
"Itu sudah menjadi pilihan hidupmu." Naruto mendudukan Sakura di tepi ranjang melalui tarikan lembut terhadap tangan. "Tidurlah, kau butuh istirahat setelah yang terjadi hari ini." Ia menarik selimut lantas menggunakannya untuk Sakura usai membaringkan dia.
Menyelimuti sang Istri hingga sebatas dada.
Tep.
Naruto menoleh. Baru saja Sakura menangkap tangannya. "Jangan pergi." Pinta perempuan itu. Wajah pucatnya tampak memelas. "...temani aku."
"..." Bibir eksotis itu senantiasa terkatup.
"Kali ini saja anggap aku sebagai Istrimu."
Sakura pikir selama ini Naruto tak sudi menganggap dirinya sebagai Istri. Kamar mereka terpisah, jarang berkomunikasi apalagi untuk tersenyum.
Sikap Naruto kelewat dingin.
"Kau memang Istriku, bodoh." Senyum Sakura merekah.
Naruto tidak berkata apa-apa lagi, hanya memenuhi yang Sakura inginkan dengan bibir terkunci rapat. Ia di bagi tempat untuk merebahkan diri, oleh sebab itu Sakura menggeser tubuh.
Untuk pertama kali mereka bersama, akur, dekat dan saling berbagi meski tidak sepenuhnya membuka diri.
Perlahan-lahan Sakura mulai mengetaui sisi lemah Naruto, persis seperti yang dikatakan oleh Gaara.
x X x
Naruto memasuki kamar itu tanpa mengetuk pintu. Ini rumahnya, miliknya, tak masalah bila ia berlaku sesuka hati biarpun kamar ini sedang di tempati oleh seorang wanita.
Toh, wanita itu juga Istrinya.
Di tempat tidur dengan ukuran king size tersebut tampak Sakura tengah bergumul dalam selimut tebal. Dia kedinginan karena mendemam.
Suami pirang itu menghela nafas. Ia sudah menduganya sejak awal, keesokan hari Sakura pasti jatuh sakit. Harusnya kemarin malam dia tidak nekat menerobos hujan agar secepatnya tiba di rumah.
Sekarang sudah berhari-hari dia mendemam setelah berlalunya malam kemarin.
"Sakura, aku membawakan Sup untukmu." Naruto duduk di tepi ranjang kemudian membangunkan Sakura. "...kau harus menyedunya agar tubuhmu terasa hangat."
Tubuh kecil itu menggeliat. "Aku tidak mau." Tolaknya.
Naruto kesal karena penolakan tersebut. "Kali ini saja anggap aku sebagai Suamimu."
Kontan saja, pernyataan tersebut berhasil menampakan sepasang emerald yang telah lama bersembunyi.
Sakura membalik tubuh. "Kau meniru kata-kataku." Ia mengulum senyum. Naruto tak menjawab, hanya membantunya sampai bangun dengan mulut bungkam.
Lihatlah, dia dingin bukan?
Sakura mengamati paras tampan itu dalam diam. Dia sedang meniupkan sesendok Sup untuk mengurangi suhu, agar tidak terlalu panas ketika melesak ke dalam mulut.
"Siapa yang membuat Sup itu?"
"Setahuku kita tidak punya pembantu." Jawab sang Suami tanpa mengalihkan pandangan dari sendok yang berisikan oleh Sup serta potongan sayur.
Kita?
Kalimat sederhana yang mampu membuat Sakura tersenyum. Paling tidak Naruto sudi mengakui kehadiran dirinya.
"Bagaimana rasanya?" Naruto penasaran dengan Sup yang ia olah dengan tangan sendiri ketika melihat wajah pucat sang Istri mengisut usai mencicipi masakannya.
Sakura mengulum bibir. "Le-lezat."
Naruto tahu itu jawaban dusta. Sakura tak kan mengaku, sebab itu ia akan membuktikan sendiri dengan cara mencicipinya.
"Jangan!" Secepat mungkin Sakura menghentikan niat Naruto. "...sendok itu bekas mulutku, nanti kau akan tertular." Alasannya agar Naruto luluh.
"Sekeras apapun aku menghindarimu penyakit itu akan tetap berjangkit padaku. Kita satu atap, kecuali kau di langit dan aku di Bumi."
Jawaban yang tepat. Sakura kalah telak.
Naruto mencicipi Sup tersebut. Larangan sang Istri merah muda ia hiraukan. Alhasil, wajah pelit akan ekspresi itu memucat.
Jarang sekali Sakura melihat wajah konyol Naruto, atau bahkan memang tak pernah lagi setelah terakhir kali ia lihat ketika Naruto menyela santapan ramen dan membiarkan sisa mie berjuntai di mulut.
Kejadian itu sudah berlalu sejak lama tapi Sakura masih mengingatnya hingga detik ini.
"Enak?"
Berusah payah Naruto menelan kuah Sup dalam mulut. "Asin." Jawabnya dengan wajah mengisut. Sudah seperti kakek-kakek.
Sakura tertawa geli melihat penuaan dini yang terjadi pada Naruto. "Itu akibatnya kalau membantah laranganku." Ia mengambil alih mangkuk dari tangan Naruto, lalu meletakannnya pada nampan.
Naruto mengusap tengkuk. "Sebenarnya aku tidak bisa masak." Akunya dengan jujur. Ia berhasil mengolah Sup itu berkat bantuan dari internet, namun sayang hasilnya tidak sepadan seperti yang ada di internet.
"Jangan terlalu mempercayai internet." Jangan pikir Sakura tidak tahu. Ingatlah bahwa ini jaman modern, dimana semua orang sudah terlalu bergantungan dengan internet.
Naruto terus memerhatikan Sakura. Mulai dari sang Istri menyibak selimut, berdiri lalu mengambil nampan yang ia bawa tadi.
"Mari menikmati Sup yang sebenarnya." Untuk mengajak Naruto, Sakura perlu menarik tangannya.
Akhirnya mereka pergi menuju dapur bersama-sama.
Sakura ahlinya dalam mengolah makanan.
x X x
"Uhukk uhukk! Hachihhh!"
Sudah tak terhitung batuk dan bersinnya.
"Hachihhh!"
Naruto merasakan berat pada kepala.
"Hachihhh!"
Lagi dan lagi. Dalam sekali bersin selalu tiga kali, dan pastinya sesudah batuk.
Entah sudah berapa kali Naruto bersin dalam seharian ini. Hidungnya sumbat, suara teredam, air dari hidung terus meleleh. Keadaannya saat ini sungguh mengenaskan.
Minggu lalu Sakura, sekarang Naruto.
Penyakit Sakura benar-benar menular kepada Naruto, dan itu membuatnya cuti bekerja selama beberapa hari, termasuk hari ini sudah empat hari.
Sekarang giliran Sakura merawat Naruto.
Shappire tersebut melebar. Sesuatu yang amat dibenci olehnya tersaji di depan mata, hal yang membuat Naruto menutup mulut rapat-rapat.
"Buka mulutmu."
Gelengan keras menjawab perintah Sakura.
"Buka!"
Naruto gigih dalam menolak. Ia benci obat berbentuk sirup.
Pekerjaan yang paling sulit Sakura selesaikan ialah saat memberi obat batuk untuk Naruto. Penolakannya sama persis seperti bocah berusia lima tahun, bahkan sebagian dari bocah-bocah ingusan masih ada yang mau.
Bahkan ada yang suka.
Berbeda dengan Naruto. Sulit sekali membujuknya agar sudi menelan obat sirup untuk itu terpaksa Sakura menggunakan senjata pamungkas.
"Tidak mau! Hpmmhh!"
Naruto rela bersikap kekanakan hanya demi menolak obat. Padahal yang Sakura lakukan demi kebaikan dia sendiri.
"Harus mau!" Sakura menaiki tubuh Naruto lalu menduduki perutnya.
Biarlah sofa ini bergesar akibat amukan sang Suami, yang paling utama dia lekas sembuh.
Kepala Naruto menggelengkan kesana dan kemari. Cara ia menolak suapan dari tangan Sakura. "Hmphhh..." Sekali tidak akan tetap tidak.
Terpaksa Sakura menggunakan cara ini. Menarik kedua tangan Naruto, meletakannya disisi tubuh lalu ia timpa dengan lutut. Hanya dengan cara ini baru berhasil. Salah satu senjata pamungkas seorang Istri.
Baru pagi ini Sakura tahu Naruto sangat anti dengan sirup obat batuk dan pilek, kerana di hari sebelumnya ia tak membeli obat tersebut. Menyadari keadaan Naruto semakin memburuk maka ia putuskan untuk membeli obat di Apotik.
Sakura hanya mengikuti saran Gaara. Katanya obat sirup jauh lebih cepat melulihkan penyakit Naruto, maka dari itu ia membelikannya khusus untuk sang Suami.
Gaara tahu sebab dia sudah kenal lama dengan Naruto, tidak salah apabila Sakura mematuhi apa yang dia suruh jika itu untuk Naruto.
Berhasil! Sakura berjaya menyuap paksa sirup kedalam mulut Naruto, setelah itu ia bekap bibir pucat tersebut agar si empu tidak meluakan obat yang sudah memasuki rongga.
Mata Naruto melebar.
Lagi-lagi Sakura berhasil membuat ia menelan paksa cairan berperisa mint itu. Rasanya sangatlah tidak enak dan membuat mual. Menjijikan.
Sementara itu, senyum puas melukis wajah Sakura. Tanda ia berhasil meraih kemenangan dengan mengalahkan Naruto.
Lelaki pirang itu jatuh lemas "Anak pintar." Sakura mengelus pipinya bersama tawa cekikikan. "Lekas sembuh, Suamiku." Ucapnya kemudian.
Hari ke hari hubungan mereka semakin membaik, tentunya semakin dekat secara perlahan-lahan.
Sedikit demi sedikit Sakura mulai mengenal Naruto, begitu pula sebaliknya. Kehidupan normal layaknya Suami dan Istri mulai mereka jalani bersama, walau masih setia menetap di kamar yang berbeda.
Setidaknya mereka sudah saling mengenal lebih jauh hingga latar belakang.
x X x
Naruto menerima bingksian tersebut. "Apa ini?" Tanyanya bingung seraya menggenggam kotak kecil yang dibungkus layaknya kado. "Hadiah ulang tahun?" Seingatnya tanggal jadi itu masih lama. Masih beberapa bulan lagi.
"Itu memang hadiah, tapi hadiah untuk pernikahan kalian."
Jawab orang dari sebelah telepon. Tadi Gaara menelfon tepat sewaktu kiriman datang.
"Oh." Naruto mengangguk kecil.
"Kau harus membuka kadonya bersama Sakura. Awas kalau kau buka tanpa Istrimu."
Naruto memutar mata. "Okay." Jawabnya agak malas.
"Saya permisi Tuan." Aoba membungkuk sopan.
"Silahkan." Balas sang atasan.
"Putuskan sambungan lalu panggil Istrimu. Ajak dia melihat hadiah yang aku beri."
Naruto kesal. Rasa penasaran membuatnya bertanya-tanya sendiri mak ia mutuskan panggilan tanpa banyak omong lalu menimang kotak kecil di tangan.
Berat beberap gram, kalau di terka mungkin isinya benda-benda semacam askesoris.
"Sakura!" Yang dipanggil segera menghentikan langkah. Niatnya hendak kebelakang rumah urung kala itu juga.
"Apa?"
Naruto berjalan menghampiri Sakura. "Ada hadiah dari Gaara untuk kita berdua." Ia menunjukan bingkisan kecil di tangan kepada sang Istri.
Sakura menilik benda dalam genggaman Naruto. "Apa itu? Cincin?" Untuk ukuran kotak sekecil itu kalau tidak cincin pastinya aksesoris lainnya.
"Entahlah." Naruto juga penasaran seperti Sakura. "..sebaiknya kita buka saja." Usulnya, lantas merobek-robek kertas yang membungkus kotak kecil tersebut dengan tak sabar.
Lapisan luar telah habis, tersisa kotak putih yang segera di buka oleh Naruto.
"Jam tangan?" Sakura melihat benda itu dengan jelas.
Naruto menyentuhnya. "Ini jam tangan couple yang terbuat dari emas putih." Ia meneliti sepasang jam tangan tersebut tanpa mengeluarkannya dari kotak.
"Pasti mahal ya?"
"Jutaan."
Sakura penasaran. "Coba lihat, sepertinya bagus."
Untuk memenuhi keinginan Sakura barulah Naruto benar-benar mengeluarkan sepasang jam tangan tersebut dari kotaknya, kemudian ia serahkan kepada Sakura.
Perempuan itu menerima jam dari tangan Naruto sembari berdecak kagum. Benar-benar indah.
"Wahh, cantik sekali." Sakura meneliti jam tersebut dengan seksama. Mengamati body licinnya yang mengkilap indah.
"Eh." Sesuatu membuat Naruto terkejut kala itu juga.
Setelah jam masih ada satu hadiah yang terlupakan. Ternyata hadiah yang Gaara kirim tidak hanya sekedar jam tangan.
"A-apa ini!?"
"Masih ada lagi?" Sakura menarik tangan Naruto untuk melihat hadiah kedua. "Hm?" Itu bukan hadiah.
Mendadak wajah Naruto memucat.
Sakura melihatnya, wajah tampan sang Suami tampil pucat pasi secara tiba-tiba.
Apa yang membuat Naruto melototkan mata hingga memasang wajah horror?TO BE CONTINUE ...