Terserah Saja

11.6K 1.1K 71
                                    

"Tae, sini sebentar."

Belum juga tangannya meraih knop pintu kamar, kakinya harus kembali mundur begitu suara sang Ibu tertangkap di telinganya.
Padahal seluruh jiwa raga sudah merindukan empuknya kasur. Padahal kedua kakinya sudah bernapsu untuk berendam air hangat. Tapi demi menghindari kutukan menjadi batu, pemuda yang entah sejak kapan menggondrongkan rambutnya itu menuju ruang makan. Di mana sang Ibu terduduk manis dengan secangkir teh hijau di tangan.

"Ya, Bu?", tanya pemuda itu mengambil duduk di sebelah Ibunya.
"Sudah bertemu Ayah tadi?"
"Oh, iya sudah."

Kim Taehyung--nama pemuda itu, mengingat kala sang Ayah tercinta dengan tiba-tiba menghubunginya di sela rapat dengan para editor. Lanjut memintanya untuk bertemu saat jam makan siang. Taehyung sih sudah tidak kaget lagi jika Ayahnya mengajak makan siang.

Tapi ada satu hal yang membuatnya nyaris terkena serangan jantung;

"Ayah ingin kamu menikah dengan anak sahabat Ayah. Tidak ada penolakan!"

Taehyung tidak diberi kesempatan untuk membantah, menyetujui lebih-lebih menolak. Karena setelah itu Ayahnya kembali ke kantor utama dan meninggalkannya dengan sejuta tanya mengerubungi kepala.

Tidak ada angin tidak ada petir kok disuruh menikah?

"Kau harusnya tau kenapa Ayahmu bertindak sejauh ini, Tae", jelas wanita paruh baya itu tenang. Sisa teh dicangkirnya tinggal satu tegukan saja.
"Dia sudah bosan dan muak melihatmu seperti mayat hidup. Kau bernapas, kau bergerak, tapi terlihat 'mati'. Ini perumpamaan kasar, Ibu tau. Tapi kalau kau sudi berkaca, dan lihat dirimu baik-baik. Kau bisa memahami maksud kami sebenarnya, Taehyungie."

Taehyung menghela napas pendek. Ribuan kali mungkin, Ayah dan Ibunya mengeluh soal hidupnya sekarang. Membandingkan Taehyung dua tahun lalu dengan Taehyung yang kini duduk di hadapan.
Jujur saja Taehyung bosan jika harus mendengar hal yang itu-itu saja setiap hari. Taehyungpun muak karena kedua orang tuanya selalu mengomel tentang hal yang sama setiap waktu. Obrolan keluarga tak pernah jauh dari yang namanya jodoh, jodoh dan jodoh lagi.

Padahal semua juga tau, Taehyung sama sekali menutup hatinya sejak sang tunangan dipanggil Yang Maha Kuasa dua tahun lalu; satu minggu sebelum pernikahan dilaksanakan. Padahal semua juga tau, sejak saat itu mana pernah Taehyung membawa pasangan ke rumah. Boro-boro membawa, membicarakan ia sedang berhubungan dengan siapa saja tidak pernah. Yang dilakukan Taehyung sejak itu hanyalah bekerja, bekerja dan bekerja seperti kuda gila.

Iya, seperti kuda yang diberi kacamata. Pandangannya hanya lurus ke depan. Tidak menoleh kanan kiri mencari kesenangan. Yang terpatri dalam kepala hanya bagaimana membuat perusahaannya maju. Yang selalu diutamakannya hanya pekerjaan di dua kantor berbeda; kantor redaksi majalah juga pabrik konveksi milik keluarganya.
Satu-satunya kesenangan Taehyung hanyalah berkeliling dunia sambil memotret. Sendiri. Tanpa ditemani seonggok manusiapun.

Jika kembali disinggung soal 'jodoh',  secepat kilat Taehyung akan memalingkan muka. Atau berpura-pura tak mendengar. Atau yang sering dilakukannya adalah mengalihkan pembicaraan. Dan jujur saja, sikap Taehyung yang begini membuat kedua orang tuanya lelah. Mereka merasa anak sematawayang kesayangan mereka sudah berubah. Berbeda. Bukan Taetae si manis yang lincah. Melainkan Taehyung si dingin nan tanpa seutas senyum sedikitpun di wajahnya.

"Ya sudah, mau Ibu aku harus bagaimana?"

Nyonya Kim, dengan raut terkejut menoleh Taehyung yang masih dengan wajah lempeng.

"Hah?"

"Ibu dan Ayah mau Taehyung menikah? Baiklah."

Lho?

"Kau serius?", Nyonya Kim meletakan cangkir di atas meja. Diraihnya wajah Taehyung, diamati setiap inci siapa tau ada bekas luka atau benturan di kepala.
"Ini aneh. Kenapa kau tidak coba membantah Ibu?"

"Memangnya Ibu mau dibantah kali ini?"

Ibunya diam. Lalu memicingkan mata penuh curiga. Rasanya aneh melihat Taehyung jadi penurut begini. Tidak, aslinya memang Taehyung ini penurut. Hanya saja jika urusan jodoh, uh, sedikit mengejutkan.

"Tae, kau benar menerima perjodohan ini?"

Taehyung mengangguk. "Terserah Ibu saja."

Pasrah.
Taehyung tidak punya pilihan selain pasrah kali ini. Sudah cukup lelah untuk membantah kedua orang tuanya. Sekalipun ini soal yang dianggapnya angker dan mencetak trauma mendalam, tapi bukan berarti Taehyung selalu punya siasat untuk menghindar.

Untuk kali ini, dia pasrah. Toh hatinya sudah tak berbentuk sejak dua tahun lalu. Ia sudah terkoyak, tercabik, hingga mati secara perlahan. Mau disembuhkan dengan metode apapun tidak manjur, tidak mampu mengembalikan bentuk hatinya seperti semula.

Tunangan tercintanya meninggal di depan matanya, ketika ia terlambat menyadari bahwa ada truk melaju kencang dan menghantam tubuh cantik itu hingga terpental dengan darah membanjiri seluruh badan. Taehyung selalu merutuk dirinya sendiri jika mengingat bagaimana cerobohnya ia membiarkan si cantik menyeberang jalan demi sebungkus kue ikan favoritnya. Andai ia bisa memutar kembali waktu, ia ingin mencegah sang kesayangan turun dari mobil, lalu dengan tubuhnya sendiri ia membelikan makanan itu untuk si cantik.

Sayang sekali, mana bisa ia mengembalikan waktu yang sudah berlalu?

Lagipula, hidupnya harus terus berjalan kan?

"Sekali lagi Ibu tanya padamu", Nyonya Kim menatap anak lelakinya dengan tangan mengusap pucuk kepalanya.
"Kau setuju dengan perjodohan ini? Kau siap menikah bulan depan?"

Taehyung mengangguk lagi.

"Iya, terserah Ibu saja."

"Kenapa terserah Ibu? Ini kan pernikahanmu, Tae!"

"Apapun kemauan Ibu dan Ayah, akan kuturuti."

"Benar?"

"Iya."

"Sekalipun besok acara lamarannya? Kau setuju?"

Sekali lagi, masih dengan raut yang tidak berubah walau satu inci, Taehyung berucap dengan tenang,

"Iya, terserah Ibu saja."

____________________________________________

To be continued..

****



Bagian Yoongi next chapter yaaaa

Makasih udah bacaaa :")))

-Min Chaera-

Marry Me, Taetae! (Taegi) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang