4: Cadar penyelamat

5.2K 205 10
                                        

"Entah dari arah mana celah itu ada, membiarkan namanya terselip tanpa diduga."
-Grissham Arfan Irawan-

"Kamu bawa suami mu ke kamar ya. Segeralah bersiap-siap, nanti setelah adzan magrib kita akan mengadakan tasyakuran pernikahan kalian," titah Aisyah pada Adiba yang baru masuk kedalam rumah.

Adiba mengangguk, lalu melirik kearah Arfan.

"Kalau begitu Adib keatas dulu ya Bu," pamit Adiba.

Arfan yang duduk di ruang tengah sibuk dengan pikirannya sendiri sampai tidak menyadari keberadaan Adiba di depannya.

"Mas Arfan," panggil Adiba yng kesekian kali dengan tangannya melambai-lambai didepan wajah Arfan.

Bukannya membalas Arfan malah menatap manik Adiba dalam. Adiba menunduk tak mampu ikut menatap, tatapan Arfan terlalu menusuk meski dirinya tidak tahu arti dari tatapan Arfan sendiri.

"Ibu mu bilang akan mengadakan tasyakuran bukan?" ucap Arfan lolos membuat bibir Adiba membuka dibalik cadarnya saking terkejutnya mendengar Arfan berucap panjang meski beberapa kata.

"I...iya mas."

Arfan berdiri dari duduknya, dia sangat tinggi tubuh Adiba di depannya saja sebatas pundaknya saja. Setiap berbicara dengan Arfan Adiba harus mendongak, Adiba sangat pendek jika bersama Arfan yang tinggi.

"Kamar mu dimana?" tanya Arfan.

Adiba diam karena terpana pada tatapan Arfan yang berubah halus nan ramah tidak seperti sebelumnya.

"Hei. Kamu dengar ucapan aku kan?" ucap Arfan. Lantas Adiba tersadar dari terkesimanya.

"Ah maaf mas. Mari mas Adib anterin."

Mereka berjalan bersama dengan Adiba yang didepan memandu jalan. Di dalam hati Adiba merutuki dirinya sendiri terhadap kesalahannya tadi yang melamun.

Dari arah belakang Arfan menggulumkan bibirnya. Tingkah Adiba yang menggerutu pelan terdengar baik olehnya. Adiba sangat gemas dilihat dengan tingkahnya ini.

Seandainya Adiba lihat sesuatu yang terjadi pada Arfan. Kemungkinan hati Adiba akan tersentuh, dan pasti merasa senang melihatnya.

Dengan gugup tangan mungil Adiba membuka kan pintu kamarnya. Keduanya masuk bersama, kamar Adiba sangat kalem dalam kamarnya tidak seperti gadis pada umumnya yang kebanyakan peminim dipenuhi beraneka ragam boneka.

Ruangan berwarna criem tersebut berisikan kasur sedang, nakas di sampingnya dengan lampu duduk dan foto keluarganya. Di dekat jendela terdapat rak buku berukuran sedang yang menyatu dengan meja belajar. Serta lemari berukuran besar dan sofa sedang di pinggirnya.

Ukuran kamar Adiba tidak terlalu besar tapi cukup untuk ditempati dua orang.

"Mas mau mandi dulu atau gimana?" tanya Adiba gugup. Dia belum bisa terbiasa terhadap Arfan dia masih malu dan ragu, kepalanya saja setiap berhadapan dengan Arfan selalu merunduk tidak pernah mau menegak sekedar membalas tatapan Arfan.

Arfan berjalan menuju pintu dan menutupinya pelan. Adiba meneguk salivanya kewalahan melihat Arfan menutup pintu kamarnya tidak hanya itu dia mengunci pintunya juga.

Tangisan Seorang Istri (Versi Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang