9: Perpisahan yang hangat

3.9K 126 5
                                    

"Mencintaimu mungkin terlalu terburu. Tetapi hati tidak akan pernah ada yang tahu kapan harus beraksi dan kapan harus berhenti."
-Adiba Shakila Atmarini-

Tepatnya di depan pekarangan rumah keluarga Gofar. Arfan, Adiba beserta keluarganya tengah saling bercurahkan kata serta pelukan hangat perpisahan. Tidak ada acara tangis menangis semuanya terlihat ria dan hangat. Terutama Adiba, dia memeluk sang ibunda dengan perasaan tenang. Pada umumnya gadis yang ditikahkan hasil perjodohan akan sangat sulit berpisah dengan keluarganya tetapi tidak untuk Adiba yang terlihat ceria.

Sekali lagi Adiba memeluk ibunya mencium kedua pipi ibunya silih berganti. Aisyah menangkup wajah anaknya, memandangnya selamat mungkin. Anaknya sudah tumbuh besar, anaknya sudah menjadi tanggung jawab orang lain. Sangat tidak terasa, baru kemarin Aisyah menangkup wajah mungil anaknya, memeluk tubuh mungil anaknya, kini anak bungsunya telah beranjak dewasa dan menikah. Waktu begitu cepat, mengubah malaikat kecilnya menjadi wanita sholehan nan cantik.

"Gak kerasa kamu udah punya suami aja ya nak. Baru kemarin kamu ibu gendong-gendong sekarang anak ibu sudah besar saja udah jadi seorang istri lagi. Waktu berjalan dengan cepat. Ibu masih gak nyangka," jujur Aisyah sambil mengusap-ngusap kedua pipi Adiba.

Semuanya mengangguk setuju apa yang diucapkan Aisyah. Adiba adalah tipe anak yang manja ketika berada di lingkungan keluarganya maka tak heran jika keluarganya merasa tak percaya akan setatus dan fakta pada Adiba.

"Nyangka gak nyangka tetap saja anak kita sudah dewasa. Nak, sekarang kamu bukan lagi tanggung jawab kami. Tugas kami sudah selesai, sekarang kamu tanggung jawab Arfan. Suami mu sekaligus pintu syurgamu, untuk itu jadilah istri sholehah. Jangan jadi istri durhaka. Sikap mu menentukan nasib suami mu kelak di akhirat nanti." Gofar menjeda ucapannya melirik kearah Arfan yang beberapa langkah berada di belakang tubuh Adiba.

"Nak Arfan. Tolong bimbing anak bapak, jangan sampai anak bapak merepotkan kamu kelak di akhirat nanti. Tegur dia kalau dia melakukan kesalahan. Meski kamu seorang mu'alaf dan baru mengenal agama islam, itu tidak menjadi acuan untuk menegur anak bapak. Dan kamu sebagai suami harus tahu, tidak hanya sikap anak bapak yang bisa mempersulit kamu. Tetapi setetes saja Adiba menangis karena kelakuan kamu, dosalah kamu," mendengar hal itu Arfan diam tanpa suara seakan hatinya di tohok ribuan panah.

Setetes saja air mata Adiba mengalir atas lukanya maka dosa yang dia terima berlipat ganda. Dan Arfan pastikan suatu saat Adiba akan mengalami banjir air mata, setelah apa yang dia rahasiakan terbongkar. Arfan menunduk merenung, Adiba menyaksikan dengan perasaan penuh tanya. Suaminya berubah diam, apakah ucapan Gofar terlalu tajam? Adiba bertanya-tanya pada dirinya. Dan sikap Arfan seolah berkaitan dengan kalimat tadi di taman.

"Bapak harap kalian saling mengerti dan memahami. Bapak pasti selalu mendo'akan yang terbaik untuk mu dan menantu ku," senyuman Gofar menyimpan luka terpendam. Gofar tahu kedepannya akan seperti apa, Gofar paham. Dia hanya bisa berdo'a meminta bantuan pada yang Kuasa. Hanya itu yang Gofar bisa kirimkan sebagai bentuk bantuannya untuk anaknya.

Lantas Adiba memeluk Gofar erat, begitupun Arfan yang ikut memeluk Gofar.

"Makasih Ayah, makasih. Selama ini Adib selalu repotin Ayah, selalu bikin Ayah kesel, dan selalu manja. Maaf Adib kecil begitu merepotkan, sudah besar pun Adib masih merepotkan. Tapi Adib gak bisa berhenti repotin Ayah, karena hanya Ayah perisai Adib, pelindung Adib dan sandaran Adib ketika Adib sedih." Adiba menatap mata Ayahnya dari arah bawah.

"Kali ini kamu gak bakalan repotin bapak lagi. Sekarang mas yang jadi segalanya buat Adib, iya kan pak?" ucap Arfan bertanya membuat mereka yang melihat terharu-haru.

Tangisan Seorang Istri (Versi Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang