16 : Antara HAK dan keterpaksaan

3.7K 202 39
                                    

Play lah musik yang menurut kalian sedih. Karena menurutku di sesi ini terdapat sesi sedih. Selamat membaca!!

Sungguh sangat kejam kelakuan Arfan pada istrinya mendiamkan Adiba tanpa mau mengajak berbicara seolah di dalam ruangan sana hanya ada dia dan alat medis saja. Adiba tahu suaminya berlaku demikian karena marah sebab kejadian beberapa menit lalu ketika mereka bertemu Adnan.

Awal mula terjadinya perang dingin antara Arfan dan Adiba itu diakibatkan karena Adnan yang meminta izin pada Arfan untuk mengajak istrinya ke sebuah acara reuni keluarga. Itupun Adnan tidak hanya mengundang Adiba saja melainkan Arfan pun dia undang. Namun, sebab rasa cemburu dan tak suka karena Adnan cinta pertamanya sang istri alhasil Arfan menolak keras dengan alasan pemulihan stamina tubuhnya alias pengistirahatan.

Adiba tentu tidak bisa menerima penolakan Arfan, bagaimanapun dia sudah sangat dekat dengan keluarga Adnan dan tak pantas juga jika menolak dengan alasan yang menurutnya tidak terlalu penting. Arfan hanya pingsan dan besok pun dia sudah sembuh sekarang pun Arfan terlihat baik-baik saja.

Begitulah kurang lebihnya terjadi perdebatan antara pasutri itu. Berakhir Arfan yang marah dan mendiamkan Adiba.

Adiba menghela nafas, memandang peresensi Arfan sekilas. Kemudian dia bangkit dari sandarannya berdiri sambil melepaskan hijabnya untuk mengambil wudhu karena memang adzan maghrib telah dikumandangkan.

"Sudah adzan. Kita solat maghrib dulu mas," ajaknya melengos pergi kedalam toilet disusuli manik Arfan yang diam-diam mengekori.

Bibirnya berdecih kecil setelah kepergian sang istri. "Tidak peka sekali," dengusnya kumat-kamit.

Dia ingin berwudhu tapi bagaimana dengan selang infusan yang masih bertengger di punggung tangannya. Helaan nafas kesal pun mengudara.

Tak lama Adiba keluar dengan keadaan sucinya. Arfan selalu terpesona dengan rambut basah Adiba selalu dia tidak pernah mengilah, karena memang aura istrinya yang tak berhijab sangat cantik dan tak membosankan.

Sementara itu Adiba pergi saja tak menghiraukan Arfan yang tengah kesusahan.

"A... adib-" ucapannya terhenti. Niatnya ingin minta bantuan sang istri sudah lebih dulu memulai sholatnya. Alhasil, Arfan memilih untuk menunggu daripada harus bertarung dengan selang infusan demi mengambil wudhu.

Beberapa menit Arfan menunggu Adiba usai hingga akhirnya benar-benar usai.

"Dib-"

"Tunggu dulu," mendengar jawaban Adiba yang ketus Arfan tersentak diam. Tak disangka, istrinya memiliki sifat horor dibalik sifat lugu dan penyayangnya.

"Sini," perintahnya pada tangan Arfan, membantu Arfan untuk turun dari ranjang.

Arfan sedikit takut.

"Tadi bisa jalan kaki, kok mendadak gak bisa mas?" Sarkas Adiba membuat Arfan membatu gelagapan.

"O-oh tadi tuh memang belum ngerasa pusing makanya bisa. Kalau sekarang, tidak tahu kenapa ada rasa sakit sekaligus pusing. Sakitnya gak ilang-ilang dan masih membekas," ujar Arfan mengalihkan suasana.

Adiba melirik intens, "dimana sakitnya?" Tanya nya sinis. "Perasaan mas cuman pingsan doang deh. Dimana coba Adib mau lihat."

Tangisan Seorang Istri (Versi Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang