Adeline terjaga. Ia kembali menatap Wekker. Jam Sebelas malam!
Lagi-lagi, sudah tiga malam berturut-turut ia terjaga diwaktu yang sama.
Kali ini, ia mendengar seseorang sedang bercakap-cakap.Adeline beranjak pelan, kemudian berjingkat menuju arah jendela.
Ia menemukan jendela di seberang jalan tertutup rapat. Bahkan, tak sedikitpun cahaya lampu terlihat menyala di kamar gadis itu.Adeline melanjutkan penyelidikannya ke arah pintu kamar. Suara itu, terdengar samar dari luar. Adeline membuka pintu perlahan,
'Rio ...' bathinnya.
Adeline mendekatkan kupingnya ke pintu. Dari dalam, ia mendengar suara Rio tertawa pelan.
Tok Tok Tok
"Rio ..." gumam Adeline pelan sekali, sebab ia tak ingin mama mendengar.
Sunyi senyap.
KREKKK...
Pintu kamar Rio dibuka oleh Adeline. Rio sedang duduk bersila, menghadap ke jendela kamar yang sama-sama menghadap ke seberang jalan.
"Rio, kau sedang apa?" tanya Adeline. Rio tersenyum, lalu menempelkan telunjuk dibibirnya. Adelin menatap Rio dalam-dalam, kemudian melangkah guna mendekatinya. Tak lama setelah beberapa langkah Adeline berjalan, senyum Rio langsung menghilang seketika.
"Kakak mengacau!" seru Rio dengan bibir mengerucut.
"Apa maksudmu anak nakal?" Adeline menghampirinya, lalu menjulurkan kepala keluar jendela yang masih terbuka lebar.
Tak ada siapa-siapa disana."Rio, katakan padaku apa yang kau lakukan tadi?!" tegas Adeline. Ia menatap wajah adiknya itu dalam-dalam dan penuh selidik.
Rio diam, tak menjawab pertanyaan Adeline"Atau, aku akan mengadukanmu pada Papa, agar kau dibawa ke Rumah Sakit dan tinggal disana!" ancam Adeline.
"Oke oke kak, oke. Tapi ingat, jangan kakak cerita ke siapapun, janji?" jawab Rio. Adeline mengangguk.
"Aku sedang bermain tebak-tebakkan dengan kakak itu," jawab Rio berbisik ditelinga Adeline, sambil menunjuk kesebuah arah.
Adeline berpaling cepat pada arah yang ditunjuk oleh Rio. Tapi ia tak menemukan siapapun disana, atay disekitar tempat tersebut. Bulu kuduknya meremang seketika. Gadis itu menutup jendela kamar Rio, kemudian menarik tirai rapat-rapat.
"Rio, tidurlah, nanti ketahuan mama dan kau akan dihukum." ujar Adeline, menepuk bantal milik Rio dan memintanya untuk segera berbaring. Rio mengangguk, setelah itu Adeline menarik selimut, dan menutupi tubuh Rio hingga ke leher. Setelah itu Adeline keluar kamar, setelah memastikan bahwa benar disana tidak ada seorangpun orang lain. Dengan dada berdebar, Adelin menutup kembali pintu kamar Rio.
*
Pagi itu, suasana sarapan mendadak hening. Adeline menghabiskan sisa nasi gorengnya dalam diam. Diam-diam ia menatap Rio yang tengah lahap menyantap nasi gorengnya.
"Ada apa? Kenapa suasana sarapan kali ini sepi sekali?" tanya Papa.
Adeline menggeleng."Aku tak apa-apa. Oh ya Pa, apa Papa tahu, soal tetangga kita yang di seberang jalan itu?" jawab Adeline. Sekaligus membuat pertanyaan baru untuk Papa.
"Rumah Nomor 13 itu, maksudmu?" ulang Papa. Adeline mengangguk. Sementara itu, Mama mendengarkan percakapan keduanya sambil memakaikan kaos kaki Rio.
"Papa belum tahu. Belum sempat mengunjungi tetangga disekitar sini," jawabnya.
"Besok kan hari minggu Pa, kurasa waktu yang tepat untuk berkunjung ke rumah tetangga," Mama menimpali.
Adeline mengangguk senang. Sesungguhnya, ia memang hanya ingin tahu banyak soal rumah di seberang jalan itu! Bukan yang lain."Baiklah, besok pagi kita akan menemui tetangga-tetangga dekat. Sebagai pengenalan kita kepada mereka." jawab Papa. Adeline berseru Hore.
"Aku sudah berkenalan dengan Kakak yang disana!" seru Rio. Adeline menoleh padanya, kemudian melotot. Memberi kode agar Rio tak mengatakan apapun soal tadi malam.
Rio menunduk, beruntungnya ucapan Rio tadi tidak menjadi perbincangan yang berkelanjutan. Sebab tiba-tiba ponsel Papa berdering.
KAMU SEDANG MEMBACA
RUMAH SEBERANG JALAN
HorrorKisah ini, berawal dari kepindahan keluarga Maleka ke Kota besar itu. Gabriel Maleka, adalah seorang Dokter Jiwa yang bekerja disebuah Rumah Sakit Jiwa. Beliau adalah seorang Dokter dengan Satu Istri. Satu orang Puteri, dan Satu orang Putera. Puteri...